Darah dari Celah Pagar Bambu
eBahana.com – Pdt. Matius Sugiyanto, S.Th lahir di Semarang. Mulanya, ia sangat membenci kekristenan. Maklum, ia tidak dilahirkan di Tengah keluarga kristiani. Namun, kebencian itu berubah menjadi cinta tatkala secara pribadi bertemu dengan sang Juruselamat. Bagaimana ia bisa bertemu dengan Juruselamat?
Perjalanan hidup Pdt. Matius Sugiyanto cukup berliku. Ia lahir dan dibesarkan di Semarang. Sempat menjadi
pelayan terpandang pada keyakinan sebelumnya. Dari Semarang (SAT), terus ke Kopeng, Salatiga lantas melayani, kemudian ke Sekolah Alkitab Tawangmangu, merintis jemaat di beberapa tempat dan kini melayani di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Karangpandan.
Pencarian akan Tuhan dan kebenaran-Nya berawal dari kebencian. Dalam kebencian masih tersimpan perasaan ingin tahu. “Ada apa dengan kekristenan itu,” gumamnya. Celah-celah pagar bambu menjadi saksi bisu kebencian sekaligus keingintahuannya tentang Kristus. Tiap malam Rabu, di sebuah tempat tidak jauh dari kediamannya, diam-diam Sugiyanto muda mengintip kegiatan persekutuan kristiani itu. Orang-orang yang berbakti tidak tahu kalau sepasang mata dari celah pagar bambu sedang mengamati kegiatan mereka. Hingga pada suatu kali ia tersentak. Pada kebaktian Rabu malam itu, Pdt. Barnabas dari Kopeng mengajarkan tentang darah. Tema ini dikaitkannya dengan darah Kristus yang tercurah bagi penebusan dosa manusia.
Rupanya tema ini cukup menarik perhatian Sugiyanto yang energik dan muda. Selesai ibadah malam itu, ia memutuskan untuk mengintip lagi Rabu malam pada minggu yang akan datang. Rabu malam minggu depan ia datang dan mengintip lagi. Apa yang terjadi kemudian? Pada saat itu, tanpa komando, ia memutuskan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sebuah keputusan yang tergolong berani. Namun, keputusannya itu bukan tanpa risiko. Ia diusir dari keluarga. Mereka marah dengan keputusannya tersebut.
Akibatnya, ia meninggalkan Kota Semarang. Ia ke Kopeng, sebuah daerah yang tak terlalu jauh dari Kota Lumpia tersebut. Di sana ia bertemu dengan Pdt. Barnabas dan sempat ikut melayani bersama selama beberapa saat. Namun, ia merasa kurang nyaman karena terlalu dekat dengan Semarang. Namun, ada keyakinan yang kuat untuk melayani Tuhan.
Sekolah Alkitab Tawangmangu
Bagaimana caranya melayani Tuhan? Pertanyaan ini merasuk pikiran hamba Tuhan muda tersebut. Karena itulah pada tahun 1970, ia memutuskan masuk ke Sekolah Alkitab Tawangmangu (sekarang Sekolah Tinggi Teologi Tawangmangu). Di sekolah itu pembentukan demi pembentukan terjadi. Namun, ia terus menaklukkan diri di bawah kuasa Tuhan. Keinginan hati yang terdalam ingin mendapatkan ilmu sebagai bekal untuk melayani pekerjaan-Nya.
Waktu terus berlalu. Satu tahun telah dilewati. Kini saatnya praktik pelayanan. Dari Sekolah Alkitab Tawangmangu (SAT), Sugiyanto dan istri mulai merintis pelayanan di Matesih, sebuah daerah yang tidak terlalu jauh dari Tawangmangu. Oleh anugerah Tuhan, ia berhasil membuka sembilan pos pelayanan. Setiap hari ia dan istri sibuk melayani di pos-pos yang ada. Tidak kurang dari 250 orang yang berhasil dibawa kepada Tuhan.
Semangat belajar terus membara. Karena itu pada tahun 1972 ia kembali ke Sekolah Alkitab Tawangmangu. Di sana ia kembali melanjutkan pendidikan. Pelayanan yang sudah dirintis diserahkan kepada hamba Tuhan lain untuk dilanjutkan.
Kerinduan untuk kembali ke SAT itu tidak berjalan mulus. Setelah berhasil merintis sidang , seorang hamba Tuhan mengatakan buat apa kembali ke sekolah? Bukankah kamu ini telah dipakai Tuhan dalam pelayanan? Namun, tekad yang kuat untuk menambah ilmu makin membara. Suami Elisabeth Chornelia ini tetap kokoh pada pendiriannya. Ia ingin memperdalam pemahamannya atas firman Tuhan. Karena itu, tetap kembali ke sekolah dan belajar lagi.
Sebuah Babak Baru
Pada 11 November 1973 merupakan babak baru dalam pelayanan Pdt. Matius Sugiyanto. Bermodalkan penyerahan diri dan iman kepada Tuhan, ia memulai babak baru pelayanan. Hamba Tuhan ini memulai ibadah di Karangpandan. Di daerah itu memang belum ada jemaat. Namun, ia memulai dengan iman.
Memulai pelayanan di daerah tidaklah mudah. Untuk mendapatkan orang yang mau percaya kepada Tuhan tentu banyak pergumulan. Tidak segampang membalik telapak tangan. Hanya keajaiban dari Tuhanlah yang memungkinkan semua itu. Pernah suatu kali, seorang Bapak yang punya menantu dan cucu yang banyak, ia
meminta Pdt. Matius Sugiyanto datang ke rumahnya. Di rumah itu berdoa. Di desa Nduro tersebut hamba-Nya mendoakan anak-anak dan cucu-cucu bapak tersebut. Roh Kudus pun bekerja. Tidak kurang dari 10 orang menyerahkan diri kepada Tuhan. Ada pula tetangga-tetangga yang percaya kepada sang Juruselamat. Puji Tuhan!
Tidak jarang pula Tuhan menambahkan jemaat di sini melalui kebaktian-kebaktian istimewa. Kebaktian-kebaktian itu misalnya, Natal. Tuhan sering memakai kebaktian Natal untuk menambahkan bilangan orang-orang yang percaya.
Anak-anak kecil pun Tuhan kirimkan. Anak-anak tersebut dididik melalui Sekolah Minggu. Mereka bertumbuh
dalam iman dan akhirnya menjadi anggota jemaat. Walaupun, begitu jadi, mereka pergi ke kota untuk belajar
ataupun bekerja. Namun, paling tidak kami sudah membekali mereka dalam iman dan pengharapan kepada Tuhan.
MIMPI
Memulai pelayanan di GBIS Karangpandang penuh dinamika. Sebelum membangun gereja ini, Tuhan
memberikan mimpi yang sama kepada Pdt. Matius Sugiyanto dan istri. Dalam mimpi, Tuhan memberikan penglihatan bangunan gereja dengan cat kuning tapi salib hitam. Mereka berdua meyakini bahwa mimpi itu berasal dari Tuhan. Keduanya belajar dari Alkitab, Tuhan bisa berbicara kepada umat-Nya melalui mimpi.
Penglihatan melalui mimpi itu meneguhkan untuk terus melayani di Karangpandan ini. Kami menganggap itu
sebagai peneguhan dari Tuhan. Sebuah peneguhan agar mereka setia melayani di daerah ini.
Mimpi tersebut tidak serta merta membuat pelayanan bebas tantangan. Mengalami masa-masa sukar sering terjadi. Karena kesulitan itu, setidaknya empat kali pernah berniat meninggalkan Karangpandan. Ada tawaran pelayanan di beberapa kota. Secara manusia cukup menjanjikan. Ada fasilitas ini dan itu. Namun, begitu niat itu muncul, Tuhan mengingatkan pada penglihatan dalam mimpi tersebut di atas. Maka, Pdt. Matius Sugiyanto berkesimpulan bahwa Tuhan tidak menghendaki untuk meninggalkan pelayanan di Karangpandan ini.
Kesulitan secara ekonomi seringkali mendera. Karena itu hamba Tuhan ini mencari nafkah dengan berdagang.
Jualan batik dari Solo ke Kota Semarang. Dengan uang yang didapat dari berjualan itu bisa menopang
kehidupan dan pelayanan. Seringkali juga, dalam keterbatasan mereka berbagi dengan rekan-rekan hamba
Tuhan yang sangat membutuhkan. Kini, jualan itu dihentikan karena batik Solo kalah dengan Pekalongan dan batik-batik import dari RRC. Walau demikian, Tuhan memelihara dengan caranya yang ajaib. “Kami sangat bersukacita melihat sekitar 300 orang jemaat yang Tuhan percayakan dalam penggembalaan kami.” Terpujilah Tuhan!
Ditulis berdasarkan penuturan Pdt. Matius Sugiyanto, S.Th kepada Luce dan Leni. Pdt. Matius Sugiyanto, S.Th adalah Gembala Sidang Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Jemaat El-Shaddai Karangpandan, Jawa Tengah.