Kisah Opina dan Ibunya
Papua, eBahana
Opina anak perempuan Korowai ia juga menjadi muridku setelah dua minggu saya mengajar di kampung itu. Ia masih berumur lima tahun dan tinggal bersama ibu dan adik perempuannya, Milena. Milena berusia dua tahun dan sewaktu saya datang pertama kali yaitu pada bulan Maret 2018 ke kampung ini, saya mengetahui informasi dari mantri kampung bahwa Milena mengalami gizi buruk yang membuat tubuhnya sangat kurus dan mudah sakit-sakitan. Opina menjadi muridku dan satu-satunya anak perempuan yang ikut belajar bersamaku. Ia sangat pemalu dan masih susah beradaptasi dengan dunia sekolahnya. Ia sering kali tidak masuk sekolah karena merasa susah belajar serta sering juga merasa lapar ketika pelajaran masih berlangsung. Saya berusaha meyakinkan Opina dan ibunya bahwa Opina harus bersekolah dan mendapat pendidikan yang layak baginya. Usaha saya waktu itu membuahkan hasil dan Opina dapat menjadi muridku bahkan ia tinggal bersamaku. Dengan adanya Opina di rumahku, saya sering dikunjungi mama Opina. Kunjungannya yang berkali-kali itu telah membuka rahasia kehidupan pribadinya. Berikut saya tuliskan kisah Mama Opina, seroang janda yang membesarkan kedua anak di tengah situasi sulit yang dialaminya.
Mama Opina adalah teman baikku. Ketika saya tiba dikampung ini, mama opina menyambutku dengan sangat baik. Mama Opina sangat senang kepadaku. Ia seorang ibu yang sangat ceria dan suka sekali bercerita dan bercanda. Ia sering membantuku mengambil kayu bakar di hutan dan mengambil sayur dikebunnya untuk diberikan kepadaku. Ketika ia pergi mencari ikan dan udang di kali, ia selalu membawa hasil tangkapannya padaku. Ia tidak pernah lupa untuk menyediakan kayu bakar, sayuran, pisang, keladi, ikan, daging babi dan udang untukku. Saya selalu merasa ia seperti seorang kakak perempuan untukku, sangat terbantu dengan kehadirannya.
Di balik sifatnya yang ceria, kisah mama Opina sangat menyedihkan. Suaminya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu (sekitar bulan Februari). Suaminya meninggalkannya dengan dua orang anak perempuan. Mama Opina terbilang masih muda berumur sekitar tiga puluh tahun. Ia bercerita bahwa memiliki dua anak perempuan di kampung ini seringkali membuatnya takut. Penyebab ketakutannya karena anak-anak perempuannya akan ditandai bahkan sudah “ditandai” oleh pria-pria dewasa sebagai calon istri mereka. Keinginan mama Opina adalah kedua anak perempuannya harus bersekolah mendapatkan pendidikan yang layak. Ia ingin kedua anak perempuannya dapat hidup dengan layak seperti anak-anak perempuan di kota yang ia temui ketika ia pergi berbelanja di Ibu Kota Kabupaten. Dari perjalanannya itu, ia melihat anak-anak perempuan seusia anaknya mereka bersekolah dan bermain bersama-sama temannya bukan dikawinkan. Hati saya sangat terharu dan merasa bahwa ini suatu mujizat Tuhan bahwa seoang ibu Korowai sudah berpikir tentang masa depan anak perempuannya ditengah kekangan budaya perkawinan dini di dalam masyarakatnya. Ia sungguh berhati mulia. Hari demi hari ketika kami bertemu, ia selalu menceritakan peristiwa-peristiwa yang menimpanya.
Ketika ia mulai bercerita padaku, ia sedang dililit masalah karena statusnya sebagai seorang janda. Menurut ceritanya, ia sedang diperebutkan oleh beberapa lelaki di dua kampung berbeda. Mama Opina berasal dari kampung yang berbeda yaitu kampung Baygun. Di kampungnya sudah tersebar berita jika suaminya telah meninggal. Paman dan keluarganya juga telah merencanakan untuk menjodohkannya lagi. Mereka ingin menjodohkannya dengan pria yang berasal dari kampung mereka. Dengan demikian, mama opina akan kembali ke kampungnya. Namun, mama Opina memiliki karakter yang kuat dan berani mengutarakan pendapatnya. Walaupun beresiko, ia tetap memilih jujur mengungkapkan isi hatinya. Ia berkata kepada pamanya, ia ingin memilih masa depannya sendiri. Ia menolak niat pamannya itu. Ia telah menyukai dan jatuh cinta pada seorang pemuda di kampung ini. Mereka sering terlihat bersama dan semua warga di kampung ini juga telah tahu tentang hubungan mereka. Pemuda itu terlihat sangat mencintai dan ingin hidup bersama mama Opina. Pemuda itu telah berjanji pada mama Opina bahwa ia siap menerima tanggung jawab menjadi ayah bagi Opina dan adiknya. Namun, cinta mereka tidak berjalan mulus. Penolakan mama Opina atas niat pamannya, mengakibatkan ia harus menderita siksaan berat. Tidak hanya itu, tantangan terberat datang dari orang tua pemuda itu. Orang tua pemuda itu sangat tidak merestui hubungan anaknya dengan janda tersebut. Mereka sering dimarahi, dibentak bahkan dipukul terutama mama Opina. Ia sangat tersiksa karena mencintai pemuda itu.
Suatu pagi, di awal bulan Agustus kampung kami dihebohkan oleh pertengkaran keluarga pemuda itu. Sang pemuda memegang panah dan sambil berlari mengelilingi kampung ia berteriak-teriak histeris dan lari mengelilingi kampung. Ia marah kepada orang tuanya yang melarangnya menjalin hubungan dengan mama Opina. Ayah pemuda itu sangat marah pada anaknya. Ia memukul pemuda itu hingga melukai pundaknya. Sang pemuda tidak terima perlakuan ayahnya padanya. Ia mengamuk dan membuat keributan. Pagi itu sangat riuh karena terdengar beberapa teriakan histeris ibu pemuda itu. Tak lama kemudian mama Opina ikut terlibat dalam pertikaian itu. Ia berusaha menenangkan dan menjeleskan kepada ibu pemuda itu tetapi ia dianiyaya. Ia dipukul menggunakan kayu bakar, ia telanjangi oleh ibu pemuda itu. Warga kampung hanya menyaksikan pertikaian itu dari jauh. Dalam aturan budaya mereka, tidak boleh mencampuri urusan atau perkelahian keluarga lain. Sangat disayangkan, mama Opina harus menerima semua perlakuan buruk padanya disaksikan oleh warga kampung dan kedua anak perempuannya. Tak lama kemudian pertikaian itu dihentikan oleh Penginjil kampung. Ia menasehati keluarga yang bertikai agar menyelesaikan persoalan itu secara kekeluargaan dan tidak menggunakan kekuatan fisik. Nasehatnya diterima dan pertikaian itu pun berhenti seketika.
Hari-hari berikutnya kehidupan mama Opina dipenuhi dengan pertikaian, air mata karena ia harus berpisah dengan pemuda yang ia cintai. Saya dengar dari beberapa Ibu di kampung, pria yang sudah dipilihkan oleh pamannya akan segera datang ke kampung ini dan membawa mama Opina ke kampungnya. Kesedihan mama Opina adalah bukan saja ia harus berpisah dari pemuda yang ia cintai, tetapi ia juga harus meninggalkan kampung ini dan berpisah denganku. Ia datang kepadaku dan mengutarakan semua isi hatinya sambil menangis tersedu-sedu. Air matanya terus membanjiri kedua pipinya, takkala ia menceritakan tentang suami pertamanya yang meninggal secara tragis, yaitu tenggelam di dalam kali sewaktu mencari ikan. Sembari mendengar cerita sedihnya air mataku pun ikut menetes. Suatu kepedihan menjadi seorang janda di suku Korowai Batu. Pilihan yang tersisa baginya adalah melupakan cintanya karena jika ia terus bersama pemuda yang ia cintai, maka taklama lagi pemuda itu akan dibunuh oleh pria yang sudah dijodohkan padanya. Setiap hari, ia terus menceritakan kisah sedihnya padaku. Saya selalu berusaha sabar untuk mengingatkan dirinya agar berdoa kepada Tuhan sehingga Tuhan memberikan jalan keluar kepadanya. Ia mengangguk tanda setuju, dan perbincangan kami selalu akhiri dengan doa permohanan campur tangan Tuhan. Suatu pagi, di awal bulan Agustus kampung kami dihebohkan oleh pertengkaran keluarga pemuda itu. Sang pemuda memegang panah dan sambil berlari mengelilingi kampung ia berteriak-teriak histeris dan lari mengelilingi kampung. Ia marah kepada orang tuanya yang melarangnya menjalin hubungan dengan mama Opina. Ayah pemuda itu sangat marah pada anaknya. Ia memukul pemuda itu hingga melukai pundaknya. Sang pemuda tidak terima perlakuan ayahnya padanya. Ia mengamuk dan membuat keributan. Pagi itu sangat riuh karena terdengar beberapa teriakan histeris ibu pemuda itu. Tak lama kemudian mama Opina ikut terlibat dalam pertikaian itu. Ia berusaha menenangkan dan menjeleskan kepada ibu pemuda itu tetapi ia dianiyaya. Ia dipukul menggunakan kayu bakar, ia telanjangi oleh ibu pemuda itu. Warga kampung hanya menyaksikan pertikaian itu dari jauh. Dalam aturan budaya mereka, tidak boleh mencampuri urusan atau perkelahian keluarga lain. Sangat disayangkan, mama Opina harus menerima semua perlakuan buruk padanya disaksikan oleh warga kampung dan kedua anak perempuannya. Tak lama kemudian pertikaian itu dihentikan oleh Penginjil kampung. Ia menasehati keluarga yang bertikai agar menyelesaikan persoalan itu secara kekeluargaan dan tidak menggunakan kekuatan fisik. Nasehatnya diterima dan pertikaian itu pun berhenti seketika.
Beberapa hari kemudian, setelah peristiwa pertikaian itu. Di suatu malam terdengar suara tangisan di ujung kampung. Beberapa warga bergegas lari menuju suara tangisan itu. Suaranya berasal dari rumah mama Opina. Terdengar suara tangisan Opina memecah kesunyian malam di kampung kami. Opina menangis histeris memangil-manggil mamanya. Tentangga yang berdatangan ke rumahnya mencoba membujuknya agar ia berhenti menangis. Namun, Ia tidak berhenti menangis dan terus menerus memangil mamanya. Di saat yang bersamaan terdengar pula suara terikan ibu pemuda yang mencintai mama Opina. Ia menangis histeris dan memanggil-manggil nama pemuda itu. Suara tangisan yang kami dengar berasal dari kedua rumah tersebut. Saya segera keluar dari kamar dan berjalan mendekati rumah warga untuk mengetahui apa penyebab suara-suara tangisan tersebut. Seorang ibu menjelaskan kepadaku dengan bahasa kampung ini kalau mama Opina telah meninggalkan kampung kami. Ia pergi bersama pemuda yang ia cintai dan ia membawa anaknya yang masih balita. Mereka memutuskan untuk kawin lari dan meninggalkan kampung pada malam hari ketika warga kampung sudah tertidur. Beberapa warga terlihat berdiskusi cukup serius. Salah satu orang tua di kampung itu meminta beberap pemuda untuk berjalan mencari jejak kaki kedua orang tersebut dan mengikuti arah jejak itu agar mereka dapat tahu pasangan tersebut berjalan ke arah mana. Para pemuda itu segera bergegas berjalan menjauhi kampung dan mencari jejak kaki mama Opina dan pemuda itu. Pencarian dilakukan malam hari itu juga. Ketika hari sudah pagi, dua orang ibu datang ke rumah dan memberitahukanku bahwa Mama Opina dan pemuda itu berjalan menuju pelabuhan dan menggunakan motor air (ketinting) meninggalkan kampung kami semalam. Kisah hilangnya mama Opina dan pemuda itu menjadi trending topic selama beberapa minggu dikampung kami. Para orang tua dikampung kami berkumpul dan berdiskusi mengantisipasi serangan dari kampung keluarga pria yang dijodohkan dengan mama Opina. Para warga dilarang mencari makan dihutan dan tidak diperbolehkan berlama-lama di kebun. Setiap hari kami harus waspada dan saling menjaga satu sama lain. Berita perginya mama Opina dari kampung kami menyebar sangat luas dan beberapa keluarganya datang ke kampung kami untuk membawa Opina tinggal bersama mereka. Sejak hari itu, Opina telah berpisah dengan mamanya dan hidup bersama orang tua yang lain. Opina yang malang, ia harus berpisah dengan orang tuanya di usia yang masih sangat kecil dan hidup sebatang kara mengharapkan belas kasihan keluarga lain yang mengambilnya.
Sejak hari itu, saya tidak berjumpa lagi dengan sahabat saya, mama Opina. Entah bagaimana nasibnya jika ia ditemukan bersama pemuda yang ia cintai. Membayangkan hal itu sudah membuatku takut sehingga saya memilih untuk mendoakan mereka agar Tuhan menjaga nyawa mereka sehingga Opina masih bisa berjumpa ibunya suatu hari nanti.
Sebelumnya, 1
One Comment