Masalah Besar dan Kodrat “Kedagingan” dan Bergantung Pada Roh – Bagian 7
eBahana.com – Apakah kita sepakat bahwa arah bangsa kita – dan negara-negara lain di dunia – perlu dirubah? Ketikakehidupan kita selaras dengan rencana-rencana Allah, Roh Kudus akan menggerakkan didalam hati kita – dan Ia akan mengalir seperti air mancur keluar dari kehidupan kita kedalam dunia disekitar kita. Dari awal yang kecil itu, Allah bisa melakukan pekerjaan yang akan berdampak pada takdir bangsa-bangsa.
Allah tidak minta kita untuk duduk dan menunggu-Nya membawa kebangunan rohani. Ia memilih untuk bekerja dengan kita.
Ia menunggu kita membuka hati kita untuk-Nya dan menyelaraskan diri kita dengan kehendak-Nya. Agar bisa melakukan ini, kita perlu mengaplikasikan tujuh prinsip kebangunan rohani. Sementara kita mengaplikasikan prinsip-prinsip fondasional ini, kita bisa menjadi umat Allah yang Allah inginkan dari kita, dan Ia bisa membawa kebangunan rohani.
Kita belajar dua syarat yang kita harus penuhi – mengasihi sesama dan mengasihi Allah. Pada intinya, kita harus memenuhi “hukum kasih,” yang Yesus simpulkan dengan cara: mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa kita, dan mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Mengenai kewajiban kita mengasihi Allah sepenuhnya, kita melihat dari perumpamaan orang kaya muda yang Yesus minta untuk melepaskan harta benda atau orang yang lebih penting daripada Dia – termasuk hidup kita sendiri.
Kita sudah membahas tiga rintangan pertama terhadap kebangunan rohani – masalah universal kecongkakan. Kita melihat bahwa proses merendahkan diri melibatkan pertobatan dan pengakuan dosa. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri kita dihadapan-Nya.
Dalam semua langkah-langkah ini, kita memiliki peran aktif. Untuk alasan ini, kita harus ingat bahwa prediksi apapun yang mengatakan kebangunan rohani akan terjadi dengan sendirinya, tanpa keterlibatan kita adalah menipu. Kita memiliki bagian vital untuk kita perankan dalam kebangunan rohani.
Mari kita mulai pembelajaran kita dengan pertanyaan: Apa yang kita pandang masalah terbesar yang sudah menyusahkan gereja Yesus Kristus sejak abad pertama sampai sekarang? Apakah Iblis? Kekurangan persatuan? Keduniawian? Penipuan? Peperangan rohani?
Jawabannya satu halangan terbesar pada tujuan-tujuan Allah dalam gereja adalah “legalisme.”
Apa itu legalisme? Legalisme adalah upaya mendapatkan hak istimewa Allah dengan apa yang kita lakukan, atau mencoba mendapatkan keselamatan dengan mendapatkannya sendiri. Sebagian besar orang Kristen diseluruh dunia terperangkap dalam beberapa bentuk jeratan legalisme ini.
Kita juga perlu sadar ada masalah lain yang berlawanan dalam sektor Kekristenan – apa yang disebut “antinomianisme (“melawan hukum”). Ini adalah penolakkan menerima hukum apapun dan jalan dengan cara sendiri. Jalur itu, tentunya, secara total bertentangan dengan Kitab Suci. Dalam banyak kasus, antinomianisme bisa karena reaksi melawan legalisme. Efek-efeknya yang merusak mendorong orang-orang beralih ke sudut pandang antinomian. Keduanya adalah ekspresi legalisme.
Kita sudah membahas satu dari pertanyaan paling penting yang pernah ditanya – satu yang sentral dalam pembelajaran kita disini. Ditemukan dalam Kitab Ayub 9:2: “Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya, masakan manusia benar di hadapan Allah?”
Itu pertanyaan kunci. Bagaimana seseorang bisa dibenarkan dihadapan Allah? Seperti dicatat sebelumnya, tiga teman Ayub mengejek ide bahwa siapapun bisa dibenarkan dihadapan Allah. Mereka berargumentasi bahwa Allah sepenuhnya kudus, dan kita begitu tidak kudus dan tidak berharga, sehingga bodoh mengandaikan siapapun bisa dibenarkan dihadapan-Nya. Meski demikian, kita menemukan jawaban Allah sendiri untuk pertanyaan Ayub dalam tulisan-tulisan Paulus dalam kitab Roma: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.
Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma 1:16-17).
Apa yang diungkapkan dalam injil? “Kebenaran Allah.” Kata kuncinya disini adalah “iman.” Kebenaran dicapai hanya melalui iman; tidak ada cara lain untuk mendapatkan kebenaran.
Dalam pasal tiga kitab Filipi, rasul menyampaikan sedikit latar belakangnya sebagai seorang Ortodox Yahudi yang tekun. Paulus mentaati semua dalam hukum yang ia bisa taati, namun ia mendeklarasi: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.
Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan” (Filipi 3:7-9).
Ini inti dari persoalannya. Paulus mengatakan bahwa bukan kebenarannya sendiri yang datang dari Allah melalui iman.
Paulus lalu berbicara mengenai hasil dari kebenaran ini: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa “kebangkitan-Nya” dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Filipi 3:10-11).
Dalam nas ini, ketika Paulus berbicara tentang “beroleh kebangkitan,” ia tidak berbicara tentang kebangkitan akhir. Dalam Yunani asli, kata terjemahan “kebangkitan” dalam Filipi 3:11 secara harfiah berarti “kebangkitan pertama hanya untuk orang benar (lihat Wahyu 20:5).
Kenapa ini penting? Banyak orang percaya memiliki ide sasaran kehidupan Kristen adalah untuk masuk ke surga. Meski demikian, apakah kita tahu ke surga “bukan” sasaran sebenarnya kehidupan Kristen? Surga tempat berhenti yang indah, namun bukan tujuannya! Tujuan akhir adalah kebangkitan! Allah akan meciptakan bumi baru dimana Dia akan berdiam dengan umat-Nya (lihat Wahyu 21:1-3). Itu ketika rencana-rencana Allah selesai.
Kita lihat, ketika kita mati, sementara roh kita di surga, tubuh kita akan membusuk dalam kuburan. Namun Yesus mati untuk menebus roh, jiwa, dan tubuh. Penebusan belum selesai sampai tubuh sudah ditebus bersama roh dan jiwa. Ini akan terjadi pada kebangkitan pertama – ketika orang mati dalam Kristus akan dibangkitkan, dan “kita semuanya akan diubah – dalam sekejap mata…karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati” (1 Korintus 15:51-53). Itu dimana Paulus meletakkan pandangannya. Berapapun harga yang harus dibayar, Paulus tidak mau kehilangan kebangkitan ini.
Memperoleh kebangkitan membutuhkan sikap memiliki tujuan, kemauan, dan komitmen untuk hidup dengan cara tertentu. Namun kembali kepada kebangkitan tidak dimungkinkan bagi siapapun melalui perbuatan-perbuatan agama. Perbuatan-perbuatan agama tidak akan pernah membawa kita kesana. Hanya “melalui kebenaran karena kepercayaan yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Filipi 3:9).
Alternatif dari kebenaran melalui iman adalah “legalisme.” Mari kita review arti “legalisme”: Mencoba mendapatkan kebenaran dengan apa yang kita lakukan – melalui hukum-hukum, peraturan-peraturan yang kita taati, perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan.
Gereja-gereja kita hari ini penuh dengan orang-orang yang “berpikir” mereka memperoleh kebenaran dengan Allah melalui hidup baik, dengan mentaati Sepuluh Perintah, dan lain-lain. Meski demikian, perbuatan baik dan berbagai peraturan-peraturan tidak membawa kebenaran Allah.
Hanya ada satu jalan untuk memperoleh kebenaran. Sangat sederhana: dengan percaya pada Yesus Kristus.
Seperti kita baru saja baca dalam Roma 1:16, “Injil Kristus….Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya.” Dan Efesus 2:8 berkata, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (jangan kita menjadi sombong), jangan ada orang yang memegahkan diri.” Iman adalah karunia. Dengan kata lain, (kita tidak memiliki iman untuk diselamatkan sampai Allah memberi kita iman untuk diselamatkan).
Satu dari surat Paulus dalam Perjanjian Baru berurusan khususnya dengan legalisme. Orang-orang Galatia. Kita melihat ini dengan jelas dari cara Paulus memulai suratnya kepada orang-orang percaya Galatia. Dalam sebagian besar surat-suratnya, Paulus mulai dengan mengucap syukur kepada Allah untuk kasih karunia Allah dalam hidup orang-orang yang kepadanya ia menulis, bahkan ketika orang-orang percaya itu sudah membuat banyak kesalahan-kesalahan. Sebagai contoh, dalam 1 Korintus, ketika Paulus menangani beberapa masalah dalam gereja Korintus. Ada orang yang hidup dengan istri ayahnya. Ada orang-orang yang mabuk di Meja Tuhan. Ada pertikaian, perpecahan, dan egoisme diantara mereka.
Namun meski ada semua masalah-masalah itu, Paulus berkata: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus.
Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu.
Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus.
Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1 Korintus 1:4-8).
Dengan semua masalah-masalah dalam gereja, dibutuhkan iman di pihak Paulus untuk percaya bahwa orang-orang Korintus “tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus.” Paulus percaya, “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita adalah setia” (ayat 9).
Sebagai kontras, ketika Paulus menulis kepada orang-orang Galatia, yang tidak memiliki masalah-masalah moral – tidak ada kemabukkan, tidak ada imoralitas, dan bukti pertikaian atau perpecahan – ia tidak senang.
Orang-orang percaya ini hidup dengan cara sangat baik – “secara legalistik.” Namun Paulus jauh lebih sedih mengenai legalisme orang-orang Galatia daripada ia mengenai dosa-dosa orang-orang Korintus. Dalam komentar awal Paulus, ia tidak berkata satu katapun mengucap syukur kepada Allah untuk kasih karunia yang Ia sudah berikan untuk mereka atau untuk semua kebaikan yang Ia sudah lakukan untuk mereka.
Sebaliknya, ia menulis: “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu – ‘injil lain,’ yang sebenarnya ‘bukan injil.’ Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk ‘memutarbalikkan’ Injil Kristus” (Galatia 1:6-7).
Masalah yang membuat Paulus begitu sedih adalah “legalisme.” Pertanyaannya, kenapa legalisme begitu berbahaya pada iman kita?
Untuk mengerti kelicikan jebakkan legalisme, kita harus mengerti terminologi-terminologi tertentu dalam Kitab Suci.
Dalam Perjanjian Baru, frasa yang kita sering baca adalah “kedagingan.” Sebagian besar orang Kristen memiliki ide kabur tentang apa yang dimaksud terminologi ini, namun kita akan dengan teliti mempelajari artinya. The New International Version Bible cenderung menterjemahkannya sebagai “kodrat berdosa.” Meski demikian, ekspresi itu mengaburkan apa yang Paulus maksudkan dengan “kedagingan” ketika ia menggunakan frasa ini dalam tulisan-tulisannya.
“Kedagingan” adalah kodrat setiap manusia yang diwarisi sebagai keturunan dari Adam yang jatuh dalam dosa.
Ingat Adam tidak memiliki keturunan sampai setelah ia menjadi pemberontak. Karenanya, setiap dari keturunannya sekarang memiliki didalamnya kodrat seorang pemberontak. Itu kodrat “kedagingan.”
Paulus kadang-kadang menggunakan kata “kedagingan” untuk mengacu pada tubuh fisikal. Meski demikian, ketika Paulus menggunakan terminologi ini dalam Galatia, ia tidak berbicara mengenai tubuh manusia. Ia mengacu pada kodrat pemberontak yang diwarisi. Alkitab juga mengacu pada kodrat pemberontak ini sebagai “manusia lama,” (lihat Roma 6:6).
Suka atau tidak, kita perlu mengerti kodrat kedagingan, kodrat pemberontak kita. Dalam Alkitab kata yang digunakan untuk menggambarkan dosa “kedagingan” adalah “Jiwani” dari kata Latin “Carnis” (lihat 1 Korintus 3:3).
Apa yang kita bisa katakan mengenai pemberontak ini, kodrat kedagingan yang kita warisi dari Adam? Esensi dari kodrat kedagingan adalah “keinginan untuk menjadi independen dari Allah.” Ketika Allah sudah selesai dengan rencana-rencana-Nya untuk dunia kita dan membawa zaman ini pada penutupan, tidak ada apa-apa lagi dan tidak ada siapapun di surga atau di bumi yang independen dari-Nya. Mereka yang tetap ingin menjadi independen dari Allah sudah di kurung dalam satu tempat yang Yesus sebut “kegelapan yang paling gelap” (Matius 8:12; 22:13; 25:30).
Kita melihat sebagian besar dari kita tidak memahami secara alamiah keberdosaan yang mengerikan dari keinginan menjadi independen dari Allah. Allah menciptakan alam semesta ini, dan sejauh Alkitab ungkapkan, hanya ada dua tipe makhluk ciptaan yang pernah ingin menjadi independen dari-Nya. Pertama kelompok malaikat; kedua umat manusia. Tidak ada entitas ciptaan dalam alam semesta – bintang-bintang, binatang-binatang, laut-laut – mencoba bekerja secara independen dari Allah. Mereka semua bergantung pada-Nya. Masalah akar umat manusia adalah keinginan yang diwariskan untuk menjadi independen dari Pencipta-nya ini.
Ketika Satan mencobai Adam dan Hawa di taman Eden, ia berkata, “pada waktu kamu memakannya kamu akan menjadi seperti Allah” (lihat Kejadian 3:1-5). Tidak ada salahnya ingin menjadi seperti Allah. Itu keinginan yang baik. Isunya Adam dan Hawa ingin menjadi seperti Allah “tanpa bergantung pada-Nya.”
Keinginan menjadi independen dari Allah adalah akar masalah umat manusia. Dan metode yang umat manusia gunakan untuk menjadi independen adalah “agama.” Kita berpikir, “Jika saja saya mentaati semua peraturan-peraturan ini, dan jika saya menghadiri tempat ibadah, hanya itu sudah cukup.” Cara berpikir seperti ini keliru. Mengikuti seperangkat peraturan-peraturan tidak akan menjadikan kita bergantung pada Allah. Keinginan untuk menjadi independen dari-Nya, sering diekspresikan dalam agama, adalah akar dari semua masalah-masalah kita.
Kadang-kadang pemberontak dalam kita itu bisa menjadi sangat agamawi. Ia bisa menggunakan banyak bahasa spiritual. Namun ia tetap pemberontak. Mari kita lihat apa yang Paulus katakan mengenai kedagingan dalam Roma 8:8: “Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.”
Tidak pernah ada yang kita bisa lakukan dalam kodrat kedagingan kita untuk menyenangkan Allah, karena kita melakukan itu berasal dari pemberontakkan. Meski demikian, kita sudah belajar bahwa Allah menyediakan cara berbeda untuk mendapatkan kebenaran, yang tidak dengan mentaati seperangkat peraturan atau menjadi agamawi – melainkan dengan “percaya.”
Dalam nas dari pasal empat kitab Roma, Paulus membuat poin yang sangat luar biasa. Dalam nas ini, ia mengacu pada contoh Abraham, bapa dari semua orang percaya, dan mendiskusikan bagaimana Abraham di justifikasi.
“Jadi apakah akan kita katakan tentang Abraham, bapa leluhur jasmani kita?
Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah.
Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Roma 4:1-3).
Tolong perhatikan bukan apa yang Abraham “lakukan” yang membuatnya benar. Melainkan kepercayaannya yang “diperhitungkan padanya sebagai kebenaran.” Paulus melanjutkan poin luar biasa ini dalam ayat 4-5: “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya.
Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.”
Apa persyaratan pertama agar iman kita diperhitungkan sebagai kebenaran? Kita harus berhenti “bekerja”: “…ada orang yang tidak bekerja.” Kita harus sampai pada akhir dari setiap usaha untuk mendapatkan kebenaran dengan Allah melaui apa yang kita lakukan. Jika kita tidak sampai ke titik ini, kita belum benar-benar masuk kedalam persediaan kasih karunia Allah melalui injil. Mungkin 50 persen orang-orang Kristen belum pernah benar-benar sampai ke tempat dimana mereka mengatakan, “Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk mendapatkan hak istimewa Allah, untuk mendapatkan kebenaran. Saya harus berhenti mencoba.”
Bisakah kita menerima pernyataan ini: “Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran?” Selama kita mencoba mendapatkan persetujuan Allah, iman kita tidak diperhitungkan menjadi kebenaran. Kebenaran tidak datang melalui iman plus pekerjaan – datang melalui iman saja.
Alasan Paulus begitu sedih dengan orang-orang Galatia karena mereka sudah kehilangan pandangan prinsip ini “iman saja.” Mereka sudah memutarbalikkan agama dan legalisme sebagai jalan untuk mencapai kebenaran.
Agama adalah cara congkak untuk mengatakan, “Saya tidak butuh Allah. Saya bisa berhasil sendiri melalui seperangkat peraturan-peraturan saya dan cara saya melakukan hal-hal.”
Sangat susah berhenti mengikuti peraturan-peraturan agama. Meski memberi rasa “aman.” Namun tidak meninggalkan ruang sama sekali untuk dipimpin oleh Roh Kudus. Ketika kita hidup menurut agama, kita berpikir kita tidak membutuhkan-Nya karena kita memiliki peraturan-peraturan kita sendiri.
Jika kita dibenarkan dengan mentaati seperangkat peraturan-peraturan, lalu bagaimana kita dibenarkan? Apa jalan kebenaran yang ditetapkan Perjanjian Baru?
Dinyatakan sangat sederhana dalam Roma 8:14: “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.”
Dalam Yunani asli, kata terjemahan “anak” disini mengacu kepada anak-anak dewasa, bukan anak-anak kecil. Apa tanda anak dewasa Allah? Mentaati seperangkat peraturan-peraturan? Bukan. Melainkan dipimpin oleh Roh Kudus.
Dalam ayat ini, Paulus menggunakan – aksi yang sedang berlangsung pada masa sekarang – “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah,” mereka, dan mereka saja, “adalah anak Allah.” Jalan satu-satunya kita bisa hidup sebagai anak dewasa Allah adalah dengan terus-menerus dipimpin Roh Kudus.
Ini esensi kehidupan Kristen – dipimpin Roh. Ketika kita dipimpin Roh Kudus, kita tidak independen. Kita bergantung pada-Nya setiap momen.
Kita tidak bisa memiliki kedua jalan bersamaan – apakah kita bekerja untuk kebenaran kita atau kita dipimpin Roh Kudus. Salah satu atau yang satunya. Kita harus putuskan yang mana kita akan pilih. Galatia 5:16 berkata, “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.”
Mari kita tekankan disini bahwa penyembuh untuk keinginan daging “bukan” seperangkat peraturan-peraturan. Lebih kita tekan keinginan daging, lebih banyak kuasanya atas kita. Kita mendapatkan diri kita mencoba mengatasi keinginan daging dengan berpikir. “Saya tidak boleh dikuasai keinginan daging. Saya tidak boleh berpikir dengan cara ini. Saya tidak boleh melihat gambar-gambar itu. Saya tidak boleh. Saya tidak boleh.
Saya tidak boleh.” Namun, lebih banyak kita mengatakan “Saya tidak boleh,” lebih banyak keinginan daging mendominasi pikiran kita. Apa solusinya? Hidup dalam Roh. Paulus lanjut mengatakan: “Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.
Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup dibawah hukum Taurat” (Galatia 5:17-18).
Kodrat kedagingan dan Roh Kudus bertolak belakang satu sama lain. Tidak akan pernah bekerja sama. Sudah jelas, kita harus memutuskan bagaimana kita ingin hidup. Kita tidak bisa berada dibawah hukum dan dipimpin Roh pada waktu yang sama. Kita harus membuat pilihan.
Banyak orang berpikir dipimpin Roh hidup dengan cara yang sangat tidak pasti. Mereka merasa terlalu beresiko, berpikir, “Apakah saya bisa benar-benar mempercayai Roh Kudus untuk memimpin saya?”
Kita bergantung pada Roh Kudus untuk memampukan kita mengerti apa yang Allah katakan kepada kita melalui Firman-Nya. Allah tidak berharap kita untuk hidup tanpa Roh-Nya, karena tidak ada pengganti untuk-Nya.
Ada tiga jalan Roh Kudus memimpin kita dalam hubungan kita dengan Kitab Suci. Pertama, Ia akan menarik kita kepada Firman Allah. Apakah kita ingat ketika kita lahir baru melalui Roh Kudus? Apakah kita memiliki keinginan yang tak terpuaskan untuk membaca Alkitab? Siapa yang memberi keinginan itu? Roh Kudus.
Kedua, Roh Kudus akan menterjemahkan Firman Allah kepada kita. Ia Penulis Alkitab, dan kita tidak bisa mengerti Firman tanpa-Nya. Oleh karena itu, jika kita ingin tahu apa yang Alkitab maksudkan, tanya Penulisnya. Ia akan mengatakannya pada kita.
Ketiga, Roh Kudus akan menunjukkan kita bagaimana mengaplikasikan Firman Allah. Ada banyak bagian-bagian Alkitab yang tampak agak kabur ketika kita pertama membacanya. Namun Roh Kudus bisa menjadi penterjemah kita. Ia akan menunjukkan kita bagaimana mengaplikasikan ayat-ayat itu – minta saja pada-Nya.
Alkitab esensial untuk kehidupan Kristen. Secara total benar, otoritatif, dan dapat diandalkan. Meski demikian, Roh Kudus dan peran-Nya juga penting dalam mengajar dan menuntun kita. Roh Kudus akan mengarahkan kita kepada Firman Allah, menterjemahkan Firman, dan menunjukkan pada kita bagaimana mengaplikasikannya dalam hidup kita.
Ketergantungan pada Roh Kudus bukan pilihan. Kultivasi persahabatan dengan-Nya. Ia bukan hanya setengah frasa di akhir Kredo Para Rasul. Ia bukan hanya ikhtisar teologis. Ia satu Pribadi, seperti Allah Bapa dan Allah Anak. Kita tidak akan pernah memiliki sahabat lebih baik dalam hidup kita daripada Roh Kudus.
Kita harus tahu ada dua hal yang Roh Kudus tidak akan pernah lakukan. Pertama, sebagai penulis Kitab Suci, Ia tidak akan pernah menuntun kita melakukan apapun yang bertentangan dengan Firman Allah. Ia tidak akan pernah mengkontradiksi diri-Nya Sendiri. Ini alasan kenapa kita perlu membaca dan mempelajari Alkitab kita – agar kita bisa periksa apa yang kita rasakan Roh Kudus katakan kepada kita konsisten dengan Kitab Suci. Jika tidak sesuai, bukan dari Roh Kudus.
Kedua, Roh Kudus tidak akan pernah memimpin kita melakukan apapun yang bertolak belakang dengan kodrat diri-Nya. Kodrat-Nya kudus. Jangan takut mencari Roh Kudus. Kita mungkin merasa resiko besar melakukan ini, namun resiko lebih besar lagi “tidak” mencari-Nya.
Kehidupan Kristen dijalani dengan iman. Tidak ada jalan hidup kehidupan Kristen tanpa resiko-resiko.
Tanpa Roh Kudus sebagai penuntun kita, peta kita (hukum) tidak akan mengarahkan kita ke tujuan kita.
Oleh LOKA MANYA PRAWIRO.