Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Si Bola Pingpong




eBahana.com – Januar Riswandi Kembali ke Jakarta teringat keputusanku mengikut Kristus. Saat itu usiaku 17 tahun.

Aku masih sangat bocah, kelas 3 SD, tinggal terpisah dari orangtua. Bapakku menikah lagi ketika ibuku sedang mengalami goncangan jiwa. Lantas oleh bapak, aku dititipkan pada paman, begitu juga adikku, dititipkan pada paman lain lagi.

Pamanku ogah berlama-lama ngurusi aku. Menurutnya bapak asal saja menitipkan anak. Tanpa ada pembicaraan yang jelas mengenai biaya dan segala kebutuhanku. Akupun dioper ke saudara yang lain beberapa kali. Hidupku seperti bola pingpong. Dilempar ke sana ke mari. Aku sangat terluka dengan sikap cuek beibeh bapak apalagi setelah mamah meninggal 1993. Menelan narkoba menjadi pelarianku.

Dari Bandung aku ke Jakarta. Tema hidupku masih sama, numpang sana sini. Aku sangat kaget melihat
tante Tini rajin pergi ke gereja, menjadi seorang Kristen yang sungguh-sungguh. Karena penasaran, aku
bertanya alasannya menerima Yesus? Kepada teman gereja tante Tini, aku juga tak malu bertanya apa saja
yang terlintas di pikiranku tentang kekristenan.

Pil Setan
Kebiasaan menelan narkoba masih terus jalan. Uang dari mana? Dari uang jajan yang kukumpulkan setiap kali tante atau om memberiku saat berangkat sekolah. Aku memilih membeli pil setan atau menenggak minuman keras daripada beli makan. Lebih pede dengan narkoba, begitulah semboyanku waktu itu. Di kelas keliatan anak baik, manis, pendiam padahal kacau balau! Guru menjelaskan pelajaran pikiranku menerawang ke mana-mana. Hah!

Singkat cerita, beberapa bulan di Jakarta, aku menerima Yesus. Bibiku, tante Tini yang lebih dahulu menjadi orang percaya mengenalkanku pada sahabat sejati itu. Aku salah tebak, kupikir tante Tini menjadi Kristen
karena pernikahan dengan om Edo. Namun ternyata karena perjumpaan pribadi dengan sang Juru Selamat.
Sejak itu dari hari ke hari hatiku diliputi sukacita tiada tara. Ada kedamaian bersemayam pada jiwaku yang gelisah. Berdoa, memuji Tuhan dan beribadah bersama adalah hal-hal yang sangat menyenangkan.

Supaya lebih mengenal Tuhan, aku tinggal bersama dengan beberapa pekerja gereja. Aku belajar Alkitab dan dibimbing oleh mereka. Namun sering berontak manakala mereka mendidik hidupku dengan keras. Menasihatiku ini itu. Padahal sejujurnya kutahu, mereka menyayangiku. Berharap hidupku berubah.

Aku sering kabur, pergi sesuka hati tanpa pamit terus balik lagi. Sampai akhirnya aku benar-benar pergi meninggalkan Jakarta pulang ke Bandung lantas bekerja di Bali. Dan aku telah meninggalkan Yesus.

Tahun lalu aku balik Jakarta. Situasi berubah. Beberapa orang telah dipanggil Tuhan, termasuk Tante Tini dan Om Edo yang pernah menampungku. Bertemu dengan teman-teman dan pembimbingku yang telah mengajarku. Mungkin sebagian ada yang menganggap sepi kedatanganku. Si anak yang labil, tak punya pendirian, susah dididik, semau gue, dll. Namun tak sedikit yang tetap bersikap baik, penuh perhatian dan tak kapok-kapok membimbing.

Mentor Kalem
Salah satu orang yang tetap tersenyum menyambutku adalah Pdm. Catur Samiasih. Padahal dia tahu tentang
tingkah lakuku yang nggak bener. “Januar, jangan pernah sia-siakan kasih Tuhan ,” katanya tersenyum. Wajah ibu dua anak ini tenang. Aku menyebutnya mentoring gaya Jawa, kalem. Namun aku merasakan perhatiannya.
Kerinduannya agar aku berubah dan sungguh-sungguh mengikut Yesus.

Aku semakin mengenalnya ketika membantu menjemput sekolah kedua anaknya. “Januar, kamu harus punya ketetapan hati. Jangan terombang–ambing, jaga pergaulan,” harapnya.

Tahu tentang kelemahanku, kak Catur menasihatiku, “Satu hal yang sangat penting dalam menjaga kehidupan,
kita harus berada di komunitas yang positif.”

Ya, aku sangat setuju. Siapa yang bisa menjaga hidup kita? Sungguh akan menjadi kesaksian luar biasa bila ‘Si
bola pingpong’ itu berubah. Menjadi murid Tuhan Yesus yang sungguh-sungguh. Nggak nakal lagi. Seperti
yang diceritakan Januar kepada Niken.



Leave a Reply