Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Yunus




Kitab Yunus unik dibandingkan kitab-kitab nabi lain. Dia sendiri tidak seperti sosok nabi biasanya yang sering
berbicara di muka orang banyak, menjadi jurubicara Tuhan, mengkritik penguasa, mencela dosa, atau meneguhkan janji Tuhan. Yunus hanya satu kali tercatat menyampaikan firman Allah kepada penduduk Niniwe, “Empat puluh hari lagi, Niniwe akan hancur!” (Yun. 3:4). Niniwe adalah ibu kota kerajaan kuno Asyur. Kota itu kini letaknya di barat laut Baghdad (Irak), dekat Sungai Tigris. Kejahatan Niniwe digambarkan Nabi Nahum (Nah. 3:1-4). Di saat jayanya, Kerajaan Asyur ditakuti sekaligus dibenci banyak bangsa, termasuk Israel. Kekejamannya dalam perang terkenal.

Yunus memang banyak bicara tetapi bukan dalam konteks bernubuat. Awalnya ia menolak penugasan Tuhan
untuk menyampaikan berita pertobatan kepada penduduk Niniwe. Ia pergi ke arah yang berlawanan dengan kota itu, ke Tarsis yang mungkin identik dengan kota pelabuhan Tartessus di pantai barat Spanyol. Tarsis mewakili tempat yang berlawanan dengan Niniwe, di ujung dunia paling barat.

Yunus tidak mau penduduk Niniwe bertobat. Ia lebih senang kota itu dihukum Tuhan. Herannya, Tuhan mau memakai nabi bermasalah seperti itu. Yunus lupa, bahwa TUHAN dalam kedaulatan-Nya menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai bagian dari umat-Nya. “Diberkatilah Mesir umat-Ku, Asyur buatan tangan-Ku, dan Israel milik pusaka-Ku” (Yes. 19:25). Tuhan tidak hanya berurusan dengan Israel. Dengan mengutus Yunus ke
Niniwe, tampak kasih Tuhan tidak hanya kepada Israel tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain, bahkan musuh besar Israel. Yunus tidak berhak membatasi kasih Allah, sebab Tuhan yang memilih Israel adalah Tuhan bangsa-bangsa.

Dalam dialog dengan pelaut di kapal, Yunus diinterogasi bak pesakitan. Setelah melalui pengalaman mengerikan ditelan ikan besar, akhirnya nabi itu pergi juga ke Niniwe. Ia kapok. Ternyata kekhawatiran Yunus benar. Penduduk Niniwe bertobat dan Tuhan batal menghukum mereka. Relasi Tuhan dengan Niniwe berubah, dari yang tadinya menghukum kini tidak menghukum. Itulah arti Tuhan menyesal, bukan dalam
arti merasa bersalah karena sudah melakukan sesuatu yang tidak baik karena kurang perhitungan. Tuhan yang Mahatahu tidak akan menyesal seperti itu. Bahasa antropomorfisme itu menggambarkan perubahan relasi Tuhan. Terakhir kali, tampak Yunus sedang kesal kepada Tuhan. Begitu kesalnya, sampai ia ingin mati. Ia tidak senang dengan keputusan Tuhan membatalkan hukuman atas Niniwe. Tuhan dua kali menegur sikap Yunus itu dengan pertanyaan yang sama, “Layakkah engkau marah?” (4:4,9).

Pertama kali Yunus marah kepada Tuhan yang telah mengampuni Niniwe. Teguran Tuhan dalam bentuk pertanyaan itu tidak direspons Yunus. Kali kedua, Yunus marah kepada Tuhan karena pohon tempatnya berteduh dari panas terik mendadak dibuat layu sehingga ia kehilangan tempat berteduh yang nyaman. Kali ini Yunus menjawab pertanyaan Tuhan, “Selayaknya aku marah sampai mati.” Yunus sebenarnya tidak pantas marah. Meski nama “Yunus” berarti burung merpati, di sini tidak tampak ketulusannya. Nabi Hosea memakai metafora “merpati tolol” untuk menggambarkan sikap Israel yang membagi kasihnya kepada ilah lain (Hos. 7:11). Mungkin metafora itu lebih tepat untuk Yunus. Pikiran dan sikap sempit Yunus menunjukkan kebodohannya.

Sikap Yunus sering merefleksikan sikap umat. Kita merayakan kasih dan pengampunan Allah hanya untuk diri sendiri atau paling jauh untuk kalangan sendiri. Kita enggan menjadi agen kasih Allah dalam arti luas. Tema tahunan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia adalah “Tuhan baik untuk semua orang.” Jika Tuhan mengasihi semua orang, bagaimana kita boleh kita tidak mengasihi yang dikasihi Tuhan? Sampai akhir kitab, tidak jelas apa ah sikap Yunus berubah. Akhir kitab itu bersifat terbuka (open ending). Pembacalah yang harus menentukan bagaimana kitab itu mau ditutup. Apakah pembaca bertahan dalam pikiran dan sikap sempitnya? Ataukah, pembaca akan bertobat?

 

Yonky Karman
Penulis adalah Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta



Leave a Reply