Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

PESAN TEGAS LUHUT: JANGAN JADI FANATIK




Jakarta, eBahana.com

Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Nasional yang juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menjawab pertanyaan kenapa dirinya selalu ditunjuk dan ditugaskan oleh Presiden Joko Widodo untuk memimpin penyelesaian sebuah persoalan. Terutama menjadi pemimpin dalam mengatasi masalah yang betul-betul genting dan perlu diselesaikan.

Seperti yang diketahui, saat menjabat Menteri Koordinator, Luhut juga kerap menggantikan posisi menteri yang kosong karena berbagai persoalan. Usai menjadi Kepala Staf Kepresidenan, Luhut sempat menjabat posisi Menkopolhukam sekitar satu tahun. Kemudian, ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang kini berubah nama menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Saat mengisi jabatan itu, Luhut juga pernah ditunjuk mengisi Plt Menteri ESDM. Luhut juga pernah menjabat Menteri Perhubungan Ad Interim hingga Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim. Bahkan Luhut pernah mengatakan bahwa pada 2024 nanti, Jenderal TNI yang kini sudah berusia 73 tahun itu mengaku tak mau lagi menjadi menteri.

“2024 saya enggak mau, 77 tahun saya kalau dikasih umur panjang,” tegas Luhut.⠀

Tentu ada banyak pertimbangan ketika seseorang memutuskan totalitas menjalankan peran dan tugasnya dalam mempertanggungjawabkan jabatan demi bangsa dan negara. Apalagi di masa pandemi, amat susah mengutus orang yang mau berkomitmen sungguh menjalankan fungsinya dengan tidak mengeluh. Kesaksian Luhut berikut bisa menjadi gambaran kita dalam kwajiban mengusahakan dan mengutamakan kesejahteraan orang banyak di tengah kesulitan-kesulitan pandemi. Tuhan memberkati.

FENOMENA KESOMBONGAN ROHANI

“Pendeta-pendeta memang banyak bergumul dalam doa. Kalau doanya berhasil kadang timbul kesombongan rohani. Kadang pula merasa tenar karena bisa mendengar bisikan Tuhan atau Roh Kudus, padahal dia lupa dia juga manusia.”

Ungkapan ini saya dapat dari Pendeta Katipana saat masih bertugas di Korps Baret Merah (sekarang Kopassus) beberapa puluh tahun lalu. Waktu itu, saya ingin meminta doa kepada dia. Tapi sepertinya dia ingin menceritakan bagian pengalamannya tersebut sebelum saya didoakan.

Bagi saya, makna dari ungkapan tersebut sungguh mendalam. Bahkan ketika Pendeta Katipana sudah berpulang ke rumah Bapa di surga, saya masih ingat pesan beliau itu. Saya juga tidak lupa ketika kami pernah bersama-sama di Timor-Timur.

Sebenarnya, kesombongan rohani ini tidak hanya terjadi dalam cerita Pendeta Katipana. Kesombongan rohani kini mulai terjadi pada kita maupun orang-orang di sekeliling kita. Menurut saya, pendeta atau tokoh agama manapun harus berbicara kebenaran. Tapi jangan sampai muncul kesombongan.

Saya pernah diundang ceramah di sebuah gereja di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam kesempatan tersebut, mereka ingin tahu prediksi saya waktu itu tentang hasil Pilpres 2014. Saya jabarkan survei-survei yang ada. Saya bilang, dari angka-angka itu peluang Joko Widodo lebih besar dari Prabowo Subianto.

Lantas seorang pendeta tiba-tiba berdiri dan menyela dengan nada tinggi. Dia bilang, “Karena tadi Jenderal Luhut sudah sebut Jokowi, saya sudah mendapat nubuat. Saya dukung Prabowo dan Prabowo akan jadi presiden.”

Saya yang waktu itu berada di podium agak terkejut. Saya pikir apa yang dikatakan pendeta itu sudah terlampau jauh. Kemudian, saya kisahkan kepada pendeta itu pesan dari Pendeta Katipana, lalu saya berkata, “Saya takut kesombongan rohani hinggap pada Bapak. Saya sering berdoa untuk diri saya dan orang lain. Dan saya tahu Tuhan juga dengar doa saya.”

Apa yang sudah saya lalui selama 67 tahun dalam hidup saya sampai hari ini selalu saya syukuri. Kalau tidak, mungkin saya sudah mati dalam peperangan di Timor-Timur. Itu doa saya. Karena saya juga manusia biasa.

Saya katakan pada pendeta itu, “Bapak pendeta nanti kita lihat (setelah Pilpres) apakah doa saya atau bapak yang dikabulkan?

Kita semua tahu, doa siapa yang akhirnya dikabulkan oleh Tuhan, yaitu doa dari rakyat biasa yang menginginkan seorang pemimpin yang jujur dan sederhana.

Jadi pesan saya waktu itu, jangan sampai jadi fanatik. Jangan mempermudah atau mengatasnamakan nubuat dan bisikan Tuhan yang menurut saya tidak sesederhana itu. Tuhan tidak berpolitik. Saya dididik oleh keluarga saya hormat pada pendeta. Kami mengirim pendeta dari yayasan untuk mengambil pendidikan doktor. Tapi tangan kiri tak perlu tahu apa yang tangan kanan perbuat.

Di HKBP – gereja saya, saya paham dan melihat hal serupa. Kalau jemaat marah-marah terhadap gereja, saya tidak setuju. Jemaat juga harus berkontribusi kepada gereja untuk membantu pendeta. Sebab, saya sadar menjadi pendeta itu luar biasa sulit dan terhormatnya. Saya jujur, saya tidak sanggup karena saya tidak mau berbohong.

Untuk itu, setiap pendeta harus memiliki jiwa kepemimpinan. Setiap pendeta yang merupakan pemimpin dalam gereja harus menjadi contoh bagi jemaatnya. Selain itu, jika kita terus berdoa kapanpun tanpa berusaha, Tuhan pasti tidak akan bantu kita. Jangan bertanya, kenapa kita miskin terus? Kita tidak bisa hanya berdoa saja, tapi berdoa dan bekerjalah dalam menghadapi masalah.

Saya yakin pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK nanti adil dan lebih memperhatikan semua rumah ibadah. Gereja juga harus dibantu. Sebab, tanggung jawab gereja besar. Dan kita sebaliknya turut membantu mensosialisasikan program pemerintah kepada jemaat kita.

[Dbs]

Leave a Reply