Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Tujuh Langkah dan Pelajaran Dalam Kerendahan Hati – Bagian 5




eBahana.com – Kita eksplorasi lebih lanjut, dengan cara-cara praktis, apa artinya merendahkan diri kita dihadapan Allah. Kita sudah mencatat bahwa lebih rendah kita turun, lebih tinggi kita akan capai. Hasil ini bukan kebetulan. Ini bukan experimen. Ini hukum yang mengatur seluruh alam semesta.

Sebagian besar dari kita kadang-kadang dikonfrontasi oleh situasi-situasi yang memalukan. Orang-orang lain bisa menghina atau merendahkan kita. Mereka bisa menolak kita. Saudara-saudara, kapanpun ini terjadi, bersuka citalah – karena kita sudah memperoleh kesempatan indah untuk merendahkan diri kita.

Hukum kerendahan hati adalah ilustrasi paling indah dalam hidup Yesus, khususnya sesuai digambarkan oleh Paulus dalam Filipi 2:5-11. Nas ini mengingatkan kita kontras antara Yesus dan Lucifer. Lucifer Malaikat Agung dengan akses kepada tahta Allah. Meski demikian, kebalikan dari puas dengan tempat itu, ia menginginkan tempat tertinggi – dan ia jatuh ke tempat paling bawah.

Yesus, melalui kodrat ilahi-Nya, setaraf dengan Allah. Namun Ia merendahkan diri-Nya ke tempat yang terendah untuk menebus umat manusia untuk Bapa surgawi mereka. Oleh karena itu, Allah meninggikan-Nya ke tempat tertinggi.

Ini fakta luar biasa bahwa surat kepada orang-orang Filipi ditulis oleh Paulus ketika ia dipenjara. Tidak ada yang tahu materi tulisan apa yang tersedia untuknya? Kemungkinan ia bahkan tidak memiliki meja untuk menulis. Namun konstruksi literatur yang ia tulis secara absolut sempurna!

Lebih kita menganalisanya, lebih sempurna kita melihatnya. Pertama mempresentasi kerendahan hati Yesus dan ditinggikannya derajat-Nya, Paulus menggambarkan tujuh langkah kebawah yang Yesus lakukankan, dan tujuh langkah dimana Allah membangkitkan-Nya dari antara orang mati. Mari kita lihat seluruh nas, dan mempelajari pernyataan-pernyataan individualnya: Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Filipi 2:5-11).

Paulus mulai dengan menulis, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus….(Filipi 2:5). Dengan kata lain, kita harus belajar berpikir dengan cara Yesus berpikir.

Lalu Paulus menggambarkan bagaimana Yesus merendahkan diri-Nya: “….yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan ” (ayat 6). Ini diterjemahkan,”…tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sesuatu yang Ia harus rebut karena Ia sudah memiliki hak ilahi.” Yesus tidak perlu merebut untuk menjadi setara dengan Allah. Karena sudah menjadi milik-Nya dari awal mulanya. Apakah kita lihat perbedaan luar biasa? Lucifer menjangkau, merebut dan jatuh. Yesus merendahkan diri-Nya – dan Allah membangkitkan-Nya dari antara orang mati.

Kita sampai pada yang pertama dari tujuh langkah turun yang Yesus jalani: Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan (Filipi 2:6). Dalam Yunani asli dikatakan melainkan Ia telah mengosongkan diri-Nya sendiri.” – “Ia mengosongkan diri-Nya dari semua, kecuali kasih.”

Karenanya, langkah pertama: “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan.”

Langkah kedua: “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7). Yesus bisa menjadi hamba setingkat malaikat, namun Ia turun lebih rendah.

Langkah ketiga: “menjadi sama dengan manusia” (ayat 7). Ia turun ketingkat manusia. Meski demikian, Ia tidak turun ke tingkat kesempurnaan manusia yang Adam nikmati sebelum kejatuhannya. Meskipun Yesus tidak berdosa sama sekali, Ia turun kebawah ke tingkat umat manusia pada zaman-Nya.

Langkah ke empat: “Dan dalam keadaan sebagai manusia (ayat 8). Ketika orang-orang pada zaman Yesus melihat-Nya, tidak ada pada tampak luar-Nya yang mengindikasi kodrat ilahi-Nya.

Langkah kelima: “Ia telah merendahkan diri-Nya…” (ayat 8). Ia seorang yang rendah hati. Ia bukan pangeran atau imam. Ia tukang kayu. Tidak ada yang salah menjadi tukang kayu, namun sudah pasti bukan tingkat tertinggi dalam masyarakat pada zaman-Nya.

Langkah keenam: “taat sampai mati” (ayat 8). Ia hidup sebagai manusia, dan Ia mati sebagai manusia.

Langkah ketujuh, langkah terakhir kebawah: “bahkan sampai mati di kayu salib” (ayat 8). Penyaliban bentuk kematian yang digunakan untuk kriminal pada zaman itu. Rasa malu dan penderitaan yang paling ekstrim.

Tujuh langkah kebawah ini adalah pola kita. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (ayat 5). Kita harus belajar berpikir dengan cara Yesus berpikir dan bertindak dengan cara Yesus bertindak. Jangan menjangkau keatas. Jangan merebut. Sebaliknya, membungkuk. Lihat seberapa kita bisa merendahkan diri kita dan turun lebih jauh.

Selanjutnya, mari lihat tujuh langkah ditinggikan yang mengikuti tujuh langkah kerendahan hati. Mari perhatikan dalam Filipi 2:9, ada contoh lain “itulah sebabnya,” mengindikasi efek sesuatu yang datang sebelumnya.

Ditinggikannya ini hasil dari Yesus merendahkan diri-Nya. Kita harus menekankan bahwa Yesus tidak ditinggikan karena Ia Anak favorit. Dia ditinggikan karena Ia memenuhi syarat-syarat untuk di tinggikan. Ia pola kita.

Langkah pertama: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia” (ayat 9).

Langkah kedua: “….mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (ayat 9).

Langkah ketiga: “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut” (ayat 10).

Langkah keempat: “segala yang ada dilangit” (ayat 10). Langkah kelima: “segala yang ada dibumi” (ayat 10).

Langkah keenam: “segala yang ada dibawah bumi” (ayat 10).

Dan langkah ketujuh: “….segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa” (ayat 11).

Kita senang dengan struktur sempurna dari nas kitab Filipi: tujuh langkah kebawah dan tujuh langkah keatas, digabung dengan kata “itu sebabnya.” “Itu sebabnya” ini berlaku bagi kehidupan setiap dari kita! Ukuran kita turun kebawah akan menentukan ukuran kita sesuai yang Allah angkat kita.

Jadi, jika kita ingin Allah mendengar doa-doa kita untuk kebangunan rohani, kita tidak bisa potong kompas syarat pertama: “Jika umat-Ku….merendahkan diri” (2 Tawarikh 7:14). Jika kita tidak merendahkan diri kita, segala sesuatu lainnya adalah sia-sia. Kita bisa berdoa sebanyak kita suka; kita bisa berpuasa; kita bisa menangis kepada Allah; kita bisa berkhotbah. Namun Allah berkata syarat pertama adalah “merendahkan diri.” Dan Ia sungguh-sungguh menuntut itu. “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (1 Petrus 5:5).

Pertanyaan yang kita perlu investigasi adalah “Bagaimana kita bisa merendahkan diri kita?” Kita membutuhkan aplikasi praktis dari apa yang kita belajar.

Kita diingatkan oleh pernyataan Paulus mengenai bagaimana suatu hari kita akan berdiri dihadapan takhta pengadilan Kristus: “Sebab kita semua harus menghadapi takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat (2 Korintus 5:10).

Pengadilan Kristus ini bukan penghukuman, melainkan pengadilan orang-orang percaya untuk menilai kesetiaan mereka dan memberi upah kekal.

Tuhan ingin memperlihatkan pada kita, meski demikian, bagaimana “hawa nafsu kedagingan” kehidupan kita dibumi. “Kedagingan” adalah terminologi alkitabiah hidup dalam kodrat berdosa yang sudah jatuh. Disebut “hidup dalam kedagingan” – kebalikkan dari hidup dalam Roh.

Hidup dalam kedagingan adalah hidup seolah-olah tidak ada “kekekalan.” Kapanpun kita “melupakan” fakta bahwa kekekalan adalah takdir sejati kita, dan bahwa kita di bumi hanya sebentar, kita sudah hidup dalam kedagingan, relatif beberapa tahun.

Firman Allah berkata, “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu” (Galatia 6:8).

Allah juga menunjukan dosa-dosa dalam hidup kita yang belum diakui. Dari apa yang Kitab Suci katakan, jika kita ingin dosa-dosa kita diampuni, ada langkah yang harus kita lakukan. Kita harus mengakuinya: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1Yohanes 1:9).

Kita tidak bisa meng-klaim pengampunan untuk dosa-dosa yang belum kita akui. Satu dari pelayanan besar kesetiaan Roh Kudus adalah menginsafkan kita akan dosa. Ini bukan untuk menghukum kita, tetapi untuk membebaskan kita – karena ketika kita dibawah tuduhan, kita bisa mengakui dosa-dosa kita dan dibebaskan.

Satu lagi Allah ingin memberi kita.

Digambarkan dalam Mazmur 118:13-18, dimana pemazmur mengatasi musuhnya Iblis. Nas tersebut dimulai dengan cara berikut: “Aku ditolak dengan hebat sampai jatuh, tetapi TUHAN menolong aku” (ayat 13).

Iblis tak diragukan mendorong kita dengan hebat untuk menjatuhkan kita. Meski demikian, seperti penulis katakan: “Tetapi TUHAN menolong aku. Tuhan itu kekuatanku dan mazmurku; Ia telah menjadi keselamatanku (Mazmur 118:13-14).

Pemazmur meneruskan: “Suara sorak-sorai dan kemenangan di kemah

orang-orang benar: “Tangan kanan TUHAN melakukan keperkasaan, tangan kanan TUHAN berkuasa meninggikan, tangan TUHAN melakukan keperkasaan!” (ayat 15-16).

Ada bagian mazmur yang kita perlu tekankan secara khusus: “Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN.

TUHAN telah menghajar aku dengan keras, tetapi Ia tidak menyerahkan aku kepada maut” (ayat 17-18).

Saudara-saudara, jika Allah tidak menyerahkan kita kepada maut, kita tidak akan mati. Ia sudah pasti menghajar kita dengan keras, namun penghajaran itu suatu karunia bagi kita. Ia membawa kita berhadapan dengan aspek-aspek kehidupan, karakter, dan pelayanan kita yang tidak menyenangkan-Nya. Ia sudah memberkati pelayanan kita bertahun-tahun. Namun suatu kesalahan membuat asumsi bahwa jika Allah memberkati kita, berarti Ia menyetujui segala sesuatu yang kita lakukan.

Kita harus bersyukur atas penghajaran-Nya. Ini akan merubah pandangan kita selamanya atas prinsip alkitabiah bahwa penghajaran-Nya tidak bisa dipisahkan dari tindakkan merendahkan diri kita.

Ketika kita berkata “hukum,” kita tidak berbicara mengenai hukum Musa, atau lima kitab pertama Perjanjian Lama.

Kita mengacu pada peraturan-peraturan dan hukum-hukum dalam pengertian umum. Bisa hukum pemerintah atau peraturan-peraturan denominasi-denominasi atau jemaat khusus.

Dalam hal ini, hukum memiliki dua fungsi utama.

Pertama, hukum mendefinisi dan membatasi kejahatan dengan meletakkan batas-batas. Dengan kerusakkan hukum hari ini, khususnya hukum moral di Barat, batas-batas etis sudah dihapuskan. Tidak ada benar-benar batas pada apa yang orang-orang lakukan, sehingga menghasilkan pelanggaran hukum.

Kedua, hukum memampukan orang-orang untuk hidup dalam harmoni satu dengan lainnya. Jika tidak ada hukum, penduduk-penduduk dalam masyarakat tidak bisa berfungsi bersama dengan aman dan damai.

Prinsip-prinsip umumnya adalah jika kita ingin hidup bersama dengan lainnya, kita harus setuju dan mentaati protokol-protokol tertentu.

Hukum-hukum dan peraturan-peraturan diperlukan untuk mendefinisi dan mengendalikan perilaku yang salah, dan agar berfungsi baik keluarga-keluarga, organisasi-organisasi, dan masyarakat umum. Namun kita harus menyadari bahwa hukum-hukum dan peraturan-peraturan “tidak bisa membuat kita benar.”

Dalam hal ini, mari pertimbangkan peraturan-peraturan denominasi-denominasi dan jemaat-jemaat individual. Jika kita menjadi bagian denominasi khusus atau gereja, kita harus menghormati dan patuh pada

peraturan-peraturannya. Jika kita tidak bisa melakukannya, kita kemungkinan tidak boleh ada dalam kelompok khusus itu.

Meski demikian, waspadalah bahwa sebagian besar peraturan-peraturan gereja – [kemungkinan ada pengecualian tidak benar-benar berurusan dengan isu-isu dasar komunitas Kristen, seperti kasih, pengampunan, dan hubungan]. Mereka berurusan dengan isu-isu sekunder, seperti pantangan hubungan seksual sebelum kawin dan tipe-tipe pakaian dan hiburan yang diperbolehkan. Mereka memberi kesan mentaati semua peraturan-peraturan ini perlu kita lakukan agar dibenarkan dihadapan Allah. Ini kenapa mentaati hukum bisa menipu.

Pernyataan-pernyataan Yesus dalam khotbah di Bukit dengan jelas mendemonstrasi kenapa peraturan-peraturan agamawi tidak cukup untuk kehidupan Kristen: “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah” (Matius 5:3). Apakah peraturan-peraturan membuat kita “miskin dalam roh?” (Alkitab terjemahan Inggris). Apakah mereka membuat kita memiliki hati yang mencari Allah, mengakui perlunya kita akan Dia?

Biasanya, peraturan-peraturan agamawi memiliki efek yang berlawanan dalam hidup kita.

“Berbahagialah orang yang lemah lembut” (ayat 5). Berapa banyak peraturan-petaturan gereja menghasilkan kelemah lembutan, atau kerendahan hati?”

“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (ayat 6). Apakah peraturan-peraturan sebuah gereja membuat kita lapar dan haus akan kebenaran?

“Berbahagialah orang yang murah hatinya” (ayat 7). Sebagian besar peraturan gereja tidak menuntut belas kasih – meski ada beberapa melakukan itu.

“Berbahagialah orang yang suci hatinya” (ayat 8). Peraturan-peraturan gereja tidak bisa membuat hati kita suci (murni).

“Berbahagialah orang yang membawa damai” (ayat 9). Berbicara secara umum, gereja-gereja dengan peraturan-peraturan paling banyak, justru memiliki pertikaian paling banyak! Jika kita mempelajari denominasi-denominasi gereja yang paling legalistik, kita akan melihat bukti banyaknya perpecahan yang sudah terjadi. Kenapa? Karena mereka melekatkan segala sesuatunya pada peraturan-peraturan mereka. Ketika kita hidup dengan peraturan-peraturan, kita harus membuat lebih dan lebih banyak lagi peraturan-peraturan.

Ketika kita bergantung satu-satunya hanya pada hukum-hukum agamawi atau moral, dua hasil tidak menguntungkan biasanya mengikuti. Pertama, mereka mempromosi kebenaran diri sendiri dan kesombongan (pride), seperti di ilustrasikan oleh perumpamaan Yesus mengenai orang Farisi dan pemungut cukai: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Lukas 18:10-14).

Pemungut cukai adalah orang yang diusir dari masyarakat Yahudi. Jadi dimata seorang Yahudi, orang ini terendah dari yang rendah. Perhatikan bahwa orang Farisi itu berdoa “dengan dirinya sendiri.” Ia tidak berdoa kepada Allah – ia berdoa kepada dirinya sendiri. Yang mana dari dua orang ini mendapatkan kebenaran? Bukan orang Farisi, dengan hukum-hukumnya, melainkan pemungut cukai, dengan tangisan minta belas kasih. Pada dasarnya, mentaati peraturan-peraturan agamawi membuat kita sombong (proud).

Kedua, mentaati hukum-hukum agamawi atau moral mendistraksi kita dari isu-isu utama dan menyebabkan kita fokus pada hal-hal yang tidak mengena pada pokoknya.

Catat apa yang Yesus katakan dalam Matius 23:23 kepada orang Farisi, yang adalah contoh alkitabiah dari orang-orang yang hidup menurut peraturan-peraturan agamawi: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selisih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” Yesus tidak berkata salah membayar persepuluhan dari selisih, adas manis dan jintan. Namun orang-orang Farisi terperangkap dengan peraturan-peraturan mereka mengenai perumpamaan yang mereka tidak sadari atas klaim-klaim keadilan, belas kasih, dan iman – isu-isu hati yang benar-benar berarti.

Isu utama, yang kita identifikasi adalah kasih. “Tujuan nasihat itu ialah kasih” (1 Timotius 1:5). Apapun yang menyimpang dari ini adalah “omong kosong” (1 Timotius 1:6), atau kesia-siaan”. Berapa banyak gereja setuju bahwa pada dasarnya, dengan hanya sedikit pengecualian, orang-orang yang paling legalistik juga orang-orang yang paling tidak mengasihi. Ini bukan kebetulan – contoh sebab musabab. Apa yang legalisme lakukan. Menonjolkan penampilan diatas kasih dan belas kasih.

Alternatif satu-satunya untuk legalisme adalah kasih karunia. Apa itu kasih karunia? Kita bisa melihat definisi teologis, seperti “Kasih karunia adalah hak istimewa Allah terhadap orang-orang yang tidak layak dan tidak pantas.” Tidak ada salahnya dengan definisi itu, namun tidak membuat kasih karunia terdengar menggairahkan.

Kasih karunia tidak berwujud…tidak terlihat – namun secara absolut riil dan luar biasa berkuasa. Ini kuasa. Supernatural. “Kasih karunia dimulai ketika kemampuan manusia berakhir.” Selama kita bisa mengurus hidup kita sendiri, kita tidak akan mencari kasih karunia Allah.

Namun ketika kita sampai pada akhir dari semua sumberdaya kita, kasih karunia sumber daya supernatural yang tersedia untuk kita.

Hukum dan kasih karunia saling eksklusif. Paulus membuat kebenaran ini sangat jelas dalam pernyataan yang menakjubkan dalam pasal keenam kitab Roma.

“Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Roma 6:14).

Ada dua implikasi logis dari ayat ini. Pertama, kita tidak bisa berada dibawah keduanya – hukum dan kasih karunia pada waktu yang sama. Kita tidak bisa mengkombinasinya, dan kita tidak bisa memiliki keduanya. Kita harus mengambil keputusan dan memilih satu atau yang lainnya.

Kedua, jika kita dibawah hukum, dosa “akan” masih memiliki dominion atas kita. Kita tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Apakah kita menerima pernyataan ini? Apakah ini interpretasi yang adil dari ayat Kitab Suci diatas? Dalam pengajaran lain, Paulus berkata, “Kuasa dosa ialah hukum Taurat…” (1 Korintus 15:56).

Ini pernyataan luar biasa juga. Jika kita benar-benar berpikir mengenainya, apa artinya? Ketika kita hidup dibawah hukum, maka hukum berdiri dihadapan kita setiap waktu, seperti tablet batu besar yang tidak bisa digerakkan dengan Sepuluh Perintah diukir padanya. Ini diluar kita. Ini eksternal. Jika kita berkata pada diri kita, “Saya akan mentaati hukum itu, “Apa yang kita andalkan? Kita mengandalkan kekuatan kita sendiri.

Banyak orang Kristen mulai dengan kasih karunia namun berakhir dengan hukum. Mereka kembali mentaati peraturan-peraturan karena alamiah bagi manusia bergantung pada kemampuan dan usaha-usaha mereka sendiri. Namun ketika kita melakukan itu, kita “mengaktifkan kembali” “manusia lama: yang mati ketika kita datang pada Kristus. Kita mulai hidup sesuai kodrat kedagingan lagi.

Mari kita review kata-kata Paulus dalam Roma 6:14. Pertimbangkan bagaimana ini bisa mempengaruhi cara kita hidup.

“Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.”

Apakah kita hidup menurut hukum atau menurut kasih karunia? Ingat itu bukan satu “dan” satunya. Ini satu “atau” yang lainnya. Kita harus memilih.

Kita perlu keinginan naluriah untuk kasih karunia. Kenapa? Karena tidak ada kata untuk mengekspresi betapa luar biasa, betapa secara sangat diinginkan, betapa tak ternilai berharganya kasih karunia Allah! Kita akan baca dua nas dari surat-surat Paulus kepada orang-orang Korintus.

Dalam 1 Kotintus, Paulus membandingkan dirinya dengan mereka para rasul sebelumnya: “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.

Tetapi karena ‘kasih karunia’ Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua: tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:9-10).

Kata “kasih karunia” disebut tiga kali dalam nas ini. Untuk memparafrasa, Paulus mengatakan, “Aku tidak layak. Aku paling hina. Aku paling berdosa (lihat 1 Timotius 1:15).

Namun Allah memilih mendemonstrasi kasih karunia-Nya dalamku – melalui kasih karunia-Nya aku menjadi aku apa adanya. Kasih karunia-Nya tidak diberikan atasku dalam kesia-siaan. Melalui kasih karunia-Nya, aku telah bekerja lebih keras. Namun bukan karena pekerjaanku sama sekali, namun kasih karunia Allah yang “menyertai aku.” Apakah kita bisa melihat bahwa kasih karunia bukan hanya abstraksi atau ikthisar teologis? Melainkan “menyertai kita,” dan berkuasa tanpa batas dan melimpah tidak ada habisnya.

Lalu, dalam 2 Korintus Paulus berbicara mengenai masalah yang ia tidak bisa atasi – satu yang Allah tidak akan mengatasi untuknya. Ini benar-benar mengecilkan hati ketika kita mengenal Allah “bisa” menyelesaikan suatu isu, namun Ia “tidak” menyelesaikannya. Ini apa yang Paulus katakan: “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri” (2 Korintus 12:7).

Teori mengenai kodrat “duri dalam daging” Paulus, adalah adanya kerajaan atau kuasa satanik yang menerima tugas – untuk membuat masalah bagi Paulus. Masalah yang ia alamai secara absolut tidak alamiah. Kemanapun ia pergi, pemberontakkan atau keributan terjadi. Biasanya berakhir dengan Paulus di masukkan kedalam penjara, dipukuli, atau dikejar keluar dari kota. Ini tidak terjadi pada semua rasul-rasul yang lain. Mereka sudah pasti memiliki bagian masalah-masalah mereka sendiri – namun tampaknya ada sesuatu yang tidak alamiah mengenai apa yang Paulus alami. Dalam 2 Korintus 12:7, ia berkata, “aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku.” Kemanapun aku pergi, ia ikut juga, dan menimbulkan masalah.” Paulus meneruskan, “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku” (2 Korintus 12:8).

Tidak sekali, tidak dua kali, namun tiga kali Paulus memohon Tuhan untuk menyingkirkan lawan dari dirinya. Namun Allah berkata padanya.

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (ayat 9).

Esensinya, Allah berkata pada Paulus, “Semua yang kau perlukan adalah kasih karunia-Ku. Tidak akan kekurangan. Selalu cukup.” Apakah kita mulai dan mengakhiri setiap hari kita dengan masalah-masalah seperti yang Paulus gambarkan? Mungkin kita sudah berdoa, berpuasa, dan melakukan segala sesuatu yang kita tahu untuk bisa menyelesaikan masalah tertentu. Kita perlu menyadari, “Kasih karunia Allah cukup – sama seperti Paulus.”

Mereka yang hidup dalam pelayanan tidak bisa mengatasi setiap masalah. Kadang-kadang kita bahkan tidak bisa mengatasi masalah kita sendiri! Namun kasih karunia Allah cukup untuk setiap dari kita yang mempercayai-Nya.

Dalam bagian setengah 2 Korintus 12:9, Paulus membuat pernyataan luar biasa: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.”

Kita mungkin sudah ratusan kali membaca ayat ini, dan kita harus mengakui pada Allah, “Tuhan, saya tahu Paulus mengatakan ini, dan saya mengetahuinya ini ada dalam Alkitab – namun saya tidak bisa benar-benar mengatakannya untuk diri saya sendiri.

Paulus melanjutkan, “Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Korintus 12:10).

Apa yang membuat Paulus kuat ketika ia lemah? Kasih karunia Allah. Apakah kita bisa mengatakan, “Saya senang di dalam kelemahan-kelemahan, celaan-celaan, dalam keperluan-keperluan, dalam persekusi-persekusi, dalam distres-distres?

Ketika kita berada di bawah, itu kapan kasih karunia Allah paling murah hati. Ia akan selalu membuat kasih karunia-Nya tersedia untuk kita. Ia tidak akan pernah menahannya.

Allah tidak miskin dalam kasih karunia. Ia memiliki cukup untuk setiap orang – dan banyak untuk dibagi. Kenapa kita kembali ke hidup menuruti seperangkat peraturan-peraturan hukum ketika kita bisa memiliki kasih karunia Allah?

Kita bisa memiliki keinginan untuk hidup menurut kasih karunia Allah. Kita memiliki persediaan cukup untuk menerima kasih karunia-Nya ketika keadaan kita paling sulit dan ketika kebutuhan kita paling besar.

Kemungkinan kita atau orang lain dalam situasi kesulitan ekstrim. Dalam dunia kita yang bermasalah, begitu banyak orang berada dalam situasi-situasi tak tertahankan menghadapi tantangan-tantangan keluarga, masalah-masalah kesehatan, hubungan-hubungan yang tegang, atau isu-isu lain. Kita harus mempercayakan diri kita pada kasih karunia Allah – karena kasih karunia-Nya cukup. Ia ingin orang-orang percaya mendemonstrasikan pada seluruh dunia apa yang kasih karunia-Nya bisa lakukan dalam kehidupan manusia.

Kita tidak boleh menipu diri kita dengan menyelesaikan dibawah standar kasih karunia-Nya! Tuhan selalu ingin memberi kasih karunia-Nya. Jika kita belum pernah berserah pada kasih karunia Allah, jika kita belum pernah benar-benar mengijinkan kasih karunia Allah masuk kedalam hidup kita, mari kita lakukan itu.

Kemungkinan kita sedang berada dalam ketidak percayaan, mementingkan diri sendiri, atau bahkan terlalu yakin pada diri sendiri. Kita belum pernah membuka diri – kita belum pernah benar-benar datang kepada Tuhan minta kasih karunia-Nya. Apakah kita bisa mengerti bahwa jika kita dibenarkan, langkah pertama yang kita harus ambil adalah berhenti “mencoba” menjadi benar?

Kasih karunia Allah mulai bekerja ketika kita sampai pada akhir dari semua usaha-usaha kita. Jika kita bersedia, jika kita berhenti bergantung pada kekuatan kita sendiri, jika kita sudah sampai pada akhir dari diri kita dan siap mempercayai karunia indah kasih karunia Allah, mari kita berdoa doa ini: “Yang kekasih Bapa Surgawi, Saya di akhir dari diri saya. Saya mengakui pada-Mu bahwa saya sudah hidup dibawah hukum, mencoba menjadi benar dengan usaha-usaha saya sendiri. Saya tidak lagi ingin hidup dengan cara ini – saya ingin dipimpin oleh Roh Kudus.

Saya ingin hidup saya merefleksi kasih karunia dan kemulian-Mu. Saya ingin melepaskan kendali atas hidup saya, dan menerima kasih karunia-Mu sekarang. Menurut Firman-Mu, saya sudah diselamatkan melalui iman, bukan diri saya – melainkan karunia daripada-Mu. Terima kasih.

Saya mempercayai Engkau, dan saya mengasihi Engkau. Dalam nama Yesus. Amin.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply