Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kisah Akelina dan Bebi (Umur 10 dan 7 Tahun)




Papua, eBahana

Siswa berbaris di depan rumah guru

Suatu pagi hari yang indah ditemani  kicauan burung yang merdu,anak-anak sudah berbaris di halaman rumahku yang akan menjadi tempat belajar kami. Di awal tahun ajaran 2018/2019 pada bulan Juli 2018,  saya mulai mengajar anak-anak di kampung ini. Sambutan warga kampung sangat baik padaku dan mereka sangat bersyukur saya bersedia mengabdi di kampung ini. Pada bulan pertama aktivitas sekolah, saya memilih menggunakan rumah saya sebagai tempat belajar sementara. Hal ini saya lakukan karena, pertama gedung sekolah darurat yang dibangun oleh swadaya masyarakat tidak layak lagi digunakan alias gedung tersebut akan rubuh. Alasan kedua, saya ingin menciptakan kesan pertama yang santai dan nyaman sehingga anak-anak bisa belajar dan menikmati waktu berdiskusi di rumahku. Namun, jumlah murid bertambah setiap minggunya. Di minggu pertama, hanya terdapat lima siswa saja di kampung ini kemudian setiap minggu jumlah anak-anak bertambah karena berita tentang kedatanganku di kampung Brumahkot sudah tersebar luas melalui radio SSB. Beberapa orang tua yang berada di dusun mereka, ketika mendengar bahwa saya (guru) sudah menetap di kampung maka mereka langsung bergegas membawa anak-anak mereka untuk bersekolah di kampung Brumahkot. Suatu pagi, sebelum pelajaran dimulai, saya menyadari sudah tidak dapat lagi menampung anak-anak di ruang tamu rumahku, saya meminta ijin pada Penginjil di kampung dan menggunakan ruang gereja sebagai tempat belajar. Saya sangat bersyukur karena mendapat dukungan positif dari Bapak Penginjil dan juga warga kampung ini.

Belajar bersama di dalam ruang gereja

Ruang gereja kami, saya sulap menjadi ruang kelas. Anak-anak sangat antusias belajar bersamaku. Di pagi hari, sebelum saya datang ke ruang belajar, anak-anak telah siap berpakaian seragam pemberian donatur dan berkumpul dihalaman gereja menanti kedatanganku. Namun, seringkali mereka berkumpul di rumahku dan kami berjalan bersama-sama ke tempat belajar. Dari sekian murid saya, hanya terdapat dua murid perempuan, yaitu Akelina dan adiknya Bebi. Mereka sangat rajin membantuku dan juga belajar.  Akelina sudah berumur sepuluh tahun dan Bebi berumur tujuh tahun. Kedua anak perempuan ini adalah anak dari bapak Penginjil yang bertugas di kampung  ini. Mereka mendapatkan haknya untuk pergi ke sekolah dan belajar dengan mudahnya karena dukungan orang tua yang sudah mengerti tentang pentingnya pendidikan. Selain itu, keluarga Penginjil berasal dari suku lain, suku dari pegunungan. Nama kampung mereka adalah Sumtamon. Di kampung mereka, anak-anak perempuan sudah mendapatkan kebebasan untuk bersekolah sampai ke tingkat universitas dan juga terdapat beberapa sekolah dan tenaga guru yang cukup. Warga di kampung itu sudah dapat mengakses pendidikan dan banyak anak-anak dari kampung tersebut yang merantau ke luar  daerah untuk melanjutkan pendidikan.

Di kampung Brumahkot ini, beberapa warga sudah mengerti pentingnya pendidikan. Sejak tahun 2016, sebuah komunitas sosial telah masuk ke kampung ini dan membangun sekolah darurat bersama masyarakat. Sekolah Darurat itu telah memperkenalkan kegiatan pendidikan seperti belajar literasi dasar, yaitu membaca, menulis dan berhitung. Masyarakat telah sadar ada pendidikan di kampung mereka tetapi belum sepenuhnya memahami bahwa dunia pendidikan sangat luas dari sekedar sebuah gedung. Salah satunya adalah kebebasan untuk mengakses pendidikan bagi anak perempuan Korowai. Rantai perkawinan anak begitu kuatnya melilit pemikiran orang korowai sehingga mereka tidak bisa melepaskan adat-istiadat yang telah lama mengikat. Rantai ini harus diputuskan, anak-anak perempuan harus dibebaskan dari kurungan ini. Saya terus berdoa dan memohon kepada Tuhan  agar anak peremupan Korowai dibebaskan dari ikatan perkawinan dini.

Suatu hari di bulan November, saya diundang ke rumah keluarga Penginjil untuk mendiskusikan rencana pindah sekolah kedua anak perempuan mereka. Ayah, Ibu serta keluarga besar Akelina dan Bebi memutuskan untuk memindahkan Akelina dan Bebi ke kampung halaman mereka yaitu di Sumtamon agar mereka berdua dapat bersekolah dengan baik. Setelah mendengar rencana kedua orang tua mereka, saya langsung menyetujui dan mendukung penuh rencana itu.  Demi keamanan dan masa depan kedua anak perempuan itu, mereka harus terpisah dari orang tua dan teman-teman baik mereka.

Akelina dan Bebi

Akelina dan Bebi meskipun mendapatkan haknya, mereka masih harus beradaptasi dengan dunia sekolah. Bagi mereka bersekolah adalah hal baru yang menyenangkan. Pada jam sekolah, mereka berdua dapat belajar bersama teman-teman di dalam kelas. Akelina terlihat sangat cepat mengerti pelajaran dan dengan mudah dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan kepadanya. Ia selalu menyelesaikan pekerjaanya dengan benar dan selalu siap menolong teman-temannya. Sedangkan Bebi masih membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan aktivitas sekolah. Ia terkadang berhenti belajar ketika jam pelajaran masing berlangsung. Ia sangat mudah menyerah ketika mengalami kesulitan dalam menggerjakan tugasnya. Ketika ia merasa lapar selagi belajar, ia langsung keluar tanpa pamit dan pulang ke rumahnya. Kedua anak perempuan itu sangat membantuku selama saya berada di kampung. Mereka sering tinggal bersamaku. Saya sangat senang mengajari mereka dan bersahabat dengan mereka berdua. Orang tua mereka berdua meempercayakan kedua anak perempuan itu kepadaku agar saya dapat mendidik dan membimbing mereka berdua. Pesan kedua orang tua mereka disertai kekhawatiran besar tentang keamanan dan masa depan kedua anak perempuan itu. Sang ibu selalu merasa khawatir ketika kedua anak perempuan nya bermain dan bergabung dengan anak-anak seusia mereka di kampung ini. Menurut penurutan ibu tersebut, ketakutannya yang paling terbesar adalah anak-anak perempuannya diperlakukan sama seperti anak perempuan Korowai seusia mereka, yaitu mereka di “tandai” untuk dikawinkan sejak usia dini. Soerang anak perempuan yang sudah ditandai, tidak lagi memiliki kebebasan untuk bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya. Ia seperti berada di dunia berbeda yang sangat jauh dari naluri keanak-anakannya. Kedua orang tua anak perempuan itu pantas mengkhawatirkan masa depan mereka, tetapi hati mereka diliputi kasih yang dalam kepada masyarakat Brumahkot, sehingga mereka tetap memilih menggerjakan pangilan Tuhan yang sudah diembankan kepada mereka dan menyerahkan seluruh kekhawatiran mereka kepada Tuhan. Mereka yakin bahwa Tuhan akan memeliharan dan melindungi kedua anak perempuan mereka.

Setelah rencana pemindahan sekolah di tetapkan oleh orang tua Akelina dan Bebi, kedua orang tua menyarankan agar anak mereka tidak mengikuti pembelajaran di kelas lagi. Namun, mereka menginginkan agar saya dapat mengajari kedua anak perempuan itu di rumah saja. Saya menyanggupi permintaan orang tua Akelina dan Bebi dan mulai mengajari mereka di rumah saja setiap sore hari.  Saya bersyukur karena Akelina dan Bebi sudah mendapat jaminan dari orang tua mereka bahwa mereka akan tetap bersekolah dan merahi cita-cita mereka. Saya terus berdoa agar Tuhan menolong dan melindungi Akelina dan Bebi agar mereka menggunakan kesempatan emas tersebut dengan baik. Mereka berdua harus menyadari di balik berbagai keterbatasan kedua orang tuanya, mereka berdua mendapat jaminan yang tidak di dapatkan anak-anak perempuan Korowai.

Sejak saat itu, hingga saya keluar meninggakan kampung Brumahkot pada minggu pertama bulan Januari 2019 lalu, Akelina dan Bebi mendapat jaminan dan pengawasan penuh oleh orang tua mereka. Saya bersyukur pernah menjadi guru Akelian dan Bebi dan berharap suatu hari nanti saya dapat berjumpa lagi dengan mereka berdua.

Sebelumnya, 1, 2

Bersambung, 4, 5, 6