Kumpulan Kisah Sedih Anak Perempuan Korowai Batu di Kampung Brumahkot
Papua, eBahana
Sekilas tentang Penulis
Nama saya Imelda Author Hendrieta Kopeuw alias Margi yang berasal dari suku Sentani, Papua. Saya adalah seorang guru muda yang memiliki kerinduan menghadirkan pendidikan bagi suku-suku terasing di Papua. Salah satu suku yang mendapat perhatian saya adalah suku Korowai Batu. Suku Korowai Batu adalah salah satu suku terasing yang mendiami beberapa kampung di dataran rendah Provinsi Papua bagian Selatan. Suku Korowai Batu terkenal dengan kearifan lokalnya membangun rumah di atas pohon atau yang terkenal dengan nama Rumah Pohon (Tree House), sedangkan warga kampung terbiasa menyebutnya Rumah Tinggi. Sampai hari ini, kearifan lokal ini masih tetap dilestarikan, meskipun sebagian besar masyarakat sudah membangun rumah panggung (byvak) di masing-masing kampung yang mereka tempati. Kehidupan masyarkat suku Korowai Batu sangat mengandalkan hutan sebagai lumbung pangan. Saat ini, masyarakat Korowai Batu sudah terbiasa bergaul dengan masyarakat Papua lainnya berkat pengabdian gereja-gereja misi yang membentuk kampung-kampung di Korowai Batu agar dihuni oleh suku tersebut.
Salah satu hamba Tuhan yang diutus untuk melayani di suku Korowai Batu adalah Pastor Trevor Johnson yang berasal dari Amerika. Ia sudah mengabdi di tengah-tengah suku Korowai Batu tepatnya di Kampung Danowage selama lebih dari sepuluh tahun. Sewaktu bertemu Pastor di Sentani pada tanggal 14 Desember 2017, saya menyampaikan keinginan saya untuk mengajar di suku-suku terasing di pedalaman Papua. Atas petunjuknya, pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2018 saya ditempatkan di kampung Brumahkot, Korowai Batu. Kampung ini termasuk dalam Distrik Seradala, Kabupaten Yahukimo-Papua.
Di awal penungasan, saya melakukan observasi di kampung tersebut selama tiga minggu. Letak kampung Brumahkot dalam peta wilayah suku Korowai Batu berada di bagian Utara. Masyarakat di kampung ini masih belajar beradapatasi untuk tinggal di dalam perkampungan. Mereka dapat berinteraksi dengan orang lain sejak para Penginjil Gereja menjejakan kaki mereka di kampung ini dan memulai pelayanan. Bersama-sama dengan pelayanan Penginjilan, gereja terus mengusahakan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat Brumahkot. Sebagian besar masyarakat di kampung ini belum dapat membaca dan menulis. Mereka hidup sederhana dan mencari makan dengan berkebun, berburu serta mencari ikan di sungai. Masyarakat Brumahkot juga mengalami berbagai penyakit mematikan seperti busung lapar, malaria, diare, dehidrasi, TBC, Kaki gajah dan berbagai penyakit kulit. Tingkat kesehatan dan pendidikan sangat rendah di kampung ini yang mengakibatkan masyarakat belum dapat menerapkan pola hidup sehat. Selain masalah kesehatan dan pendidikan, msyarakat Brumahkot belum dapat menerapkan kehidupan bermasyarkat yang terorganisir dalam pemerintahan kampung. Masyarakat belum tahu peran dan fungsi aparat kampung, sehingga nilai dan etika kehidupan bermasyarakat masih berpusat pada diri sendiri (egosentris).
Saya mulai mengajar di kampung Brumkahkot selama 7 bulan, minggu terhitung sejak Maret 2018, Juli-Desember 2018 hingga Januari 2019. Pengabdian saya masih sangat singkat, tetapi tetapi dapat saya pastikan pengabdian saya kaya akan pengalaman dan pelajaran hidup. Saya hidup dan berinteraksi setiap hari dengan masyarakat tersebut tanpa merasa sangsi, meskipun saya sudah mendengar cerita tentang masyarakat Korowai yang dulunya kanibal dan suku ini terkenal keras kepala serta licik. Sejarah nenek moyang suku Korowai tidak mengoyahkan niatku untuk menunjukan kasih kepada mereka. Saya menyakinkan diri saya sendiri bahwa masyarakat di suku-suku terasing memiliki hak yang sama dengan masyarakat yang ada di kota. Anak-anak di suku-suku terasing ini memiliki hak yang sama untuk dapat mengakses pendidikan seperti anak-anak di kota. Visi inilah yang membawaku terbang melintasi daerah pegunungan hingga mendarat di dataran Korowai pada tanggal 3 Juli 2018. Sejak saat itu hidup saya berubah total. Saya berada di tempat yang sangat baru bagiku serta aturan budaya yang berbeda juga dengan kampung tempat asalku.
Terimakasih, Pengalaman !
Ada berbagai pengalaman yang saya alami selama berada di kampung tersebut. Menurut pepatah “pengalaman adalah guru yang sangat baik”. Saya berterimakasih kepada pengalaman, karena pengalaman-pengalaman saya selama berada di kampung Brumahkot telah membuka mata saya terhadap beberapa situasi genting yang tejadi di kampung ini. Salah satu pengalaman yang sangat membekas sekaligus sangat menyedihkan adalah perlakuan dan tindakan kekerasan terhadap anak dan perempuan di kampung Brumahkot. Peristiwa yang saya lihat dan alami selama berada di kampung Brumahkot menyadarkan saya bahwa kehidupan anak dan perempuan di Suku Korowai sangat terancam dan ini berakibat pada keberlangsungan hidup suku tersebut. Menurut saya, jika anak dan perempuan Korowai Batu mengalami tindakan kekerasan hingga sakit dan meninggal, maka semakin lama populasi perempuan Korowai anak menurun bahkan bisa habis. Hal ini sangat serius untuk menjadi perhatian kita bersama terutama masyarakat Korowai sendiri. Jika anak dan perempuan Korowai tidak diselamatkan dari tindakan kekerasan, maka di masa depan kita tidak akan dapat lagi melihat atau mendengarkan kisah tentang perempuan Korowai.
Di kampung Burukmahkot dan juga di daerah Korowai Batu khususnya, banyak anak- anak perempuan yang tidak bisa pergi sekolah, karena mereka dari usia anak-anak hingga usia remaja sudah dijodohkan untuk dikawinkan dengan pria yang lebih dewasa darinya bahkan setara orang tua. Hal ini terjadi akibat budaya yang sudah mengikat suku ini dan diteruskan turun-temurun. Dalam laporan ini, saya akan menjelaskan beberapa contoh kisah tentang perlakuan dan tindakan kekerasan yang dialami anak dan perempuan di kampung Brumahkot. Selagi laporan ini anda baca, anak-anak perempuan Korowai Batu sedang terancam hidupnya. Doa dan dukungan anda sangat dibutuhkan untuk menolong anak-anak perempuan Korowai Batu agar terlepas dari kungkungan pernikahan dibawah umur.
2 Comments