Kisah Lina (Umur 8 Tahun)
Papua, eBahana
Awal pertemuan saya dengan Lina terjadi di minggu akhir bulan Agustus. Pertama kali saya melihat Lina di dalam gedung gereja di suatu ibadah minggu pagi. Waktu itu saya menyadari kalau ada beberapa wajah baru yang mengikuti ibadah saat itu. Jumlah orang di kampung ini tidak terlalu banyak jadi kalau ada orang yang baru di kampung, sangat mudah dikenali. Lina adalah seorang anak perempuan Korowai pada umumnya, tubuhnya kurus dan kulitnya kusam. Lina berusia sekitar delapan tahun. Sepanjang ibadah berlangsung, perhatian saya tertuju kepadanya. Dalam hati, saya ingin untuk mengenal Lina dan memintanya mengikuti kelas yang saya ajar di kampung itu. Setelah ibadah selesai, saya bergegas menghampiri Lina dan ibunya yang sedang menggendong adik bayinya.
Saya mulai bersalaman dan menanyakan namanya, dengan suara yang pelan ia berkata “nama Lina”. Saya memandangnya dengan tersenyum dan memberitahu dirinya” Lina, besok – hari senin pagi Ibu mengajar ko punya teman-teman di gereja ini lagi, kalau Lina mau sekolah, bisa datang dan gabung dengan teman-teman lain”. Lina mengangguk tanda setuju, saya memandang sinar matanya yang ingin sekolah. Sebelum saya mendapatkan jawaban dari mulut Lina, Ibunya memotong pembicaraan kami dan mengatakan “ Ibu guru Lina sudah kawin, dia sudah punya suami jadi tidak bisa sekolah”. Jawaban Ibu Lina seperti sambaran petir di siang hari untuk saya, saya tidak menyangka bahwa gadis kecil didepan saya ini sudah bersuami. Hati saya begitu gelisah mendengar jawaban Ibunya Lina. Saya lanjut bertanya pada Ibu Lina ” siapa suaminya Lina ?” jawab ibunya “ Mandor kampung”. Oh tidak, saya kenal baik mandor kampung ini. Ia seorang Bapak beristri dua dan memiliki tiga anak laki-laki. Istrinya yang pertama sudah tua, istrinya kedua jauh lebih muda dan sekarang ia ingin memperistri Lina, gadis kecil berusia 8 tahun. Saya sangat marah ketika mendengar jawaban dari Ibu Lina.
Saya mencoba menjelaskan kepada Ibu Lina bahwa Lina masih sangat kecil dan ia belum bisa kawin saat ini. Namun, Ibu Lina mengatakan bahwa Lina sudah ditandai oleh Bapak Mandor itu sewaktu ia masih bayi mungil dipelukan ibunya. Hati saya sangat sedih mendengar penjelasan ibunya Lina. Saya ingin menangis saat itu, tetapi saya berusaha sekuat tenaga menahan air mata saya. Saya meminta ijin pada Ibu Lina dan mengajak Lina ke rumahku. Saya ingin memberikan beberapa barang kepada Lina. Setelah diijinkan Ibu Lina saya pun membawa Lina ke rumahku. Ketika sampai dirumah, saya langsung membawanya masuk ke kamarku. Di kamar itu, saya memeluk Lina erat dan menangis di depannya. Saya tidak bisa menahan air mataku. Saya terus menangis dan memeluknya. Lina hanya berdiri didepanku dan tanpa tahu alasan kenapa saya menangis serta memeluknya. Ia masih sangat polos dan tidak berdaya saat itu. Ia harus menjalani kehidupan yang berat untuk anak sesusianya. Hatiku benar-benar hancur berkeping-keping saat itu.
Tidak lama kemudian, saya mendengar suara Ibu Lina memanggil namanya, saya bergegas menghapus air mataku mencari beberapa barang yang hendak saya berikan kepada Lina. Saya memberikannya pakaian, sabun mandi, sikat gigi, shampoo dan mie instan. Saya sangat mengasihi Lina dan merasa sedih karena ia tidak dapat belajar di sekolah seperti teman-temannya yang lain. Saya pun mengantarkan Lina kembali kepada Ibunya daan mereka segera pulang ke rumah suami Lina. Ibu dan paman Lina menetap beberapa hari di rumah Bapak Mandor.
Lina awalnya menetap di Kampung Woman. Jarak dari kampung Woman ke Kampung Brumahkot sekitar 5 jam berjalan kaki melintasi hutan lebat. Ibu dan paman Lina membawanya ke kampung Burmahkot karena dia sudah dibayar oleh calon suaminya seharga empat juta rupiah. Itulah harga mas kawin untuk Lina. Setelah uang diterima keluarga Lina, maka ia sudah resmi menjadi milik suaminya. Umur Lina yang masih muda mengharuskannya bekerja keras dan belajar bagaimana menjadi seorang istri dan juga statusnya sebagai istri ketiga dalam keluarga Bapak Mandor itu. Ia harus bekerja keras sama seperti istri-istri yang lainnya. Mencari kayu dan sayur di kebun, mencari ikan di kali dan menimba air minum di kali adalah pekerjaan harian Lina sebagai seorang istri.
Di suatu pagi, saya bertemu Lina di pinggir kali tempat kami mencuci pakaian. Sewaktu saya lagi mencuci, ia juga datang untuk menimba air. Saya memakai kesempatan itu untuk bertanya padanya. Saya bertanya mengenai keinginannya untuk sekolah, apakah ia mempunyai cita-cita, apakah ia pernah belajar waktu ia di kampungnya. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan santai olehnya. Ia menjelaskan bahwa dirinya pernah bersekolah di Kampung Woman dan ia sudah mengenal huruf a-z dan juga ia dapat berhitung 1-100. Lina menjelaskan kepadaku bahwa ia memiliki cita-cita ketika besar nanti. Ia ingin menjadi seorang perawat dan bertugas di kampungnya. Sungguh cita-citanya yang mulia kini kandas, karena ia telah dikawinkan.
Saya sendiri sangat merasa sedih dengan keadaan Lina seperti itu, tetapi saya tidak dapat melawan Mandor itu seorang diri. Selama seminggu, setiap malam Lina terus menerus menangis dari mulai tengah malam sampai subuh. Saya sangat terpukul melihat keadaan Lina. Saya ingin berusaha untuk menolong dia, karena ia pun masih ingin sekali bersekolah. Dia juga punya cita-cita, ia ingin menjadi seorang suster. Cita-citanya yang sangat mulia, kini kandas karena ia harus menjalani peran sebagai seorang istri muda.Ada hal yang begitu sedih yang terjadi kepada Lina. Pada waktu orang tuanya Lina akan kembali ke kampung Woman, ia mengalami kesedihan luar biasa. Ia tidak mau berpisah dengan ibunya. Selayak usia anak-anak Lina menangis meraung-raung ketika ditinggal ibu dan pamanya. Ia terus menangis dan merontak, ia masih menginginkan ibunya tinggal bersamanya. Namun, ibu dan pamannya terus berjalan meninggalkan Lina di rumah suaminya. Lina terus menangis meronta-ronta, suaminya berusaha menenangkannya tetapi ia terus menangis. Tanpa berpikir panjang, suaminya mengambil tali dan mengikat kedua tangan Lina ditiang kamarnya. Suara tangisan Lina terdengar sampai ke rumahku. Saya berusaha mendekati rumahnya dan berbicara dengan Bapak mandor untuk melepas ikatannya, tetapi bapak Mandor tidak mau mendengarkan permintaanku bahkan teguran dari Penginjil juga tidak dihiraukannya. Ia terus membiarkan Lina terikat dikamarnya.
Minggu pertama Lina berada di kampung Brumahkot dan menjalani status barunya sebagai seorang istri jauh dari kata bahagia. Seringkali Lina ditinggalkan di rumah seorang diri dan dikunci di dalam rumah. Ketika suami dan istri-istrinya yang lain pergi ke kebun atau berburu di hutan, mereka membuang tangga yang dipakai untuk naik ke rumah panggung (byvak), sehingga Lina tidak dapat kemana-mana, hanya tinggal di dalam rumah itu saja dari pagi hingga menjelang gelap. Kehidupan Lina yang jauh dari kata bahagia harus diterimanya setiap hari.
Ketika malam hari tiba, ia terus menerus menangis. Suara tangisannya mulai terdengar tengah malam sampai subuh. Suara tangisannya begitu pilu dan menyayat hati. Ia menangisi orang tuanya setiap tengah malam. Tangisan pilunya memecah dikesunyian malam. Suaranya begitu pilu. Tiap kali ketika ia menangis ditengah malam, saya pun akan terbangun dan ikut menangis bersamanya. Saya menangis didalam kamar, dan mendoakan Lina supaya Tuhan menolongnya. Ia dilarang bermain diluar rumah, meskipun ia memiki teman-teman sebaya, ia tidak diijinkan bermain bersama mereka.
Tubuh Lina semakin hari semakin kurus. Melihat kondisinya yang semakin menurun, suaminya sangat ketakutan dan memutuskan untuk mengantarkannya kembali kepada ibu dan pamannya di kampung Woman. Sejak saya itu saya tidak pernah lagi mendengar tentang keadaan Lina.
Pada akhir bulan September, saya mengunjungi kampung Woman dan saya mencari keberadaan Lina. Ketika bertemu dengannya, saya segera memeluknya erat. Dia tersenyum dan menceritakan kehidupan barunya. Saya berharap ia menceritakan bahwa ia dibebaskan dari perkawinannya dan ia bisa bersekolah lagi di kampung itu. Namun, dugaan saya salah. Lina masih terlilit dalam perkawinan anak. Ia dikawinkan lagi dengan anak tertua mantan suaminya itu. Suami barunya adalah seorang pria muda berusia tiga puluh tahun yang bekerja sebagai penambang emas di daerah Korowai Batu. Sinar di matanya sudah hilang. Saya menatap lurus wajahnya polos dan jiwa lugunya itu seperti sedang merana diantara pencarian jati dirinya. Ia sudah kehilangan semangat untuk bersekolah. Ia terpaksa harus menerima keadaannya saat itu. Ia tidak dapat melawan, tidak dapat mengungkapkan pendapatnya. Ia hanya harus patuh pada perintah dan pilihan orang tuanya. Saya kembali ke rumahku dengan perasaan sedih yang mendalam. Saya berduka atas keadaan Lina, duka ini akan saya kenang seumur hidupku.
Setelah kembali ke kampung Brumahkot, saya tidak pernah mendengar lagi kabar tentang Lina.
(catatan: saya tidak dapat mengambil foto Lina karena hanya bertemu dua kali. Pertemuan kami begitu singkat, sehingga saya fokus pada mengali ceritanya saja).