Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Berdampingan dengan COVID-19




eBahana.com

Tidak lama lagi COVID-19 akan berubah dari pandemi menjadi endemi. Momentum ini sebenarnya lebih subyektif daripada obyektif. Mengapa demikian? Tidaklah realistis untuk berharap bahwa dunia akan benar-benar mampu membasmi virus COVID-19, tetapi cukup keluar dari fase pandemi dan masuk ke fase endemi. Pada kondisi endemi, virus akan terus ada di beberapa wilayah secara global selama bertahun-tahun, tetapi prevalensi dan dampaknya akan turun ke tingkat yang relatif dapat dikendalikan. Pada saat itu COVID-19 menjadi lebih mirip seperti influenza, daripada penyakit ganas yang sempat menghentikan semua aktivitas manusia di dunia. Ketika telah mencapai titik endemi itu, kita akan hidup jauh lebih mudah dan nyaman.

Penyakit menular dapat disebut endemi apabila tingkat infeksi atau jumlah reproduksi stabil pada angka satu, yang berarti satu orang yang terinfeksi, rata-rata menginfeksi hanya satu orang lainnya. Selain itu, juga fatality rate kurang lebih 2 persen, kasus aktif kurang lebih 100 ribu, serta positivity rate kurang dari 5 persen. Syarat dari WHO, sebuah wilayah mendapat status endemis dan dapat hidup berdampingan dengan COVID-19, sebenarnya tidaklah hanya laju penularan yang dapat dikendalikan ke tingkat kasus sporadis saja. Ada syarat lainnya termasuk sistem dan kapasitas layanan kesehatan memadai dan tersedia, juga mencakup deteksi kasus, tes, isolasi, dan karantina. Selain itu, risiko terjadinya wabah telah diminimalkan, tindakan pencegahan tersedia, risiko kasus impor dari wilayah dan luar negara dapat dikelola baik. Juga partisipasi masyarakat terwujud secara sadar dalam menerapkan protokol kesehatan.

Tingkat infeksi dipengaruhi oleh ketersediaan dan pemberian vaksin COVID-19 yang luas, untuk membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) yaitu, ketika cukup banyak populasi telah memperoleh kekebalan untuk memberikan perlindungan kepada semua orang di sekitarnya. Namun demikian, harapan itu telah pupus di beberapa wilayah dan negara, karena kegagalan untuk memvaksinasi cukup banyak orang dan juga karena terjadinya varian COVID-19 lain yang lebih menular, telah beredar luas.

Menurunkan jumlah reproduksi virus COVID-19 menjadi hanya satu, sebenarnya hanyalah syarat minimal untuk menjadi endemik. Ada faktor lain yang ikut berperan, tetapi faktor tersebut lebih rumit, karena lebih subjektif.

COVID-19 menjadi endemik ketika pakar kesehatan, pemerintah, dan masyarakat secara bersama-sama, memutuskan untuk setuju dengan tingkat dampak buruk yang ditimbulkan virus. Jelas saja itu hal yang rumit, karena subyektivitasnya tinggi. Terkait sangat mungkin orang akan berbeda pendapat tentang tingkat yang dapat diterima.

Dampak terburuk infeksi COVID-19 jelas kematian. Banyak orang akan bersilang pendapat tentang tingkat kematian yang “dapat diterima”. Padahal kematian bukan satu-satunya dampak COVID-19 yang perlu dianggap serius. COVID-19 dapat juga menyebabkan gejala jangka panjang pada sebagian kecil kasus, sekitar 10 persen pada orang yang tidak divaksinasi dan sejumlah kecil orang yang telah divaksinasi. Gejalanya meliputi penurunan fungsi otak, kehilangan ingatan, dan kelelahan, bahkan disabilitas yang disebut Long COVID-19.

Selain subyektivitas tingkat kematian dan long COVID-19 yang dapat diterima, juga tingkat ketersediaan obat anti COVID-19. Ada yang mensyaratkan ketersediaan obat produksi infustri farmasi Merck, yaitu molnupiravir, yang diklaim mampu memangkas setengah kejadian rawat inap di rumah sakit karena COVID-19 untuk orang yang berisiko, kemudahan persyaratan perjalanan dan aktivitas masyarakat. Selain itu, juga tingkat ketersediaan ICU, IGD dan tempat tidur rumah sakit, juga rantai pasokan obat dan alat kesehatan, yang tidak sepenuhnya obyektif.

Faktor utama penentu berakhirnya pandemi adalah saat kita tidak khawatir lagi, terhadap gangguan kesehatan karena COVID-19. Pandemi berakhir ketika krisis berhenti, tidak hanya ketika mencapai penurunan laju penularan atau tingkat kematian saja, tetapi juga faktor lain yang sedikit subjektif.

Temuan kasus COVID-19 pertama di Indonesia disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo hari Senin, 2 Maret 2020 di Jakarta. Pada saat itu virus SARS COV-2 penyebab COVID-19 telah menyebar hingga ke lebih dari 60 negara, dengan jumlah kasus COVID-19 mencapai angka 88.382 kasus, terutama di Cina (79.826 kasus), Korea Selatan (3.736 kasus), Italia (1.694 kasus) dan Iran (978 kasus). Selanjutnya pada Senin, 11 Maret 2020 WHO menyatakan COVID-19 sebagai pandemi. Segera setelah itu, banyak pemerintah di seluruh dunia satu per satu mengumumkan keadaan darurat nasional. Sebaliknya, pernyataan resmi yang mengatakan keadaan darurat, krisis, dan pandemi telah berakhir tentu tidak mudah terjadi, karena saat penentuan endemik proses tersebut terjadi secara terbalik arah.

Proses pertama, masing-masing negara akan mendeklarasikan berakhirnya keadaan darurat yang didasarkan pada kriteria obyektif reproduksi COVID-19 dan beberapa kriteria subjektif di atas. Beberapa negara dengan tingkat vaksinasi yang tinggi, akan mencapai kondisi endemi lebih cepat daripada yang lain. Setelah banyak negara menjadi endemi, maka WHO pada akhirnya akan mengumumkan berakhirnya pandemi global COVID-19.

Saat sekelompok masyarakat sudah tidak lagi khawatir akan laju penularan dan dampak buruknya, maka kehidupan baru berdampingan dengan COVID-19 dapat dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan di 6 aktivitas utama masyarakat. Pertama, aktivitas di tempat perdagangan, mencakup pasar toko modern, maupun tradisional. Kedua, aktivitas perjalanan menggunakan transportasi publik di darat, laut, maupun udara. Ketiga, aktivitas wisata di destinasi pariwisata, hotel, restoran, dan ruang pertunjukan seni. Keempat, aktivitas produktif di kantor atau pabrik, baik pemerintah, swasta, bank, pabrik besar, maupun UKM/IRT. Kelima, aktivitas keagamaan di lokasi ibadah dan kegiatan keagamaan, serta keenam, aktivitas pendidikan utama di sekolah seperti PAUD, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, maupun pendidikan tambahan.

Penerapan protokol kesehatan, terutama menggunakan masker di tempat umum adalah sangat bermanfaat karena berbagai alasan. Pertama, tingkat infeksi dan kematian lebih rendah. Penelitian yang membandingkan tingkat kematian di negara di mana orang diharuskan memakai masker dengan negara di mana masker adalah pilihan, terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Tingkat kematian meningkat rata-rata 43 persen setiap minggu di negara di mana orang tidak diharuskan memakai masker, dibandingkan hanya 2,8 persen di negara yang mewajibkan masker.

Kedua, mencegah penularan dari Orang Tanpa Gejala (OTG), karena dibutuhkan rata-rata lima hari bagi orang yang terinfeksi COVID-19 untuk menunjukkan gejala. Bahkan 18 persen kasus COVID-19 tidak pernah mengalami gejala sama sekali, tetapi dapat menularkannya kepada orang lain. Selain itu, hampir setengah kasus COVID-19 terinfeksi dari orang yang tidak menunjukkan gejala apapun. Ketiga, melindungi orang dengan komorbid agar tidak terinfeksi, karena mereka paling berrisiko mengalami komplikasi yang sangat parah, saat terinfeksi virus corona. Keempat, menggunakan masker adalah pencegahan tertular yang paling mudah bagi orang yang belum divaksin COVID-19.

Bersama dengan mencuci tangan dan menjaga jarak fisik, marilah kita menggunakan masker dan mendapatkan vaksinasi COVID-19 dosis lengkap, sehingga akan membuat semua orang dapat kembali melakukan 6 aktivitas utama, dengan nyaman, senang dan aman dari risiko penularan COVID-19, sebelum resmi dinyatakan sebagai endemi.

Sudahkah kita bertindak bijak?

(Fx Wikan Indrarto, Dokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta)



Leave a Reply