Dua Realitas yang Tak Bisa Dipisahkan & Ketaatan Progresif & Allah Kita yang Cemburu – Bagian 3
eBahana.com – Dalam “Mengasihi Sesama,” kita belajar banyak kebenaran alkitabiah mengenai kasih: kasih penggenapan hukum, kerja dari kebenaran, hutang kita pada satu sama lain, sasaran dari perintah Kristen kita, karunia spiritual terbesar, dan kualitas tertinggi.
Sebenarnya, seluruh tujuan Allah untuk hidup kita adalah kasih. Jika kita menyimpang dari tujuan ini dan meleset – termasuk peran kita membawa kebangunan rohani kepada dunia. Kita harus belajar bagaimana mengasihi orang lain jika kita memainkan peran dalam kebangunan rohani yang akan datang.
Dalam “Mengasihi Allah,” kita akan menyelidiki Kitab Suci untuk menemukan jawaban-jawaban pertanyaan untuk kebangunan rohani: Apa artinya mengasihi Allah?
Yesus mengajar kita perintah paling penting dari semua: “Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.
Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40).
Karena mengasihi Allah perintah paling utama, bagaimana cara kita mengasihi-Nya dengan sepenuh hati? Kita harus mengerti kebenaran ini: kasih untuk Allah tidak pernah bisa dipisahkan dari “ketaatan” kita kepada-Nya. Kasih Allah tidak cengeng, sentimental, atau emosional. Bisa membuat emosional – namun berakar dalam “kehendak,” bukan dalam “emosi.”
Yesus sering berbicara tentang kasih dengan murid-murid-Nya. Ia bahkan melakukan itu dalam jam-jam terakhir sebelum kematian- Nya. Mari kita lihat empat ayat dalam Yohanes 19 – perintah Yesus terakhir kepada dua belas murid-murid-Nya sebelum penyaliban- Nya. Kita akan mulai dengan ayat 21:
“Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang “mengasihi” Aku. Dan barangsiapa “mengasihi” Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya” (Yohanes 14:21).
Dengan kata-kata ini, Yesus memberi kita dua pandangan penting. Pertama, motivasi kita mentaati Allah harus kasih, bukan ketakutan. Kedua, kasih sejati di ekspresikan dengan ketaatan. Ini harus terus menerus, karena fundamental dalam kehidupan Kristen: motif untuk mentaati Allah adalah kasih, dan kasih di ekspresikan dengan ketaatan pada-Nya.
Sayangnya, banyak orang Kristen yang melayani Allah lebih karena takut terhadap-Nya dari pada kasih untuk-Nya. Mari pikirkan sejenak apa yang Paulus katakan tentang takut dalam Roma 8:15: “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!.” Paulus mengacu pada hukum Musa. Orang-orang Yahudi mentaati hukum karena mereka takut akan akibat-akibat ketidaktaatan. Namun, dalam perjanjian baru, motif untuk ketaatan adalah kasih, bukan ketakutan.
Perbedaan antara dua pendekatan ini bisa dilihat dalam membesarkan anak-anak. Secara esensial ada dua cara untuk membesarkan anak-anak. Kita bisa membuat banyak peraturan dan menerapkannya dengan tegas – mengendalikan anak-anak kita melalui ketakutan. Atau, kita bisa membesarkan anak-anak kita dalam atmosfir kasih dan kepercayaan.
Jika anak-anak kita termotivasi untuk mentaati karena takut, maka, ketika mereka mencapai masa remaja, mereka akan memberontak melawan peraturan-peraturan kita. Mereka akan meninggalkan rumah sesegera mungkin dan hidup menurut cara mereka. Meski demikian, jika kita memenangkan hati mereka, mereka akan termotivasi oleh kasih pada kita dan akan terus mengikuti apa yang kita pernah ajar mereka dengan baik sampai dewasa. Kasih satu- satunya motivasi efektif untuk ketaatan.
Ini tepatnya apa yang Yesus katakan dalam Yohanes14:21 ketika Ia membuat pernyataan, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku.” Tolong pethatikan bahwa untuk menjalankan perintah-perintah, kita harus pertama “memiliki” perintah-perintah. Dengan kata lain, kita harus mencari kehendak Allah. Kita tidak bisa memiliki sikap pasif dan berkata, “jika Alkitab berkata begitu, kita harus melakukannya.” Allah mencari hubungan pribadi lebih dalam dengan kita dari pada itu. Ia ingin kita mencari kehendak-Nya karena kasih untuk-Nya – dan lalu mentaati-Nya, karena jalan-jalan-Nya betul dan benar.
“Yudas, yang bukan Iskariot, berkata kepada-Nya: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” (Yohanes 14:22).
Yudas bertanya pertanyaan ini karena sebelumnya dalam Yohanes 14, Yesus sudah mengatakan pada murid-murid-Nya Ia akan pergi. Ia berkata Ia akan meninggalkan mereka, namun Ia akan kembali dan berkomunikasi dengan mereka lagi.
“Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan [kami] akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yohanes 14:23).
Ini ayat sangat spesial. Satu dari sedikit tempat dalam Perjanjian Baru – atau dalam seluruh Alkitab – dimana kata ganti yang digunakan untuk Allah jamak. Yesus tidak berkata, “Aku akan datang,” melainkan “Kami akan datang.” Bapa, Anak, dan Roh akan datang untuk mendiami orang yang menuruti Firman Allah. Janji luar biasa!
Dalam ayat selanjutnya, Yesus menyatakan kebenaran yang berlawanan: “Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku” (Yohanes 14:24).
Apakah kita ingin tahu seberapa besar kita mengasihi Allah? Kita bisa mengetahui dengan mudah seberapa besar kita mentaati Firman-Nya. Kita tidak mengasihi-Nya lebih dari pada kita mentaati perintah-perintah-Nya. Kita boleh mengatakan kita mengasihi-Nya, kita boleh berdoa seolah-olah kita mengasihi-Nya, dan kita boleh melakukan perbuatan-perbuatan baik untuk menunjukkan kita mengasihi-Nya. Namun ukuran sejati dari kasih kita adalah ukuran ketaatan kita pada Firman-Nya.
Jadi, kasih adalah motivasi dan bukti ketaatan kita. Kebenaran ini bisa menakutkan setiap dari kita. Kita bisa bertanya ini pada diri kita sendiri, “Jika kita tidak secara total taat, apakah artinya kita tidak mengasihi Allah?”
Jawabannya tidak. Dalam kehidupan Kristen, pertumbuhan kasih dan ketaatan – progresif setahap demi setahap. Ketika kita menjadi orang Kristen, kita tidak mulai dengan sepenuhnya mentaati segala sesuatunya. Kita mendapat dorongan dari Filipi 1:6: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.”
Dalam kitab Roma, Paulus berkata mengenai Abraham, bapa iman kita: “Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Roma 4:3).
Paulus mengutip dari Kejadian 15:6, dimana dikatakan iman Abraham diperhitungkan padanya sebagai kebenaran karena ia percaya pada janji Allah. Jika kita membaca seluruh catatan kehidupan Abraham dalam Kejadian, kita akan menemukan ada sedikitnya dua peristiwa dimana ia secara total meleset dari kehendak Allah. Peristiwa pertama, ia membiarkan istrinya, Sara, diambil dan masuk harem firaun Mesir sebagai selir (lihat Kejadian 12:14-20). Peristiwa kedua, ia setuju dengan usul Sara untuk memiliki anak laki-laki dari pembantu-nya, Hagar (lihat Kejadian 16:1-2).
Dalam setiap kasus, Abraham meleset dari kehendak Allah. Ia tidak dengan sempurna mengikuti kehendak Allah. Meski demikian – dan ini benar kabar baik – bahkan ketika ia tidak taat secara total, imannya “diperhitungkan padanya sebagai kebenaran.”
Abraham pola kita dalam ini. Di akhir Roma 4, Paulus menulis: “Kata-kata ini, yaitu “hal ini diperhitungkan kepadanya, ” tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kita pun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati” (Roma 4:23-24).
Selama kita terus percaya, tetap dalam iman, selama hati kita mentaati dan mengikuti Allah, iman kita masih diperhitungkan pada kita sebagai kebenaran – bahkan ketika kita tidak sepenuhnya mentaati, dan bahkan ketika kita tersesat. Sangat penting bagi kita mengerti kebenaran ini. Tolong jangan biarkan setan membawa kita kebawah penghukuman jika kita tidak selalu taat secara total.
Sering, kita tersandung dan jatuh. Namun ikuti contoh Abraham. Ia tersandung, ia membuat kesalahan-kesalahan, namun ia tidak pernah menyerah. Meskipun ia membuat kesalahan-kesalahan, imannya selalu diperhitungkan padanya sebagai kebenaran.
Kita diingatkan dialog antara Yesus dan Petrus pada Makan Malam Terakhir. Yesus berkata padanya: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.”
Jawab Petrus: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!”
Tetapi Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, Petrus, hari ini ayam tidak akan berkokok, sebelum engkau tiga kali menyangkal, bahwa engkau mengenal Aku” (Lukas 22:31-34).
Yesus mengatakan, “Petrus, bahkan jika kamu diserang oleh Satan, dan bahkan jika kamu menyangkal-Ku tiga kali, pada akhirnya kamu akan baik-baik – asalkan kamu tidak melepaskan imanmu.”
Maka, peganglah iman kita. Tak jadi masalah betapa lemahnya kita, tak jadi masalah berapa kali kita tersandung, tak jadi masalah bagaimana kita merasa tidak berharga – jangan melepaskan iman kita. Kenapa? Karena iman kita diperhitungkan pada kita sebagai kebenaran. Jika kita berpegang pada iman kita, seperti Yesus membawa Petrus melewatinya, Ia akan membawa kita melewatinya juga. Iman kita bukan dalam diri kita sendiri – melainkan dalam kesetiaan-Nya.
Kita sudah mempelajari bahwa dalam kehidupan Kristen, ketaatan dilakukan secara bertahap. Ketika kita pertama kali menerima Kristus, kita tidak mulai dengan sempurna mengasihi dan mentaati Allah. Seperti sebagian besar usaha keras yang kita lakukan dalam hidup, kita membuat kemajuan langkah demi langkah.
Jika kita bergumul dengan perasaan-perasaan kegagalan atau penghukuman, mari kita berdoa untuk mendapatkan kelegaan dan keyakinan. Musuh kita, Satan, adalah musuh jiwa kita. Kitab Suci menyebutnya “pendakwa saudara-saudara kita” (lihat Wahyu 12:10). Jika kita dalam peperangan dengan penuduh, mari kita berdoa doa berikut dengan keras: “Tuhan Yesus yang terkasih, Abraham membuat kesalahan- kesalahan, namun imannya tetap “diperhitungkan padanya sebagai kebenaran.” Engkau berdoa untuk Petrus agar imannya tidak gagal, mengetahui bahwa Satan akan segera “menampi” nya, dan ia akan menyangkal Engkau. Saya juga sudah gagal. Namun saya tidak menyerah. Seperti Abraham dan Petrus, saya mempercayai bahwa iman saya akan “diperhitungkan pada saya sebagai kebenaran.”
Saya berdiri dengan iman melawan penghukuman dari pendakwa- pendakwa, berpegang teguh pada Firman-Mu dalam 1 Yohanes 1:9: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Dengan kerendahan hati saya datang kepada-Mu dalam kesedihan atas dosa-dosa saya, yang saya akui pada-Mu (katakan dosa-dosa yang mengganggu kita).
Tidak jadi masalah bagaimana saya sudah tersandung, saya mempercayai Engkau, Tuhan Yesus, untuk membawa saya melewatinya. Terima kasih atas pertolongan-Mu. Saya akan berpegang pada iman saya dan mempercayai Engkau menjaga saya maju terus dengan kesetiaan-Mu. Dalam nama Yesus. Amin.”
Sementara kita ingin mengerti apa arti sesungguhnya mengasihi Allah, kita perlu mempertimbangkan satu aspek khusus dari karakter-Nya yang mungkin mengganggu kita: “kecemburuan” Allah.
Allah cemburu. Kasih-Nya kasih cemburu. Banyak orang tidak suka mendengar ini karena mereka berpikir kecemburuan adalah sifat negatif. Alkitab mengajar ada tipe kecemburuan yang berdosa – jenis yang terpusat pada diri sendiri, ambisius, dan mengendalikan (lihat 2 Korintus 12:20; Galatia 5:30). Meski demikian, ada tipe murni kecemburuan, kecemburuan ilahi, yang berhubungan dengan kekudusan dan kasih agape.
Kecemburuan Allah masuk dalam katagori ini. Terjadi ketika mereka yang Ia kasihi dengan mendalam dan yang menjadi bagian-Nya mengabaikan atau meninggalkan-Nya. Luar biasa Allah Mahabesar, Pencipta alam semesta, begitu peduli pada orang-orang seperti kita sehingga Ia cemburu jika hati kita berbalik dari-Nya! Luar biasa – namun itu benar. Allah adalah Allah yang cemburu.
Dalam Sepuluh Perintah, seperti dipresentasi dalam Keluaran 20:4- 5, Allah membuat pernyataan-pernyataan ini: “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada dibumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.”Lalu, dalam Keluaran 34:14, Allah menyatakan ide ini lagi: “Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena TUHAN, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu.”
Dengan kata lain, Allah mengatakan, “Aku tidak mau siapa pun atau obyek apa pun mengambil tempat yang disediakan bagi-Ku.”
Setelah membaca Firman Allah, kita menghadapi kenyataan fakta ini: jika Allah Mahabesar – dengan semua keagungan, kemuliaan, kuasa, dan hikmat-Nya – bersedia masuk dalam hidup kita, maka secara logis hanya ada satu tempat dalam hidup kita yang kita bisa persembahkan untuk-Nya: tempat utama. Untuk mempersembahkan tempat kedua atau ketiga adalah menghina Allah Mahabesar. Banyak dari kita bersalah melakukan itu.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus berkata beberapa kata yang mengganggu yang tampaknya mengumandangkan deklarasi kecemburuan Allah yang kita baru saja baca dalam Keluaran. Walaupun ini pernyataan-pernyataan yang sangat mengganggu, setiap dari kita harus bergumul dengannya.
“Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-ku” (Lukas 14:25-26).
Sikap apa yang Yesus tunjukkan terhadap orang banyak itu? Apakah Ia mengatakan, “Tidakkah luar biasa Aku memiliki banyak pengikut,” Tidak. Sebenarnya, Ia melakukan segala sesuatu yang Ia bisa untuk mengecilkan hati mereka mengikuti-Nya.
Hari ini, banyak orang percaya cenderung mengagumi gereja-gereja besar. Mereka ingin mengetahui yang mana yang terbesar di dunia dan kedua terbesar – jemaat dengan ratusan ribu anggota. Yesus tidak terkesan dengan jumlah orang dalam gereja besar, karena Ia tidak mengatakan pada kita untuk membuat “anggota gereja.” Apa yang Ia katakan harus kita lakukan? Ia berkata, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28:19).
Ada perbedaan signifikan antara anggota gereja dan murid. Murid adalah seseorang yang tujuan utamanya dalam hidup mengikuti Yesus. Sebagai kontras, anggota gereja bisa seseorang yang hanya “agamawi” atau memiliki hormat pada Yesus – seseorang yang menghadiri ibadah gereja dan hidup baik. Satu dari masalah terbesar Kekristenan ada terlalu banyak anggota gereja yang “bukan” murid.
Dalam kitab Wahyu, Yesus berkata kepada jemaat di Laodikia, “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas.
Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!
Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Wahyu 3:15-16). Jika kita dingin secara spiritual, kita tidak membohongi siapa pun – kita tidak menyebut diri kita sendiri Kristen atau menganut iman tertentu. Jika kita panas secara spiritual, kita menantang orang- orang untuk menjadi murid. Namun jika kita suam-suam kuku, kita menyesatkan orang-orang. Kenapa? Karena kita memberi mereka kesan salah bagaimana Kekristenan sesungguhnya. Dalam Wahyu, Yesus lanjut mengatakan satu dari pernyataan paling ofensif: “karena engkau suam-suam kuku…..Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Wahyu 3:16). Apakah kita percaya Tuhan akan berbicara seperti itu? Suka atau tidak suka, Ia mengatakan-Nya.
Tuhan sangat lugas dan terus terang.
Allah tidak tertarik kita menambah lebih banyak anggota gereja kecuali mereka menjadi murid juga. Sekali lagi, ketika Yesus melihat orang banyak, Ia tidak berkata, “Datang dan bergabung dengan-Ku! Kita akan menikmati waktu indah. Kamu akan di berkati secara luar biasa!” Ia mengatakan sesuatu yang beda. Ia menantang mereka dengan panggilan untuk dimuridkan. Mari baca lagi: “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Lukas 14:26).
Ini pernyataan yang sangat mencolok. Apakah Yesus benar-benar minta kita untuk membenci anggota-anggota keluarga kita? Tidak, Ia tidak minta itu. Namun yang Ia maksud, bahkan anggota-anggota keluarga kita tidak bisa menjadi penghalang untuk kita mengasihi- Nya. Mereka tidak boleh mengambil tempat dalam hati dan hidup kita yang Ia klaim untuk diri-Nya sendiri. Ia berkata, “Dalam hal itu, kita musti memiliki sikap ‘membenci’ terhadap mereka. Kita harus ‘membenci’ “apa pun” yang mengambil tempat-Nya dalam hidup kita.” Yesus juga hati-hati mengatakan kita harus membenci hidup kita sendiri jika kita ingin mengikuti-Nya.
Apa yang Yesus katakan dalam ayat-ayat ini mungkin kedengarannya keras. Namun Ia tahu ini satu-satunya pencegah atau penangkal roh atau ilah zaman ini, yang adalah “mencintai diri sendiri.” Dalam 2 Timotius 3:2-5, Paulus memberi daftar delapan belas cacat moral yang melanda dan menyengsarakan umat manusia di penutupan zaman. Hampir semua mudah dilihat dalam kebudayaan hari ini.
Pertama dalam daftar Paulus kecenderungan orang-orang “mengasihi diri sendiri.” Satu masalah terbesar dalam kehidupan Kristen mengasihi diri sendiri. Menghancurkan perkawinan dan keluarga karena mengasihi diri sendiri berkata, “Jika kamu tidak cocok denganku, kamu boleh pergi. Benar, kita sudah menikah, namun jika kamu tidak bisa rukun denganku dan mengikuti cara- caraku, maka kamu boleh meninggalkan saya.”
Jadi, mengasihi diri sendiri akar dari kehancuran keluarga, yang adalah akar dari kehancuran masyarakat. Namun Yesus berkata, “Ketika sampai pada hubunganmu dengan-Ku, kamu harus ‘membenci’ dirimu, bapamu, ibumu, saudara-saudaramu laki-laki dan perempuan, dan isterimu.” Itu pernyataan yang radikal! Tolong dimengerti ini bukan berarti benar membenci orang lain. Ini berarti kita harus membersihkan diri kita dari apa pun yang ada antara Yesus dan kita – apa pun yang mengambil tempat Yesus dalam hidup kita. Ia menuntut kita menyingkirkannya dari tempat prioritas yang dikuasai. Hanya Yesus yang bisa mengambil tempat utama.
Dalam Lukas 14:27, Yesus lanjut mengatakan, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Ada dua definisi salib. Pertama, “Salib dalam hidup kita adalah kehendak Allah dan kehendak kita saling bersilangan.” Di titik itu, kita harus membuat keputusan: apakah kita akan berserah pada kehendak Allah meskipun berbeda dengan kehendak kita?
Definisi kedua: “salib adalah tempat dimana kita mati.” Kita tidak harus memikul salib. Sukarela. Namun jika kita memikulnya, kita harus mati bagi “diri kita sendiri.” Kecuali kita memenuhi syarat- syarat ini, Yesus berkata,”Kita tidak bisa menjadi murid-Nya.”
Mustahil menjadi murid Yesus dan membiarkan siapa pun atau apa pun mengambil tempat dalam hidup kita yang Ia klaim. Ia cemburu. Ia tidak akan berbagi posisi itu dengan orang, aktifitas, atau hal lainnya. Dalam Lukas 14:33, Yesus berkata, “Demikian pulalah tiap- tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Tolong dicatat: Yesus tidak berkata, “…mungkin tidak bisa menjadi murid-Ku” atau…akan mendapat kesulitan menjadi murid-Ku.” Dalam tiap tiga ayat dari Lukas 14 kita sudah me-review – ayat 26, 27, dan 33 – Yesus secara eksplisit berkata, “…tidak bisa menjadi murid-Ku.” Dengan kata lain, jika ada apa pun yang kita genggam dan kita tidak melepaskan demi Yesus, kita tidak bisa menjadi murid-Nya. Ini tidak berarti kita harus memberi semua milik kita.
Artinya untuk kita adalah: kita harus melepaskan apa pun dalam hidup kita yang lebih penting untuk kita dari pada mengasihi dan mentaati Yesus.
Oleh Loka Manya Prawiro.