Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Pemeliharaan Warisan Kehendak Allah




eBahana.com – Setelah kita meletakkan dasar untuk mengerti kelimpahan, kita akan mempelajari lima prinsip dasar mengenai pemeliharaan Allah.
Setiap dari prinsip-prinsip ini secara kokoh berdasarkan pada janji- janji Kitab Suci.

Apakah kita punya kebutuhan? Adakah janji dalam Firman Allah yang sesuai dengan situasi kita? Kita diajarkan agar hidup dalam janji-janji-Nya dan membagi kepada orang lain dari kelimpahan persediaan-Nya agar Allah dimuliakan. Kita perlu percaya janji-janji Nya seperti dinyatakan dalam Kitab Suci.

Prinsip pertama pemeliharaan: Semua janji-janji Allah memelihara kita. Semua dasar prinsip-prinsip kelimpahan Allah berhubungan dengan janji-janji-Nya. Kita melihat dengan jelas dalam 2 Petrus 1:2: “Kasih karunia dan damai sejahtera melimpahi kamu oleh pengenalan akan Allah dan akan Yesus, Tuhan Kita.”

Catat bahwa kehidupan Kristen adalah kehidupan yang bermultiplikasi. Tidak statik – hanya berpegang pada apa yang kita miliki. Bahkan bukan hanya bertambah. Namun bermultiplikasi. Ini datang melalui “pengenalan akan Allah dan akan Yesus, Tuhan Kita.” Segala sesuatu yang kita perlukan datang pada kita dari Allah, sumber, melalui Yesus, jalur. Tidak ada jalur atau sumber persediaan lain dibutuhkan: “Karena kuasa ilahi-Nya ‘telah menganugerahkan’

kepada kita segala yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib. Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia” (2 Petrus 1:3-4).

Catat “tense” atau kata kerja yang Petrus gunakan: Allah “telah menganugerahkan” semua yang kita butuhkan – untuk waktu dan kekekalan, untuk setiap bidang kehidupan kita – sehubungan dengan kehidupan dan kekudusan. Sering sekali kita berdoa berdasarkan kesalahpahaman, meminta Allah memberi kita sesuatu yang Ia sudah berikan kepada kita. Tidak mudah bagi Allah menjawab doa- doa itu karena, dengan menjawab permintaan kita, Ia mendukung kesalahpahaman. Kadang-kadang kita harus menyesuaikan pikiran kita supaya berdoa doa yang Allah bisa jawab. Sering “mengucap syukur” kepada Allah lebih tepat daripada mengajukan “petisi” kepada-Nya, karena Allah sudah memberi kita segalanya.

Perhatikan kalimat, “semua yang kita butuhkan” termasuk dalam pengetahuan akan Yesus Kristus. Dalam bahasa Yunani dikatakan, “Yesus, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib.” Ini bukan kemuliaan kita, melainkan milik-Nya. Bukan keajaiban kita, melainkan milik-Nya. Allah sudah memberi kita segala sesuatu yang kita butuhkan, dan semua terkandung dalam pengetahuan akan Yesus.

Bahasa Yunani kata “pengetahuan” bisa juga diterjemahkan “mengakui.” Keduanya, “pengetahuan” dan “mengakui” memiliki arti yang sama. Tidak cukup kita tahu tentang Yesus secara

intelektual; kita harus secara efektif “mengakui”-Nya dalam hidup kita.

Kata-kata selanjutnya dari nas itu memainkan peran kunci: “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar.” Allah sudah memberi kita segalanya yang kita butuhkan. Dimana? Dalam janji-janji Firman- Nya. “Pemeliharaan” Allah adalah “janji-janji-Nya.” Ini kebenaran vital yang kita harus pegang.

Katakan pernyataan ini berulang-ulang pada diri kita sampai menjadi bagian dari pikiran kita: “Semua janji-janji Allah memelihara kita.” Jika kita tidak tahu janji-janji Kitab Suci, jika kita tidak berhubungan dengan janji-janji, maka kita tidak menerima pemeliharaan. Bukan karena Allah belum menyediakan pemeliharaan, melainkan kita belum menemukan atau tidak bersedia menyerahkan diri kita padanya.

Kita sampai pada pernyataan yang mendebarkan hati dalam 2 Petrus 1:4 “supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.”

Kita mungkin berpikir apakah pikiran manusia bisa mengerti dan menyerap bahasa itu. Ini berarti kita memiliki “bagian dalam kodrat ilahi.” Jika kita tidak membacanya dalam Alkitab kita tidak akan yakin kita bisa menerimanya. Namun ini jelas tertulis dalam Alkitab. Melalui janji-janji Allah, kita, sebagai orang percaya – ditebus dengan darah Yesus, datang kepada Allah Bapa melalui Yesus Kristus Anak – memiliki bagian dalam kodrat ilahi. Kita menerima secara alami kodrat Allah didalam diri kita.

Kita mungkin berpikir bahwa itu pernyataan berisiko. Dan betul. Namun Kitab Suci mendukungnya. Ketika Yesus ditantang mengenai klaim-Nya sebagai Anak Allah, Ia mengutip satu dari mazmur, yang mengatakan, “Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah – sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” (Yohanes 10:35). Kutipan ini diambil dari Mazmur 82:6, yang mengatakan, “Aku sendiri telah berfirman: “Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian.” Allah dengan nyata berbicara pada manusia dan berkata, “Kamu adalah allah.”

Kita mungkin sulit menerima, tetapi Yesus memberi kita komentar ilahi. Bagaimana bisa manusia menjadi allah? Apa dasarnya? Firman Allah yang datang pada mereka: “Jikalau mereka, “kepada siapa firman itu disampaikan,” disebut allah – sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan….”Prinsip yang sama berlaku bagi kita.

Karena Firman Allah datang kepada kita melalui janji-janji Allah, kita bisa mengambil bagian dalam kodrat ilahi Allah. Kita bisa menjadi ilahi. Kita menyadari, tentunya, pernyataan itu bisa disalah gunakan; namun, kita percaya, dengan cara kita mempresentasikannya, merupakan analisa akurat dari apa yang Kitab Suci ajarkan.

Pernyataan selanjutnya juga mendebarkan hati, namun merupakan konsekuensi yang sangat logikal. Bagian terakhir dari pewahyuan dalam 2 Petrus 1:4: “luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.” Kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi, kita luput dari hawa nafsu duniawi disebabkan oleh keinginan- keinginan jahat – spiritual, moral, bahkan hawa nafsu fisikal. Ini karena kodrat ilahi dan hawa nafsu bertentangan. Kodrat ilahi tidak korup; segala sesuatu di dunia fana. Sementara kita menerima janji- janji Allah, kodrat Allah di impartasi kepada kita, dan sementara kita

menerima kodrat Allah, kita dibebaskan dari hawa nafsu dunia yang fana. Semua ini datang melalui janji-janji besar dan berharga Firman Allah.

Kita simpulkan inti dari apa yang Petrus katakan pada kita dalam 2 Petrus 1:3-4 dalam lima pernyataan: pertama, kuasa ilahi Allah sudah memberi kita segala sesuatu yang kita butuhkan untuk waktu dan kekekalan. Kedua, semua pemeliharaan Allah terkandung dalam mengetahui dan mengakui Yesus dengan benar. Ketiga, semua pemeliharaan Allah ada dalam janji-janji-Nya. Keempat, sementara kita mengalami janji-janji-Nya, kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi Allah. Kelima, sementara kita mengambil bagian dalam kodrat ilahi Allah, kita dibebaskan dari dunia korup yang fana.

Kita perlu mengambil waktu untuk bermeditasi pada pengajaran ini. Pewahyuan tidak bisa diperoleh dengan membaca hanya beberapa kali. Perlu memberi seluruh pikiran kita sampai menjadikannya bagian dari kita.

Ada paralel sangat sederhana antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, dibawah seorang pemimpin bernama Yosua, Allah membawa umat-Nya masuk Tanah Perjanjian. Dalam Perjanjian Baru, dibawah seorang pemimpin bernama Yesus (dalam Ibrani sama artinya dengan Yosua), Allah membawa umat-Nya masuk tanah janji-janji. Perjanjian Lama – Tanah Perjanjian.
Perjanjian Baru – tanah janji-janji. Ini membawa kita pada prinsip selanjutnya mengenai kelimpahan Allah.

Prinsip kedua pemeliharaan: Semua janji-janji Allah adalah warisan kita. Warisan kita adalah apa yang Allah bawa kepada kita. Namun meski Ia sudah memberinya pada kita, kìta masih harus meletakkan klaim padanya.

Sebagai contoh adalah sejarah bangsa Israel masuk kedalam warisan mereka, tanah Kanaan. Musa membawa Israel keluar dari Mesir ke padang belantara, namun Musa tidak bisa membawa mereka kedalam Tanah Perjanjian. Allah mengangkat pemimpin lain, Yosua, dan menugaskannya, setelah kematian Musa, membawa Israel kedalam Tanah Perjanjian.

Mari kita lihat sejenak dalam Kitab Suci dan melihat syarat-syarat dasar Allah memberi pada Yosua. Pertama Allah berkata, “Hamba- Ku Musa telah mati” (Yosua 1:2). Ini sangat signifikan. Sebelum kita bisa datang kedalam sesuatu yang baru, harus selalu ada kematian dari sesuatu yang lama. Kehidupan spiritual, dalam arti tertentu, seperti musim-musim sepanjang tahun. Ini prinsip yang berlangsung melalui kehidupan kita. Allah hanya memberkati yang sudah mati dan dibangkitkan.

Transisi dari Musa ke Yosua merepresentasi sesuatu yang dari waktu ke waktu berulang dalam kehidupan setiap orang percaya. “Hamba- Ku Musa telah mati; sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu.

Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa” (Yosua 1:2-3).

Penting untuk diperhatikan “tense” atau “kata kerja” disini. Dalam ayat pertama Allah berkata, “negeri yang akan Kuberikan,” kepada orang Israel. Dalam ayat berikutnya Ia berkata, “Kuberikan kepada kamu,” sudah terjadi di masa lalu (in the past). Penting untuk dilihat bahwa begitu Allah memberi tanah, tanah sudah diberikan. Tidak

ada yang berubah secara fisikal; masih dalam posisi yang sama. Kepemilikan tanah yang kelihatan belum berubah sedikit pun.
Namun karena Allah Mahakuasa berkata, “Kuberikan kepada kamu tanah,” sejak saat itu dan selanjutnya, secara legal, tanah menjadi milik mereka. “Sudah diberikan” kepada mereka. Seperti kita lihat dalam prinsip pertama – janji-janji pemeliharaan – Allah “sudah memberikan” kita segala sesuatu. Bagaimana? Dengan memberi janji-janji-Nya sebagai warisan kita.

Cara Yosua dan Israel masuk kedalam warisan mereka adalah pola bagi kita. Pertama, mereka harus mengerti bahwa sejak itu tanah secara legal milik mereka. Kedua, mereka harus melakukan sesuatu mengenainya.

Apa yang harus mereka lakukan? Tuhan berkata kepada Yosua, “Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu.” Jadi, mereka harus pergi masuk berdasarkan apa yang Allah katakan pada mereka, percaya bahwa tanah itu secara legal milik mereka. Dan mereka harus menyatakan kepemilikan mereka dengan menginjak telapak kaki mereka di tanah yang Allah sudah janjikan. Allah berkata kepada mereka, “Begitu kamu meletakkan kakimu disetiap tempat dari tanah di negeri, menjadi milik kamu – secara legal. Sudah jadi milik kamu, namun, untuk memilikinya dalam pengalaman nyata, kamu harus pergi memasuki dan menginjakkan kakimu atasnya.”

Ini berlaku bagi kita sebagai orang-orang Kristen. Kita harus melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bangsa Israel. Pertama, kita harus percaya apa yang Allah katakan – bahwa secara legal milik kita karena Allah sudah memberikannya kepada kita.
Kedua, kita harus bertindak. Kita harus bergerak masuk dan, seolah- olah, meletakkan kaki kita pada setiap bidang yang Allah sudah

janjikan. Begitu kita melewati pengalaman aktual meletakkan kaki kita diatas bidang itu dengan iman, menjadi milik kita dalam realitas. Israel memasuki Tanah Perjanjian sebagai pola bagi kita memasuki tanah janji-janji.

Dalam Yosua 1:2. Roh Kudus menekankan kata “seluruh” – “seluruh bangsa ini.” Allah tidak akan meninggalkan siapapun dibelakang.
Diantara sebagian besar kalangan hari ini, kita puas jika kita bisa mendapat 90 persen orang. Namun Allah berkata, “Seluruh bangsa ini.” Ini bagaimana Allah memandang situasi kita hari ini mengenai janji-janji-Nya.

Setiap orang yang ingin menerima harus bergerak masuk – “Engkau dan seluruh bangsa ini.” Kadang-kadang ketika kita berbicara dengan orang-orang percaya mengenai dibaptis dalam Roh Kudus atau menerima pemeliharaan lebih Allah, mereka menjawab, “Mereka sudah memilikinya semua ketika mereka diselamatkan.
Tidak ada lagi tambahan yang bisa didapat.” “Jika mereka sudah mendapatkan semua, dimana semuanya itu?”

Meski, pernyataan mereka betul. Secara legal, ketika kita datang pada Kristus, kita menjadi ahli waris Allah dan ahli waris bersama dengan Yesus Kristus. Setelah itu, seluruh warisan secara legal milik kita. Namun ada perbedaan besar antara legal dan pengalaman aktual. Kita bisa memiliki banyak secara legal, tetapi menikmati sangat sedikit dalam pengalaman aktual.

Kita bisa ilustrasikan ini dengan perumpamaan: Jika Yosua dan anak- anak Israel diperumpamakankan seperti beberapa Fundamentalis, mereka akan berjejer di pinggir timur sungai Yordan, melihat ke seberang sungai, melipat tangan mereka dan berkata, “Kita sudah

mendapatkannya semua!” Itu secara legal betul, namun secara pengalaman aktual tidak betul.

Jika mereka diperumapamakan seperti beberapa Pentakosta, mereka sudah melewati sungai Yodan – seperti di baptis Roh Kudus – lalu berjejer di pinggir barat, melipat tangan mereka dan berkata, “Kita sudah mendapatkannya semua!” Namun, secara aktual, meski mereka sudah satu tahap lebih jauh, namun mereka masih jauh dari warisan nyata mereka.

Fakta menarik mengenai anak-anak Israel mengambil Tanah Perjanjian adalah Allah membawa mereka masuk melalui mujizat, dan lalu memberi mereka kemenangan mereka pertama atas Yerikho melalui mujizat. Namun setelah itu, mereka harus berperang untuk setiap bagian tanah yang mereka miliki. Kita tidak bisa berharap mendapatkan warisan kita tanpa konflik juga.

Jalan mereka mendapatkan warisan mereka: “Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu Kuberikan kepada kamu.” Maka begitu pula dengan kita.

Secara legal, semua langsung menjadi milik kita pada saat kita bertobat atau berbalik dari dosa-dosa kepada Allah dan menerima keselamatan. Namun secara pengalaman, kita harus bergerak masuk dan menyatakan klaim kita atas apa yang Allah sudah berikan kepada kita. Kita harus menginjakkan kaki kita pada setiap janji sementara kita datang padanya. Ini gambaran yang sangat jelas untuk kita nyatakan: “Allah sudah menjanjikan ini bagi kita, dan kita sekarang meletakkan klaim pada janji-Nya.”

Prinsip ketiga pemeliharaan: Semua janji-janji Allah adalah ekspresi dari kehendak-Nya. Allah tidak pernah menjanjikan apa saja yang

bukan kehendak-Nya. Sangat penting kita mengerti bahwa ini bagaimana dengan janji-janji Allah.

Allah tidak perlu membuat janji-janji. Semua ekspresi kasih karunia- Nya. Ia bisa tidak memberi kita janji-janji sama sekali. Tetapi dalam membuat janji-janji-Nya terkandung bagi kita dalam Firman-Nya, Ia membuat diri-Nya hadir. Ia mengungkapkan kepada kita kehendak- Nya. Dan maka, ketika kita datang pada Allah berdasarkan janji-janji- Nya yang dinyatakan dengan jelas, dan kita tahu kita sudah mengertinya menurut cara janji-janji itu ditujukan – ketika kita datang pada Allah berdasarkan itu, maka kita tahu kehendak Allah.
Kita bisa berdoa dalam iman mengetahui kehendak Allah dan tahu bahwa ketika kita berdoa Ia mendengar kita dan kita mendapatkan apa yang kita doakan.

Kita lihat, dalam banyak kasus dimana iman kita sedang di uji atau dimana kita sedang mencari jawaban-jawaban atas doa, hal yang vital adalah kehendak Allah. Ketika kita tahu kehendak Allah, kita bisa berdoa dengan keyakinan. Ini di ekspresikan dalam 1 Yohanes 5:14-15 “Dan inilah keberanian percaya kita kepada-Nya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepada-Nya menurut kehendak-Nya.

Dan jikalau kita tahu, bahwa Ia mengabulkan apa saja yang kita minta, maka kita juga tahu, bahwa kita telah memperoleh segala sesuatu yang telah kita minta kepada-Nya.”

Perhatikan isu-nya kehendak Allah. Jika kita tahu bahwa kita berdoa sesuai kehendak-Nya, maka kita tahu bahwa Ia mendengar kita. Dan jika kita tahu Ia mendengar kita, maka kita tahu bahwa kita mendapatkan apa yang kita minta dari-Nya. Diberikan. Itu tidak berarti kita langsung mendapatkannya dalam pengalaman aktual,

tetapi kita tahu sudah selesai. Ada proses waktu. Pemeliharaan untuk kita disana.

Jadi kebenaran vital dalam berdoa, dan dalam seluruh kehidupan iman sebenarnya mengetahui kehendak Allah. Allah sudah dengan murah hati mengungkapkan kehendak-Nya pada kita dalam janji- janji-Nya. Itu bagaimana kita tahu kehendak Allah. Jika Allah menjanjikan untuk melakukan sesuatu, sudah menjadi kehendak- Nya untuk melakukan-Nya.

Terjemahan bahasa Yunani “keberanian percaya” dalam 1 Yohanes 5:14 berarti secara harfiah “kebebasan berbicara.” Kata yang sangat penting dalam latar belakang politik orang-orang Yunani. Satu dari hak-hak yang mereka perangi untuk demokrasi adalah kebebasan berbicara, yang, tentunya, sangat berharga untuk bangsa-bangsa demokratik. Jadi ayat itu bisa dibaca: “kebebasan berbicara pada Allah.” Implikasinya adalah keberanian percaya itu perlu di ekspresikan dalam apa yang kita katakan. Tidak cukup hanya percaya “dengan hati”; kita harus juga mengakui “dengan mulut” (Roma 10:10).

Semua keberhasilan berdoa berkerja disekitar mengetahui kehendak Allah. Begitu kita tahu bahwa kita minta sesuatu menurut kehendak Allah, kita tahu kita mendapatkannya. Bukan “kita akan mendapatkannya,” tetapi “kita mendapatkannya.”

Mari sejenak pelajari beberapa ayat yang mendukung konsep menerima apa yang kita doakan ini. Nas pertama adalah Matius 7:7- 8, yang di ambil dari Kotbah di Bukit. Dalam enam cara berbeda, dinyatakan bahwa Allah ingin kita mendapatkan apa yang kita doa kan. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”

Perhatikan bahwa tidak ada satu sugesti negatif dalam semua kata- kata itu. Dalam enam cara berbeda, Yesus mengatakan pada kita bahwa Allah ingin kita berdoa dan mendapat apa yang kita doakan.

Dalam Matius 21:22, Yesus berkata: “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.” Bagaimana bisa lebih jelas daripada itu? Apa saja yang kamu minta kamu akan menerimanya.

Dalam Yohanes 14:13-14, Yesus berkata: “dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak.

Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya.”

Apa yang bisa lebih empatik daripada pernyataan itu? Jika kita meminta apa juga dalam nama-Nya, Ia akan melakukannya.

Dalam Yohanes 16:24 dikatakan: “Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatu pun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.”

Yesus menantang kita untuk minta dan untuk menerima jawaban supaya sukacita kita penuh. Pengalaman meyakinkan kita bahwa tidak ada yang memberi sukacita penuh lebih indah daripada tahu bahwa Allah Mahakusa menjawab doa-doa kita. Apa yang lebih

indah daripada tahu Pencipta alam semesta, Satu yang memiliki kuasa penuh perhatian pada doa kita dan senang melakukan apa yang kita minta? Ketika kita mendapatkan itu dalam pengalaman – berdoa dan menerima jawaban spesifik atas doa kita – sukacita kita penuh. Itu kenapa Yesus berkata, “supaya memiliki sukacita penuh, minta, dan kita akan menerima.”

Tentu, ada prinsip-prinsip dasar dan syarat-syarat agar secara reguler menerima jawaban doa-doa kita. Namun, camkan ini di pikiran fakta dasar besar yang kita nyatakan ini: Allah ingin kita berdoa dan mendapatkan apa yang kita doakan. Jangan biarkan syarat-syarat menjadi pagar yang memisahkan kita dari berdoa. Sudah pasti, kita harus mematuhi syarat-syaratnya. Namun kesadaran dasar yang kita perlukan adalah bahwa Allah benar-benar ingin kita berdoa dan Ia benar-benar ingin kita mendapatkan apa yang kita doakan.

Terakhir, kita melihat dalam Markus 11:24 Yesus berkata: “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.” Menerimanya pada saat sekarang.” Kerja aktual pengalaman apa yang sudah kita terima sering baru terjadi di masa depan. Namun jika kita tidak menerima “sekarang”, kita tidak akan menerima di “masa depan.”

Pengajaran Markus 11:24 sepakat dengan 1 Yohanes 5:14-15. Dalam setiap kasus, pelajarannya adalah: Kita harus menerima, dengan iman, “pada saat kita berdoa.” Setelah itu, kita harus dengan berani mengekspresikan keyakinan kita bahwa kita sudah menerima – bahkan sebelum diterima secara aktual termanifestasikan dalam pengalaman nyata kita. Ini membawa kita pada prinsip berikutnya.

Ada tiga kata pendek dalam prinsip ini: “semua,” “sekarang,” dan “kita.”

Prinsip keempat pemeliharaan: Semua janji-janji Allah tersedia sekarang (saat ini) bagi kita melalui Kristus. Satu dari taktik-taktik Satan adalah membuat kita menunda ke waktu masa depan yang seharusnya kita terima sekarang.

Sering kali ketika kita sedang menuju menerima berkat-berkat Allah, Satan menggunakan taktiknya. Ia tidak berkata tidak; ia berkata, “Besok.” Sebagai akibatnya, kita ragu-ragu sejenak dan gagal mendapatkan berkat-berkat yang kita doakan.

Apa yang Kitab Suci katakan mengenai kapan waktu menerima? Sekarang – saat ini! Orang-orang sering berkata, “Hari ini” adalah waktu menerima…”sekarang” adalah hari keselamatan.” (2 Korintus 6:2)

Allah hidup dalam kekekalan saat ini. Ketika kita bertemu Allah, tidak pernah kemarin atau tidak pernah besok. Nama-Nya bukan “Aku di masa lalu” atau “Aku di masa depan.” Selalu “AKULAH AKU.” (Keluaran 3:14).

Sebagai dasar prinsip untuk mendapatkan janji-janji Allah “sekarang”, mari kita lihat 2 Korintus 1:20. Ini ayat kunci ketika kita menangani topik dispensasionalisme – konsep yang memindahkan hampir semua berkat-berkat dan pemeliharaan-pemeliharaan Allah apakah ke masa lalu (“zaman apostolik”) atau ke masa depan (“milenium”).

Ayat khusus ini tidak mudah diterjemahkan. Ada banyak cara berbeda menterjemahkannya, namun semua berakhir pada

pemikiran yang sama. “Sebab Kristus adalah “ya” bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan “Amin” untuk memuliakan Allah” (2 Korintus 1:20).

Terjemahan Alkitab New International Version: “Sebab Kristus adalah “ya” bagi semua janji Allah.” Dengan kata lain, untuk setiap janji yang Allah buat, jika kita datang pada-Nya dalam nama Yesus dan mengklaimnya, maka Allah mengatakan “ya.”

Melanjutkan, “Jadi melaluinya “Amin” di ucapkan oleh kita untuk kemuliaan Allah.” Ketika Allah berkata ya, maka kita merespons dengan amin, dan itu menyelesaikannya. Respons kita dengan amin adalah seperti kita menginjakkan kaki kita pada bidang khusus tanah itu. Ini berlaku bagi setiap janji yang kita temukan dalam Alkitab.
Jika kita datang pada Allah berdasarkan janji itu, melalui Yesus Kristus, Allah berkata ya. Dan ketika Allah berkata ya, kita berkata amin pada janji itu – dan itu menyelesaikannya.

Terjemahan Alkitab King James Version: “Karena semua janji-janji Allah dalam Yesus adalah ya dan Amin, untuk kemuliaan Allah oleh kami.”

Terjemahan alternatif: “Allah memberi semua janji-janji yang adalah ya, dan Dia memenuhi semua janji-janji yang adalah Amin dalam Yesus.” Namun terjemahan manapun yang kita ikuti, ada kunci yang tidak berubah.

Pertama, “semua janji-janji” – bukan hanya beberapa, namun semua. Semua janji-janji Allah – setiap janji yang Allah pernah buat, adalah ya dalam Kristus.

Kedua dikatakan semua janji-janji Allah sekarang – di masa kini. Begitu banyak orang percaya Allah melakukan hal-hal bagus di masa lalu. Mereka percaya Ia akan melakukan hal-hal bagus di masa depan. Namun pada saat sekarang, mereka memandang janji-janji Allah ditunda atau tidak bermanfaat. Itu bukan apa yang Alkitab katakan. Alkitab berkata semua janji-janji Allah sekarang (saat ini) ya dan amin.

Ketiga, janji-janji “didalam Yesus.” Hanya ada satu jalur yang Allah buat janji-janji-Nya tersedia bagi kita. Jalur untuk semua itu adalah Yesus. Kelimpahan datang pada kita hanya dari sumber, Allah, melalui jalur, Yesus. Diluar Yesus kita tidak memiliki klaim pada janji- janji pemeliharaan Allah.

Keempat, diberikan “untuk kemuliaan Allah.” Setiap janji yang kita dapatkan sesuai kehendak Allah memuliakan Allah. Tujuan akhir kelimpahan Allah adalah kemuliaan Allah. Allah sudah mengatur janji-janji-Nya begitu agar ketika kita mendapatkannya, Ia dimuliakan. Dan maka, dalam mengklaim janji-janji Allah, kita memuliakan Allah.

Terakhir, ada dua kata kecil dalam 2 Korintus 1:20 “oleh…kita.” bukan “oleh rasul” atau “oleh gereja mula-mula” atau “oleh orang- orang Kristen khusus,” seperti evangelis atau misionaris atau pendeta. “Oleh…kita.” Semua janji-janji Allah tersedia sekarang bagi kita melalui iman dalam Kristus.

Roma 3:23 berkata, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Ada beberapa cara menterjemahkan ayat itu, namun intinya,

“Oleh dosa kita, kita sudah mencuri kemuliaan Allah dari-Nya.” Jadi bagaimana, kita mengembalikan pada Allah kemuliaan-Nya? Roma 4:20-21 berkata mengenai Abraham: “Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, maka ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.”

Perhatikan bagaimana Abraham memberi kemuliaan pada Allah. Berdasarkan janji Allah. Janji Allah adalah dasar dimana kita bisa memberi-Nya kemuliaan. Dengan percaya pada janji-janji-Nya, kita mengembalikan pada Allah kemuliaan yang dosa kita sudah curi dari-Nya. Itu inti dosa – bahwa kita sudah mencuri dari Allah kemuliaan-Nya. Lebih kita mengklaim janji-janji Allah, lebih lagi kita memuliakan-Nya. Dan semua janji-janji-Nya sekarang (saat ini) tersedia bagi kita melalui Kristus.

Tentu, kita tidak membutuhkan semua berkat-berkat Allah langsung saat ini. Sebetulnya, kita tidak bisa mengklaim semua janji-janji Allah hanya dalam satu saat. Namun janji apa pun yang kita butuhkan sesuai situasi kita tersedia bagi kita saat ini.

Kesimpulannya setiap janji sesuai situasi kita dan memenuhi kebutuhan kita untuk kita sekarang – saat ini.

Prinsip terakhir dimana begitu banyak orang salah menanggapi atau meleset. Mereka mendapatkan janji-janji besar dan baik dari Allah. Mereka mengklaim warisan mereka. Mereka bergairah dan antusias. Lalu mereka melihat situasi dan keadaan yang mereka hadapi, dan mereka berhenti. Mereka berkata, “Allah tidak bisa memenuhi kebutuhan ini. Situasi saya terlalu sulit. Tentu, Allah betul-betul ingin menolong. Namun situasi saya, mustahil.”

Itu satu kesalahan besar yang kita lakukan terus menerus. Bukannya fokus pada janji-janji, kita berbalik pergi, melihat situasi dan meninggalkan janji-janji. Kita perlu memahami prinsip ini.

Prinsip kelima pemeliharaan: Semua janji-janji Allah yang dipenuhi tidak tergantung pada keadaan kita namun pada kuasa-Nya.

Ketika Allah memberi janji, tidak terbatas pada keadaan. Tidak harus mudah bagi Allah untuk melakukan apa yang Ia janji lakukan. Janji- janji Allah tidak tergantung pada keadaan dimana kita berada.
Keadaan tidak membuat perbedaan.

Kita tidak perlu mencoba membuat hal-hal menjadi mudah bagi Allah. Allah ingin bekerja begitu rupa sehingga kemuliaan dipersembahkan hanya untuk-Nya. Ingat: tujuan janji-janji Allah mencurahkan kelimpahan-Nya adalah untuk kemuliaan-Nya. Dalam arti tertentu, lebih mustahil, Allah lebih dimuliakan.

Tidak tergantung pada apapun disekitar kita. Tidak ada yang fisikal atau temporer – tidak ada dalam waktu dan ruang di dunia bisa merubah janji-janji kekal Allah. Itu pelajarannya, dan kenapa Allah begitu sering membiarkan laki-laki dan perempuan beriman dalam alkitab masuk dalam situasi yang benar-benar mustahil. Ia ingin membuat jelas tidak boleh janji-janji-Nya tergantung pada keadaan dengan mendapat hak istimewa. Ia biasanya mengijinkan keadaan menjadi tidak ada harapan.

Iman riil menolak dipengaruhi oleh keadaan. Lihat tiga contoh ini.

Ketika Elia ingin api turun dari surga untuk membakar korban di atas mezbahnya, ia mencelupkan korban dalam air tiga kali. Ia membiarkan air mengalir dan memenuhi selokan. Lalu ia berkata,

“Sekarang mari kita lihat apa yang Allah bisa lakukan.” Dan ketika api datang, membakar air, membakar debu, membakar kayu dan membakar korban. Api Allah tidak mengalami masalah dengan selokan penuh air dibanding kayu kering. Basah atau kering, sulit atau mudah, mungkin atau mustahil – tidak ada bedanya dengan Allah (1 Raja-Raja 18:20-40).

Ketika Israel melewati Yordan menuju Tanah Perjanjian – ini pola untuk kita – sungai Yordan sedang banjir. Dititik tertinggi. Mengalir paling deras sepanjang tahun. Allah tidak menginginkannya lebih mudah. Ia memilih waktu ketika keadaan paling sulit.

Perhatikan ketika Allah berurusan dengan Gideon. Gideon mulai dengan 32 ribu orang untuk berperang melawan bangsa Midian. Allah berkata, “Engkau memiliki terlalu banyak orang; biarlah sebagian pergi. Jika mereka takut, biarlah mereka pulang, karena jika engkau menang pertempuran dengan 32 ribu orang, mereka akan berkata Israel melakukannya dengan kekuatan mereka sendiri.” Jadi Gideon melepaskan mereka yang takut dan membiarkan mereka pulang. Kelompok pertama yang pergi 10 ribu, meninggalkan sisa 22 ribu orang. Allah berkata, “masih terlalu banyak. Bawa mereka ke anak sungai dan biarkan mereka minum air, maka Aku akan menyaring mereka bagimu disana. Barangsiapa yang menghirup air dengan membawa tangannya kemulutnya yang engkau pilih.” Hanya 300 orang memenuhi syarat. Dari 32 ribu, Allah memangkas jumlah tentara menjadi 300 orang karena Ia ingin kemuliaan untuk diri-Nya. Ia ingin mengecualikan kemungkinan Israel melakukannya tanpa Allah.

Ada dua ayat Kitab Suci yang sangat riil dalam konteks ini. “Jawab- Nya: “Apabila kamu masuk ke dalam kota, kamu akan bertemu dengan seorang yang membawa kendi berisi air. Ikutilah dia ke

dalam rumah yang dimasukinya, dan katakanlah kepada tuan rumah itu: Guru bertanya kepadamu: di manakah ruangan tempat Aku bersama-sama dengan murid-murid-Ku akan makan Paskah? Lalu orang itu akan menunjukkan kepadamu sebuah ruangan atas yang besar yang sudah lengkap, di situlah kamu harus mempersiapkannya” (Lukas 22:10-12).

Ini tipikal Tuhan berurusan sementara kita mengikuti pengarahan- Nya. Ketika kita sampai pada tempat yang Ia pimpin, segala sesuatu sudah dipersiapkan.

Kita mungkin bertanya bagaimana murid-murid bisa mengetahui orang yang membawa kendi berisi air. Yesus berkata ia laki-laki. Di Timur Tengah sangat umum melihat perempuan membawa kendi air, namun jarang melihat laki-laki melakukan ini. Jadi ini tanda yang berbeda. Ketika kita mentaati arahan dan mengikuti orang itu, mereka datang ke tempat yang sudah dipersiapkan.

Ini gambaran bagaimana Allah berurusan dengan kehidupan kita. Kita harus mendapatkan pimpinan-Nya, dan kita harus mengikuti, namun ketika kita sampai pada tempat dimana Ia membawa kita, segala sesuatu sudah dipersiapkan.

Kita membaca ayat dimana Yesus, berbicara pada murid-murid-Nya: “Lalu Ia berkata kepada mereka: “Ketika Aku mengutus kamu dengan tiada membawa pundi-pundi, bekal dan kasut, adakah kamu kekurangan apa-apa?” (Lukas 22:35).

Kita bisa bertanya, kenapa Ia mengutus mereka keluar tanpa uang, bekal dan kasut jika Ia tahu mereka akan membutuhkannya?
Jawabannya karena Tuhan selalu ingin kita terus menerus bergantung pada-Nya untuk hal-hal yang kita butuhkan.

Jika kita mempelajari cara Allah berurusan dengan Israel, Ia terus menerus berurusan dengan mereka dengan cara itu. Sebagai contoh, ketika Ia membawa mereka keluar dari Mesir dan mereka terus mengikuti tanda supernatural-Nya, Ia membawa mereka ke suatu tempat dimana Laut Merah berada di depan mereka dan tentara Mesir di belakang mereka. Bukan karena mereka sudah salah arah dan sampai pada salah tempat. Melainkan Allah ingin mereka berada dalam tempat dimana mereka membutuhkan-Nya mati-matian dalam keadaan putus asa tanpa siapa pun bisa menolong mereka.

Setelah itu, mereka berbaris masuk padang belantara di sisi lain Laut Merah dan mengikuti Tuhan tiga hari. Mereka tidak punya air, mereka sampai pada mata air yang disebut Mara. Namun ketika mereka mencoba meminumnya, terlalu pahit. Mereka tidak bisa meminumnya. Allah sudah membawa mereka sejauh itu. Bukan karena mereka sudah salah arah dan sampai pada salah tempat.
Kenapa Allah membawa mereka kesana? Karena Ia ingin mereka tahu bahwa mereka bergantung secara total pada-Nya.

Hanya ada satu orang diantara mereka yang cukup pintar menyadari itu. Mereka semua bergumam dan mengeluh, namun Musa berdoa dan Allah menunjukkannya apa yang harus dilakukan untuk membuat airnya manis.

Mungkin contoh paling luar biasa dari prinsip ini, bahwa pemeliharaan Allah tidak tergantung pada keadaan adalah kepedulian Allah pada Israel di padang belantara. Selama empat puluh tahun, Allah memberi makan, pakaian dan menuntun hampir tiga juta orang – laki-laki, perempuan, orang tua, bayi, termasuk ternak, segalanya. Ini padang tandus dimana tidak ada air, tidak ada

makanan – tidak ada apa-apa, kecuali pasir dan matahari. Allah keluar dari jalan-Nya untuk menyatakan, “Biarkan Aku tunjukkan padamu apa yang bisa Aku lakukan.” Ia membuatnya sulit. Ia yang mengatur situasinya.

Allah menaruh umat-Nya melalui keputusan dan rencana-Nya sendiri dalam situasi dimana setiap sumber air natural tidak tersedia. Ia melakukan itu agar mereka tahu bahwa Ia Mahakuasa, bahwa Ia memegang janji-janji-Nya, bahwa Ia bisa diandalkan, dan Ia tidak terbatas pada keadaan atau situasi apa saja. Apa yang berlaku bagi Israel juga berlaku bagi kita.

Paling penting untuk dimengerti bahwa kita tidak boleh membiarkan fokus kita bergeser dari janji kepada situasi. Kapanpun kita melakukan itu, seperti Petrus berjalan di atas air, kita akan tenggelam.

Mari kita tinjau lima prinsip dasar pemeliharaan Allah. Mengerti prinsip-prinsip ini memberi kita fondasi kokoh untuk langkah selanjutnya.

Prinsip pertama: semua janji-janji Allah memelihara. Jika kita gagal mengklaim janji-janji Allah, kita tidak bisa berharap menerima pemeliharaan-Nya. Prinsip kedua: semua janji-janji Allah adalah warisan kita. Dalam Perjanjian Lama Tanah Perjanjian. Dalam Perjanjian Baru tanah janji-janji. Prinsip ketiga: semua janji-janji Allah ekspresi kehendak-Nya. Ketika kita mendapatkan janji-janji Allah, kita berdoa dengan keyakinan karena kita tahu kita berdoa sesuai kehendak Allah. Prinsip keempat: semua janji-janji Allah tersedia bagi kita melalui Kristus. Setiap janji yang sesuai situasi kita dan memenuhi kebutuhan kita adalah untuk kita sekarang – saat ini. Prinsip kelima: semua janji-janji Allah yang dipenuhi tidak

tergantung pada keadaan, melainkan pada kita memenuhi syarat- syarat Allah. Contoh menonjol adalah empat puluh tahun Israel di belantara ketika Allah memelihara tiga juta orang tanpa sumber natural.

Prinsip-prinsip ini menjamin kita bahwa janji-janji Allah tersedia bagi kita.

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply