Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Arogansi ‘Sang Jendral’ Gereja




eBahana.com – Dalam kamus bahasa Indonesia kata arogan memiliki arti perasaan/sifat superioritas seseorang yang suka memaksakan kehendak. Kamus Oxford Dictionary memberi pengertian arogan adalah karakter/perilaku seseorang yang merasa dirinya lebih penting dari orang lain sehingga ia bisa berlaku apapun tanpa pertimbangan. Arogansi pada umumnya terjadi di dunia sekuler. Maksud dari sekuler adalah segala kegiatan yang bersifat kebendaan/duniawi. Suatu kegiatan, apakah disebut sekuler atau pelayanan, tidak tergantung dari jenis kegiatannya, tetapi tergantung dari alasan dibalik kegiatan itu. Dari penjelasan kata Arogan itu, kita merasa ada sesuatu yang janggal, apa iya Arogan yang harusnya terjadi di dunia sekuler justru juga terjadi dalam dunia pelayanan. Kok pelayan gereja bisa arogan? Apa benar seorang pelayan Tuhan bisa arogan? Mungkin ada beberapa pertanyaan lain mengenai hal ini.

Jujur! Secara realita kehidupan bergereja, sudah bukan rahasia lagi, bahwa ada sebagian dari mereka yang menamakan dirinya pelayan Tuhan, namun bersikap arogan. Mau menang sendiri, merasa diri paling suci, tidak mengindahkan saran orang lain, apalagi kalau saran itu datang dari orang yang tidak berduit, ucapan mereka ibarat pepesan kosong belaka. Dunia pelayanan memiliki sisi lain yang gelap baik dalam dan luar negeri banyak kasus yang menyeret pelayanan gereja setempat ke ranah hukum. Beberapa kasus di Indonesia dimana pendeta memiliki kuasa penuh, arogan, otoriter, malah banyak kita jumpai pendeta yang korup uang gereja, pendeta yang menjual tanah gereja, malah yang lebih sadis lagi pendeta mencabuli jemaat. Edan benar kan. Kasus-kasus yang kita lihat ini wara-wiri melalui media-media yang ada terdengar di telinga kita. Saya berpendapat bahwa itu murni adalah masalah pendeta bukan jemaat. Jika pendeta berhati besar dan bijaksana seharusnya bisa mempersatukan jemaat. Lagi pula apa sih yang dikejar? Kekuasaankah? Market share (jemaat) kah? Ya beginilah para pendeta sekarang berwatak politik untuk meraih kekuasaan dengan cara-cara pengusaha. Anda tahu strategi marketing bukan? Salah satunya mouth to mouth marketing, begitulah pendeta sekarang ini, mempromosikan diri sendiri, bukannya memberitakan kabar baik, bahkan banyak juga pendeta membuka usahanya dan menjadikan mimbar sebagai alat promosi.

Menurut hemat penulis ada beberapa aspek yang mencolok sehingga membuat “sang jendral“ berubah sikap dan sifat menjadi arogan.

1. Aspek Kekuasaan
Ketika gereja masih kecil, dengan jumlah jemaat belasan orang. Sangat mudah bagi Sang Jendral berkata bahwa gerejanya adalah milik Tuhan. Ini ungkapan klise yang sering terdengar telinga. Secara gamblang Sang Jendral berkata bahwa dirinya sebagai bagian dari teokrasi artinya gerejanya berada dalam kedaulatan dan pemerintahan Allah. Tetapi ketika gereja mulai tumbuh, semakin besar dan berkembang dengan jumlah jemaat ribuan orang dan memiliki aset milyaran rupiah, masihkah Sang Jendral berkata bahwa semuanya milik Tuhan?. Bilakah seandainya Tuhan berfirman kepadanya untuk meninggalkan semua itu dan pergi ke pedalaman papua, bisakah ia menerima panggilan itu dengan tulus? Pasti sulit. Tetapi apabila Sang Jendral ini adalah pelayan Tuhan yang memahami arti teokrasi yang sesungguhnya, ia pasti akan melakukan apa saja yang Tuhan ingin ia lakukan. Dalam kondisi gereja besar dan kapasitas jemaat yang ribuan, memiliki cabang pelayanan di berbadai tempat, bagaikan konglomerasi, maka ada potensi kecenderungan theokrasinya berubah menjadi “pendetakrasi”, sebuah kerajaan (gereja) milik dan dalam kedaulatan ‘Sang Jendral;Gereja. Tentu sebagai pemilik kerajaan, Sang Jendral harus mengamankan kedudukannya. Karena itu, tidak heran bila staf yang diangkatnya pun adalah orang-orang yang dekat dengan dia. Orang-orang yang se-roh dengannya. Kemana ia pergi, seolah-olah ada pengawal pribadi yang menyertainya.

Kondisi ini sangat tidak berbeda dengan kehidupan dunia sekuler pada umumnya. Sang Jendral merasa punya kuasa mutlak untuk memutuskan segala sesuatu dalam jemaatnya. Pelayan Tuhan yang benar, tidak bossy (berlagak seperti seorang bos) kerendahan hati dan kesabarannya, akan terasa kental dalam keseharian hidupnya. Ia akan menyimak sungguh-sungguh saran, ide dan masukan meskipun dari seseorang yang tidak terpandang atau dari pendeta-pendeta perintis yang masih kecil. Sikap seperti ini sudah langka, untuk bertemu dengan Sang Jendral sudah sangat susah, hampir sama susahnya untuk bertemu pejabat pemerintah. Suara-suara dari kalangan jemaat dan pendeta, gereja kecil hanya pelengkap untuk sebatas didengar telinga saja. Layaknya dunia politik, dinasti dalam berorganisasi juga kental dengan aroma nepotisme. Bila seseorang berasal dari kalangan jendral-jendral senior maka dengan cepat respon dan penempatan promosi yang dibungkus dengan baik. sekalipun secara bibit, bebet dan bobot anak sang jendral senior tidak mumpuni tetap dinasti itu akan tetap berkelanjutan. Sementara nasib para jendral-jendral kecil, sekalipun punya kapasitas dan kualitas bila tak pandai memutar lidah maka tidak ada akses untuk promosi jabatan atau pelayanan. Tidak jarang gereja bergerak lambat, gereja mengarah dalam pembangunan kerajaan pribadi Sang Jendral.

2. Aspek Materi
Tidak dapat dipungkiri, aspek materi punya tempat dan peranan penting dalam dunia pelayanan. Sesuai hukum ekonomi, semakin banyak permintaan, semakin tinggi tarifnya. Dengan kemampuan berbicara, berbekal teologi dan pengetahuan umum disertai dengan penguasaan sedikit psikologi massa, maka Sang Jendral akan akan menjadi pengkhotbah yang digemari umat. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia dikalangan jemaat dan gereja, bila seseorang menginginkan pengkhotbah anu, tarifnya adalah sekian juta rupiah, plus transportasi dan akomodasi. Ajang bisnis yang berkedok pelayanan. Tragis! Jangan heran bila ada pengkhotbah yang tidak bersedia melayani di panti-panti jompo, pelosok-pelosok desa, komunitas kecil, penjara atau di pelayanan tunawisma.

Untuk mencapai tujuan memperoleh kekuasaan dan materi beberapa hamba Tuhan tidak segan-segan untuk “membeli” gelar akademik, dengan biaya puluhan juta rupiah yang penting mereka bisa memperoleh gelar yang mereka inginkan guna menambah nilai lebih dari Sang Jendral. Arogansi dalam aspek materi ini akan berlangsung terus menerus selama pelayanan berkedok sekulerisme. Gedung gereja yang besar dan jumlah jemaat ribuan tentu akan menghasilkan keuntungan keuangan yang besar pula. Sang Jendral menikmati kenyamanan ini, menimbun dan memperkaya diri dan keturunan dengan aset-aset yang tidak terlihat. Arah dari kegunaan materi ini bukan untuk sarana mendukung pekerjaan Tuhan akan lebih maju dan berkembang tetapi menjadi kekayaan pribadi. Tidak heran yang merintis akan tetap merintis yang kaya akan bertambah kaya. Yang miskin dianggap kurang doa dan puasa. Yang kaya menganggap paling benar karena diberkati.

Arogansi aspek materi akan terlihat jelas manakala ada jemaat yang berkorban, mendukung gereja lain dianggap tidak beretika dan tidak taat kepada Sang Jendral, tanpa melihat arah dan tujuan untuk pekerjaan Tuhan. Sang Jendral menjadi marah dan merasa tidak dihargai. Hal ini menimbulkan ketakutan untuk bergerak dan berdampak diluar gereja lokal. Bila ada hal-hal yang mengancam, mengusik kepemilikannya, maka Sang Jendral cenderung akan memproteksi diri. Seorang Pelayan Tuhan harus menyadari betul bahwa semua yang ada padanya adalah milik Tuhan dan untuk kemuliaan Pekerjaan Tuhan. Kita tidak akan menerima apapun kalau kita tidak menerimanya dari Tuhan. Tuhan yang memberi dan mempercayakannya kepada kita untuk dikelola bagi kebutuhan-Nya. Kita tidak punya hak untuk bermegah dalam hal materi dan menjadi arogan hanya oleh dan untuk masalah materi ini. Alkitab berkata dalam Roma 11:36. Sebab Segala Sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan ditunjukkan kepada Dia: Bagi Dialah Kemuliaan Sampai selama-lamanya! Sebab, segala sesuatu berasal dari Dia, dan oleh Dia, dan untuk Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Melalui artikel ini, mari kita melakukan perenungan, biarlah kita benar-benar menjadi seorang Hamba, Doulos, tanpa embel-embel dan motivasi lain. Yang kita tonjolkan adalah Tuhan dan perbuatan-Nya, bukan kita. Dengan demikian kita bisa sungguh-sungguh menghayati ucapan Yohanes Pembaptis; “Aku harus semakin berkurang dan IA harus semakin bertambah”. Jangan kita memberi peluang mencintai diri sendiri yang pada akhirnya akan membuat kita bersikap arogan. Arogan akan menciptakan dan melahirkan arogan juga. Artikel ini tidak bermaksud menghakimi Sang Jendral Gereja (pendeta) hanya sekedar mengungkapkan fakta dan opini. Ada diantara umat yang berpindah gereja karena mengalami dan melihat sikap arogansi “Sang Jendral“. Tidak sedikit diantaranya yang pada akhirnya tidak bergereja lagi karena melihat “kesekuleran” gereja yang lebih jahat daripada dunia sekuler pada umumnya. Sisa waktu menjelang kedatangan Yesus yang kedua. Kita gunakan untuk memperbaiki sikap dan sifat kita (bertobat). Menjadikan jemaat menjadi gereja (organisme) yang sebenarnya. Mendidik jemaat menjadi anggota tubuh Kristus. Obyek pelayanan kita adalah umat Tuhan, pemimpin gereja adalah pelayan umat bukan penguasa, bukan pula konglomerat.

Siapa lagi yang kita teladani selain Sang Majikan Agung, Tuhan Yesus sendiri yang berkata “…Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” Seandainya Tuhan hidup di zaman kita ini, lalu ia harus melayani di suatu gereja, apakah Ia akan mengendarai Mercy, BMW, ALPHARD, memakai cincin emas, sepatu super mahal, jepit dasi berlian? Pasti tidak! Jangan lagi bertanya boleh atau tidak, tetapi kita renungkan dengan sungguh dari segi kepatutan, patut atau tidakkah kita memakai aksesoris yang mewah sementara sebagian besar jemaat dan hamba Tuhan lain masih hidup serba kekurangan. Kita patut bersyukur, ditengah situasi gereja yang seperti ini, masih ada jendral-jendral gereja yang melayani tanpa kepentingan pribadi.

Kepentingannya hanya Kerajaan Allah. Teduh hati ini, masih ada jendral-jendral gereja yang rela merogoh kocek sendiri untuk mendukung pelayanan di mana-mana. Puji Tuhan. Kepada jemaat awam yang membaca artikel ini, jangan menjadi tidak bergereja karena adanya arogansi dari pimpinanmu. Cari dan temukanlah gereja dengan kepemimpinan sebagai pelayan Tuhan yang benar maka Tuhan pasti akan menolong. Doakan pemimpinmu dukung dalam pekerjaan kepentingan Tuhan. Pada akhirnya, semoga judul artikel ini hanya tetap sebagai judul dan tinggal dalam artikel ini. Tidak menjadi realita dalam dunia pelayanan yang sebenarnya.

Oleh Pdt. Wijaya Naibaho B.Thm, Gembala GPdI “Alhayat“, Desa Lubuk Ogung, Kec. Bandar Seikijang-Kab. Pelalawan.



Leave a Reply