Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

FONDASI IMAN KRISTEN




eBahana.com – Dalam banyak bagian, Alkitab membandingkan kehidupan orang percaya dengan konstruksi sebuah bangunan. Contohnya, Surat Yudas berkata, “Bangunlah dirimu sendiri di atas dasar imanmu yang paling suci” (Yudas 1:20).

Rasul Paulus juga menggunakan gambaran yang sama dalam banyak bagian: “Kamu adalah bangunan Allah … aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar” (1 Korintus 3:9–10).

“Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah” (Efesus 2:22).

“Aku menyerahkan kamu kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu” (Kisah Para Rasul 20:32).

Dalam semua nas ini, kehidupan orang percaya dibandingkan dengan konstruksi sebuah bangunan.

Dalam praktik riil atau nonspiritualnya, ciri paling penting dari struktur bangunan adalah fondasinya. Fondasi dirancang berdasarkan berat dan tinggi bangunan yang akan dibangun di atasnya. Fondasi yang lemah hanya bisa menopang bangunan kecil. Fondasi yang kuat bisa menopang bangunan besar. Ada hubungan langsung antara fondasi dan bangunan.

Begitu pula dalam hal spiritual, hal yang sama berlaku. Dalam kehidupan banyak orang Kristen, mereka mulai dengan memaksakan bangunan besar kekristenan yang bagus dalam hidup mereka. Namun, tidak lama kemudian bangunan besar bagus mereka tenggelam, mengendur, keluar dari kebenaran. Kadang‐kadang runtuh sama sekali dan tidak meninggalkan apa‐apa, hanya tumpukan rongsokan janji‐janji, doa‐doa dan itikad‐itikad baik yang tidak terpenuhi atau tergenapi.

Di bawah masa reruntuhan itu terletak alasan kegagalan—fondasinya—terkubur. Tidak diletakkan dengan benar, tidak bisa menopang bangunan bagus yang direncanakan.

Kalau begitu, apa fondasi Allah untuk kehidupan Kristen? Jawabannya dengan jelas diberikan oleh Rasul Paulus, “Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”

Ini dikonfirmasi juga oleh Petrus, ketika ia berbicara mengenai Yesus Kristus, “Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal” (1 Petrus 2:6).

Di sini Petrus mengacu kepada nas Yesaya yang berbunyi, “Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion” (Yesaya 28:16). Jadi, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sepakat dalam fakta vital ini: fondasi yang benar dari kehidupan Kristen adalah Yesus Kristus sendiri—tidak ada yang lain, bukan apa pun atau siapa pun. Bukan pernyataan kepercayaan, gereja, denominasi, berbagai peraturan, dan perayaan. Yesus Kristus sendiri—dan “tidak ada fondasi yang bisa diletakkan oleh siapa pun.”

Perhatikan kata-kata Yesus. “Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: ‘Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?’ Jawab mereka: ‘Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia atau salah seorang dari nabi.’ Lalu Yesus bertanya kepada mereka: ‘Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?’ Maka jawab Simon Petrus: ‘Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!’ Kata Yesus kepadanya: ‘Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa‐Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat‐Ku dan alam maut tidak akan menguasainya’” (Matius 16:13–18).

Sudah lama dipercaya kata‐kata Yesus ini diartikan bahwa Petruslah batu karang tempat gereja Kristen dibangun di atasnya, dan karenanya Petrus adalah fondasi kekristenan ketimbang Yesus sendiri. Pertanyaan ini begitu vital dan menjangkau jauh sehingga penting bagi kita untuk mempelajari kata‐kata Yesus dengan sangat hati‐hati untuk memastikan artinya benar.

Dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru aslinya ada, dalam jawaban Kristus kepada Petrus. Dalam bahasa Yunani, nama “Petrus” adalah Petros; kata untuk “batu” adalah petra. Menggunakan kemiripan dalam ucapan ini, Yesus berkata, “Engkau adalah Petrus (Petros), dan di atas batu karang ini (petra) Aku akan mendirikan jemaat‐Ku” (Matius 16:18).

Walaupun ada kemiripan dalam ucapan antara dua kata ini, arti keduanya cukup berbeda. Petros berarti batu kecil atau kerikil. Petra berarti batu besar. Ide membangun gereja di atas batu kerikil jelas tak pelak lagi menggelikan dan karenanya bukan arti kata‐kata Kristus sebenarnya.

Yesus menggunakan kata‐kata ini untuk mengungkap kebenaran yang Dia ingin sampaikan. Dia tidak mengidentifikasikan Petrus dengan batu karang; sebaliknya, Dia mengkontras Petrus dengan batu kerikil. Dia menunjukkan betapa kecil dan tidak signifikan batu kerikil, Petrus, dibanding dengan batu karang di mana gereja (jemaat Kristus) akan didirikan.

Akal sehat dan Alkitab sama mengonfirmasi fakta ini. Jika gereja Kristus dibangun di atas Rasul Petrus, pasti akan menjadi bangunan besar paling tidak aman dan tidak stabil di dunia. Di pasal Injil Matius sesudahnya, kita membaca Yesus dan penyaliban yang akan Dia alami. Dalam catatan selanjutnya, “Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: ‘Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali‐kali takkan menimpa Engkau.’ Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: ‘Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi‐Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia’” (Matius 16:22–23).

Di sini Kristus langsung menuduh Petrus dipengaruhi pendapat manusia, dan bahkan digerakkan hatinya oleh Iblis sendiri. Jadi, bagaimana bisa seorang seperti itu menjadi fondasi seluruh gereja Kristen?

Selain itu dalam Kitab Injil, kita membaca bahwa, alih‐alih mengakui Kristus di hadapan seorang pembantu, Petrus di depan umum malah menyangkal Tuhannya sebanyak tiga kali.

Bahkan sesudah Kebangkitan dan Hari Pentakosta, Paulus mengatakan bahwa Petrus mengalami ketakutan terhadap bangsanya, Israel, sehingga berkompromi pada satu titik mengenai kebenaran Injil (Galatia 2:11–14).

Sudah pasti Petrus bukan batu karang. Ia disukai, temperamental, tidak sabar, terburu nafsu, lahir sebagai pemimpin. Namun, seperti manusia lainnya, ia memiliki kelemahan sifat manusia. Satu‐satunya batu karang di mana iman Kristen bisa menjadi dasar di atasnya adalah Kristus sendiri.

Konfirmasi fakta vital ini juga ditemukan dalam Perjanjian Lama. Mazmur Daud, secara nubuatan diinspirasi oleh Roh Kudus, berkata, “Ya TUHAN, bukit batuku … perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!” (Mazmur 18:3).

Dalam Mazmur 62 Daud membuat pengakuan iman serupa. “Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah …. Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang …. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku; dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah” (Mazmur 62:2–3, 6–8).

Tidak ada yang lebih jelas dari itu. Kata “gunung batuku” terjadi tiga kali, dan kata “keselamatan” terjadi tiga kali. Ini menunjukkan, kata “gunung batu” dan “keselamatan” menurut Alkitab secara intim dan secara tak terpisahkan menjadi satu. Keduanya terdapat dalam satu pribadi, dan Pribadi itu adalah Tuhan sendiri. Ini ditekankan oleh pengulangan kata “hanya”.

Jika ada yang membutuhkan konfirmasi ini lebih jauh, kita bisa kembali ke kata‐kata Petrus sendiri. Berbicara kepada orang‐orang Israel mengenai Yesus, Petrus berkata, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia … sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12).

Tuhan Yesus Kristus, karenanya, adalah batu karang yang benar, gunung batu segala zaman, di mana ada keselamatan. Orang yang membangun di atas fondasi ini bisa berkata seperti Daud: “Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah” (Mazmur 62:3).

Lalu, bagaimana seorang membangun di atas batu karang yang adalah Kristus? Mari kita kembali lagi ke momen dramatis ketika Kristus dan Petrus berhadapan muka dengan muka dan Petrus berkata, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Matius 16:16). Kita sudah melihat Kristus adalah batu karang. Namun, bukan Kristus dalam isolasi atau abstraksi. Petrus memiliki pengalaman pribadi. Ada empat tahap dalam pengalaman ini.

Pertama, konfrontasi pribadi Petrus langsung dengan Kristus. Kristus dan Petrus berdiri muka dengan muka. Tidak ada perantara di antara mereka. Tidak ada manusia lain yang memainkan peran dalam pengalaman Petrus.

Kedua, pewahyuan atau pengungkapan pribadi langsung diberikan kepada Petrus. Yesus berkata kepada Petrus, “Sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa‐Ku yang di sorga” (Matius 16:17). Ini bukan hasil pemikiran alamiah atau pengertian intelektual, melainkan hasil pewahyuan spiritual langsung kepada Petrus oleh Allah Bapa sendiri.

Ketiga, pengakuan pribadi Petrus akan kebenaran yang sudah diwahyukan (diungkapkan) kepadanya.

Keempat, pengakuan umum dan terbuka Petrus yang ia akui. Dalam empat tahap ini kita melihat apa arti membangun di atas batu karang.

Tidak ada yang abstrak, intelektual, atau teoretis mengenainya. Setiap tahap melibatkan suatu pengalaman pribadi.

Tahap pertama adalah konfrontasi pribadi langsung dengan Kristus. Tahap kedua adalah pewahyuan spiritual langsung Kristus. Tahap ketiga adalah pengakuan pribadi Petrus. Tahap keempat adalah pengakuan pribadi dan terbuka Petrus.

Melalui empat pengalaman ini, Kristus menjadi batu karang (gunung batu keselamatan) bagi setiap orang percaya di mana imannya dibangun.

Pertanyaannya: apakah orang bisa mengenal Kristus hari ini langsung secara pribadi seperti Petrus mengenal Dia?

Jawabannya bisa, dengan dua alasan berikut:

Pertama, bukan Kristus dalam kodrat murni manusia‐Nya yang diwahyukan kepada Petrus; Petrus sudah mengenal Yesus dari Nazaret, sebagai anak tukang kayu. Pribadi yang diwahyukan kepada Petrus adalah ilahi, kekal, Anak Allah yang tidak berubah. Ini Kristus yang sama yang sekarang hidup dimuliakan di surga di sebelah kanan Bapa. Dalam waktu dua ribu tahun tidak ada perubahan pada Dia. Dia tetap Yesus Kristus, yang sama kemarin, hari ini, dan selamanya. Seperti Dia diwahyukan kepada Petrus, Dia masih bisa diwahyukan hari ini kepada kita yang tulus mencari Dia.

Kedua, pewahyuan tidak datang melalui “darah dan daging”—melalui cara fisikal atau pancaindra. Pewahyuan spiritual, kerja Roh Kudus. Roh yang sama yang memberikan pewahyuan kepada Petrus masih bekerja di seluruh dunia, mewahyukan Yesus yang sama. Yesus sendiri menjanjikan kepada murid‐murid‐Nya, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata‐kata dari diri‐Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar‐Nya itulah yang akan dikatakan‐Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal‐hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima‐Nya dari pada‐Ku” (Yohanes 16:13–14).

Karena pewahyuan spiritual ada dalam kekekalan, alam spiritual, tidak dibatasi oleh faktor‐faktor material atau fisikal, seperti ruang waktu atau perubahan bahasa, adat istiadat, atau lingkungan.

Pengalaman pribadi dengan Yesus Kristus Anak Allah—yang diwahyukan, dinyatakan, dan diakui melalui Roh Kudus—tetap batu karang yang tidak berubah, fondasi yang tidak goyah, dasar semua iman benar Kristen. Peraturan‐peraturan dan opini‐opini, gereja‐gereja, dan denominasi‐denominasi—semua ini mungkin berubah. Namun, batu karang keselamatan Allah melalui iman pribadi dalam Kristus tetap kekal dan tidak berubah. Di atasnya orang bisa membangun imannya dalam waktu dan kekekalan dengan suatu keyakinan bahwa tidak ada yang pernah bisa meruntuhkan.

Tidak ada yang lebih istimewa dalam tulisan‐tulisan dan kesaksian orang‐orang Kristen gereja awal daripada ketenangan dan keyakinan mengenai iman mereka dalam Kristus. Yesus berkata, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu‐satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yohanes 17:3).

Ini bukan hanya mengenal Allah secara umum melalui alam atau hati nurani sebagai Pencipta atau Hakim. Ini mengenal Dia yang diwahyukan secara pribadi dalam Yesus Kristus. Bukan mengenal tentang Yesus Kristus hanya sebagai figur sejarah atau guru besar, melainkan mengenal Kristus sendiri, secara langsung dan secara pribadi, dan Allah dalam Dia. Rasul Yohanes menulis, “Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal” (1 Yohanes 5:13).

Orang‐orang Kristen gereja awal bukan hanya percaya, melainkan juga tahu. Mereka memiliki pengalaman iman yang menghasilkan pengetahuan yang pasti dari apa yang mereka percaya.

Dalam pasal yang sama Yohanes menulis, “Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Allah telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yesus Kristus” (1 Yohanes 5:20).

Perhatikan kerendahhatian dan keyakinan kata‐kata mereka. Dasar mereka adalah pengenalan pribadi, dan Pribadi itu adalah Yesus Kristus sendiri. Paulus memberikan kesaksian pribadi, sama ketika ia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan‐Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 2:12).

Perhatikan bahwa Paulus tidak berkata, “Aku tahu apa yang aku percayai.” Dia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya.” Imannya tidak dibangun di atas peraturan atau gereja, melainkan di atas Pribadi yang ia kenal melalui pengenalan langsung—Yesus Kristus. Akibat hasil pengenalan pribadi dengan Kristus ini, ia memiliki keyakinan yang tenang mengenai kesejahteraan jiwanya, yang tidak bisa diruntuhkan dalam waktu dan kekekalan.

Nasihat dari Ayub, “Berlakulah ramah terhadap Dia (Allah), supaya engkau tenteram; dengan demikian engkau memperoleh keuntungan” (Ayub 22:21).

 

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply