Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Pertolongan di Setiap Persimpangan Jalan




eBahana.com – Berliana Renta Simangunsong: Kesulitan hidup mengajar Berliana Renta Simangunsong tak bosan berjuang. Berjalan berkilo-kilo meter, mendatangi rumah-rumah, mencari dan membeli pakaian bekas. Menjualnya kembali ke pasar Tanah Abang. Setelah 11 tahun, tiga tahun lalu, Renta memiliki 2 kios yang saban hari didatangi orang-orang yang bekerja seperti dirinya beberapa tahun lalu.

Sering peristiwa buruk datang tak terduga. Keadaan yang nyaman, aman tiba-tiba berubah menjadi sebaliknya. Setelah menikah tiga tahun, suami Renta, Samuel Lewerissa yang bekerja di bagian fire safety perusahaan minyak di Dumai tersandung PHK tanpa sebab yang jelas. Yang melakukan ketidakjujuran temannya, tapi suaminya terkena imbas. Oleh beberapa orang suami saya disuruh klarifikasi dan minta
maaf tapi dia enggak mau. Ia tak mau minta maaf untuk kesalahan yang tak dilakukannya. Keuangan keluarga kecil itu terguncang karena selama ini penghasilan Samuel lumayan besar. Renta tak bekerja.

Pindah ke Jakarta
Bermaksud mencari kehidupan yang baik, mereka pindah dari Pekanbaru ke Jakarta. Tinggal bersama kakak laki-laki dari Samuel, keadaan ekonominya lumayan baik. Oleh beberapa saudaranya, Samuel dicarikan pekerjaan tapi selalu saja tak betah.

Putus Asa
Menumpang di rumah ipar terlalu lama membuat batin Renta tersiksa. Perasaan tak enak, apa lagi tatkala anak-anak menangis, berisik atau tanpa sengaja menjatuhkan barang-barang pajangan. Setiap Renta minta pada Samuel keluar dari rumah itu selalu diakhiri dengan adu mulut.

Suatu sore, Renta dan Samuel bertengkar. Renta mengaku tak tahan dengan cara hidup seperti itu. Sampai kapan bergantung kepada orang lain? Renta makin kalut. “Malam itu aku ambil cairan pembasmi nyamuk dan ke kuburan Menteng Pulo yang tak jauh dari rumah ipar. Tanpa pikir panjang, aku menenggak obat nyamuk itu.”

Syukurlah jiwanya tertolong. Seorang yang mengenalinya, menemukan Renta pingsan. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Renta rawat inap selama tiga minggu. Kulit dan bibirnya mengelupas, pipinya terasa panas. “Aku minta ampun kepada Tuhan atas tindakan bodoh itu,” kenang wanita kelahiran 20 Juni 1969 ini.

Tekad Mandiri
Samuel masih enggan meninggalkan rumah itu. Namun, keinginan Renta untuk hidup mandiri makin kuat. “Satu kali ikut pembantu ipar saya ke rumahnya di daerah Manggarai. Rumah gubuk kecil. Dari situlah terdorong bekerja sekalipun jadi tukang cuci.”

Renta masih punya simpanan emas yang ia bawa dari Pekanbaru. Tekadnya bulat. Mengontrak rumah kecil di
daerah Pondok Kopi. Membuat warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Suaminya tak juga mau pindah dan tak boleh membawa anak-anaknya. Usaha Renta maju. Suami dan anak-anak tinggal bersamanya. Tak lama dagangannya bangkrut. Akibatnya suami membawa anak pergi lagi.

Renta menawarkan jasa cuci pakaian yang dikerjakannya di kontrakan dan berjualan dengan modal seadanya. “Beli mie instan dua bungkus, obat nyamuk. Lalu aku juga jualan minyak tanah. Keadaan mulai membaik. Suami dan anak-anak datang lagi. Karena sakit komplikasi di usus, ginjal, dan liver, suaminya meninggal, seminggu setelah operasi.”

Renta terpikir pulang kampung ke Tarutung. Kakak dan adik Samuel tidak setuju. “Mereka bilang, tetaplah di Jakarta, mereka akan membantu membiayai hidup sehari-hari dan sekolah anak-anak kami,” kata Renta.

Dagangan habis. Renta mengajak lima anaknya ke rumah kakak dan adik Samuel di daerah Cijantung. Satu anaknya waktu itu sedang tidak di rumah. “Aku pinjam uang tujuh ribu rupiah pada tetangga. Kami naik bus. Saat itu kami belum makan. Kubilang nanti makan di rumah om dan tante. Rumah mereka berdekatan.
Di bus kusuruh anak-anak berdiri biar mengurangi ongkos.”

Tapi apa yang terjadi jauh dari harapan. Lima keluarga yang mereka datangi tak ada satupun yang menawari mereka makan dan memberi uang. Renta pun tak berani minta apalagi menagih janji bantuan. “Kami pamit. Uang di tanganku tinggal dua ribu rupiah. Kami berjalan melewati jembatan Kali Sari. Air mataku terus jatuh, anak-anak mengeluh lapar. Kuajak kelima anakku berhenti. Kupandangi sungai. Terbersit menyeburkan diri bersama lima anakku. Namun, terdengar suara yang mencegah tindakan nekat itu. Aku ingat Tuhan.”

Bus penuh. Mereka semua berdiri. Anak-anak minta makan, “Ma …makan… lapar…”. Renta menangis sesenggukan. Penumpang mulai turun, seorang ibu paruh baya menawari duduk di sebelahnya dan bertanya, “Kenapa kamu menangis?” Renta bercerita. “Sudah, kamu jangan menangis. Di sinilah kita dipertemukan Tuhan. Saya juga bingung kenapa naik bus ini. Seharusnya saya naik taksi. Saya bawa uang pembayaran rumah
saya yang dikontrak sama orang asing. Percaya saja kamu sama Tuhan, Dia pasti menolongmu,” kata wanita tadi.

Oleh ibu tersebut, seingat Renta namanya Ibu Sitorus, mereka turun di Metropolitan Mall Bekasi. Mereka diajak makan sampai kenyang. “Kami diberi uang taksi untuk pulang dan uang Rp. 300.000. Seperti mimpi.”

Baju Bekas
Uang pemberian menjadi modal usaha Renta. Ia mencari baju bekas dari rumah ke rumah. Jalan kaki ke perkampungan di Jakarta sampai daerah Puncak. Setelah baju didapat jam dua pagi dini hari, baju itu dijual ke Pasar Tanah Abang. Dari usaha itu anak-anak bisa sekolah dengan baik.

Banyak kenangan selama menjalani usaha baju. “Tahun 2007, aku mencari baju. Melewati pepohonan. Aku bertemu seorang ibu yang mengatakan kalau ada jalan pintas tapi aku harus melewati jalan gantung yang sangat sempit. Berani kamu? Tanya ibu tadi. Ya, Tuhan, bagaimana aku bisa melewati ini? Barang ini enggak
mungkin ditinggal, karena inilah yang kucari seharian. Sambil melangkah aku bernyanyi lagu yang kata-katanya begini “Tuhan Yesus setia, Dia sahabat kita, Dalam segala susahku selalu menghiburku, Dia mengerti bahasa, tetesan air mata.” Tak sadar aku telah melewati jembatan itu. Sepanjang perjalanan itu air mataku menetes. Aku berdoa untuk kendaraan. Malam sangat sepi. Tiba-tiba ada mobil bak mengangkut kambing. Mereka mengizinkan aku naik meskipun harus bareng kambing. Tuhan itu baik banget.”

Ia bertemu Bu Haji, langganannya sedang di warung membeli sabun. “Tante enggak ingat, belum lama baru ambil baju dari saya? Tapi kalau popok sih ada, mau?” kata Bu Haji. Renta menerima tawaran. “Nah, itu lemari belakang bongkar saja,” kata Pak Haji saat melihat Renta.

Ketika dibongkar banyak baju-baju batik bagus, masih baru, beberapa malah belum dipakai diserahkan kepada Renta. Bagaimana bayarnya? Pikir Renta. Tak lama anaknya Pak Haji datang, juga membongkar lemarinya. Dua karung Renta penuh. “Aku tanya, Bu Haji, berapa ini harus kukasih uang? Dia jawab, oh, enggak usah, Tante. Pakai saja uangmu untuk ongkosmu! “

Esok paginya pakaian itu laku tujuh ratus ribu rupiah. Uang itu dipakai Renta untuk membayar kontrakan dan biaya sekolah.

Tiga tahun lalu Renta membeli dua kios seharga Rp 60 juta. Kini ia menampung pakaian bekas dari orang-orang yang bekerja seperti dirinya di waktu lalu. Pembeli berdatangan dari Lampung dan Jawa Tengah. “Saya bersyukur atas pertolongan Tuhan. Anak-anak semua sekolah bahkan sudah ada yang bekerja. Tuhan tidak pernah meninggalkan kami,“ saksi ibu dari Jemy, Maria Yance, Yurike, Welli, dan Silviana ini. Niken Maria
Simarmata



Leave a Reply