Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

GPdI Hayam Wuruk Yogyakarta Melestarikan Tradisi Mulia GPdI




Foto bersama usai pelantikan gembala GPdI Hayam Wuruk, Raden Rara Sekarindah Setjadiningrat, yang juga merupakan generasi ketiga dari alm. Pdt. Raden Gideon Sutrisno. pioner atau pendiri GPdI di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Yogyakarta, eBahana.com Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) memiliki sebuah tradisi yang sangat mulia dan agung, yaitu tradisi tentang bagaimana menghormati, menghargai, serta menjunjung tinggi para pionir atau para pejuang GPdI. Tradisi ini sekaligus cerminan atau ungkapan nilai-nilai moral, nilai-nilai martabat, nilai-nilai kepatutan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dianut oleh GPdI.

Menengok sejarah GPdI Hayam Wuruk Yogyakarta, berawal dari perjuangan Pdt. Raden Gideon Sutrisno bersama beberapa hamba Tuhan misionaris dari Belanda sejak tahun 1937. Setelah kemerdekaan, semua pelayanan dan perjuangan GPdI Yogyakarta diserahkan kepada Pdt. Raden Gideon Sutrisno. Oleh karena alm. Pdt. Raden Gideon Sutrisno ada hubungan keluarga dengan Kraton Yogyakarta, maka Gubernur DIY, ketika itu Sultan Hamengkubuwono ke IX menghibahkan sebidang tanah di Jl, Hayam Wuruk no 22 Yogyakarta untuk GPdI. Selanjutnya, pada tahun 1958, Pdt. Raden Gideon Sutrisno membangun gedung GPdI di Jl. Hayam Wuruk no 22, dan ditahbiskan pada September 1959 oleh ketua Pengurus Pusat, Pdt. Efrayim Lesnusa.

Di dalam kepemimpinan organisasi GPdI, Pdt. Raden Gideon Sutrisno menjadi anggota Pengurus Pusat/Majellis Pusat dari tahun 1957 – 1984. Alm. menduduki berbagai posisi di kepengurusan pusat, mulai dari Wakil ketua PP,  Sekjen PP, Komisaris PP, dan Penasehat MP.  Tahun 1990, Pdt. Raden Gideon Sutrisno berpulang ke rumah Bapa. Pelyanannya dilanjutkan oleh istri (kedua) ibu Pdt. Lianwati. Setelah delapan (8) tahun tidak mampu lagi melayani karena faktor usia (pikun), pada 4 Juni 2020 ibu pdt. Lianawati digantikan oleh Pdm. Raden James Tjahyono, S. Th, cucu kedua dari anak pertama alm. Pdt. Raden Gideon Sutrisno.

Pada 28 Agustus 2020  Pdm. Raden James Tjahjono berpulang ke rumah Bapa karena sakit, maka pelayanan penggembalaan GPdI Hayam Wuruk dilanjutkan oleh Raden Rara Eva Sekarindah Setjadiningrat, cucu ketiga dari anak pertama alm. Pdt. Raden Gideon Sutrisno. Agar berbagai kegiatan pengembalaan di GPdI Hayam Wuruk Yogyakarta berjalan sebagaimana mestinya, pimpinan MD Yogyakarta Pdt. DR. Samuel Tandiassa dan pengurus yang ada telah melakukan pelantikan pada Senin (13/9) kemarin di GPdI Condong Catur, kepada Raden Rara Sekarindah Setjadiningrat yang merupakan generasi ketiga dari alm. Pdt. Raden Gideon Sutrisno, pioner atau pendiri GPdI di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tradisi menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi para pioneer GPdI dengan cara memberikan kesempatan dan prioritas kepada keturunana para pioneer untuk melanjutkan pelayanan dari kakek nenek atau orang tua mereka, telah dilestarikan di beberapa GPdI yang didirikan sejak masa sebelum kemerdekaan sampai saat ini, antara lain:

  1. GPdI Ketapang: dari alm. Pdt. N. Runkat – ke alm. Pdt. Lenny Runkat/Pdt. A. H. Mandey selanjutnya ke Pdt. Hessel Manday – gerenasi ke 3.
  2. GPdI Palembang: dari Pdt. A. E. Siwi – ke Pdt. Y.K. Siwi, dan selanjutnya ke Pdt.  Vera Siwi/Pdt. Daniel Enggar – generasi ke 3.
  3. GPdI Bethesda Makassa: dari alm. Pdt. E. Lesnusa – ke Pdt. Yenny Lesnusa/Pdt. M. F. da Costa selanjutnya ke Pdt. Efrayim da Costa – generasi ke 3.
  4. GPdI Cianjur: dari alm. Pdt. Yan Awondatu – ke Pdt. JE. Awondatu, selanjutnya ke Pdt. Revi Aondatu  – generasi ke .
  5.  GPdI Gideon, Jl. Gadang,  Tanjung Priok: dari alm. Pdt. W. H. Bolang – ke alm. Pdt. MPH Bolang dilanjutkan oleh istri, Pdt. Anik Bolang Rumimpunu – generasi ke 2.
  6. GPdI Maranatha Medan: dari alm. Pdt. A. W. Wakkary – ke Pdt. M. D. Wakkary – generasi ke 2

Tradisi ini sangat penting untuk dilestarikan di dalam lingkup organissi GPdI,  mengingat sejarah dan proses berdirinya gereja-gereja GPdI tesebut di atas, mulai dari perintisan sampai menjadi sebuah GPdI yang besar, sebagaimana adanya sekarang.  Berbeda dari sejarah dan proses berdirinya gereja-gereja non GPdI.

Para pionir – generasi pertama – yang merintis dan mendirikan gereja-gereja GPdI tersebut telah mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki, bahkan mereka mempetaruhkan nyawa mereka demi menanam, membangun, dan membesarkan GPdI di tempat masing-masing.

Andaikan lembaga GPdI bisa mengungkapkan penghormatan sepeperti yang dilakukan oleh negara untuk menghormati para pahlawannya, maka sesungguhnya sangatlah layak dan seharusnyalah GPdI mendirikan patung monumen untuk setiap sosok ‘pahlawan Iman’ GPdI.

Memang GPdI tidak memberikan penghargaan dengan mendirikan monument, tetapi GPdI telah memberikan penghargaan di atas segala penghargaan, yaitu lahirnya “tradisi mulia” yaitu melestarikan nama para pieoneer atau pejuang melalui mempercayakan pengembalan yang dirintis kepada anak cucu atau keturunan mereka.

Untuk itu, tradisi mulia ini kata, Ketua MD Yogyakarta, harus dijaga dan digenggam sebagai bentuk penghargaan. Jangan sampai, ada di antara para pemimpin sekarang atau diwaktu-waktu yang akan datang di GPdI di level manapun, yang membuat kebijakan-kebijakan penggembalaan di suatu tempat, dengan mengabaikan tradisi mulia—menghargai menghormati, dan menjunjung tinggi para pioneer yang telah berjasa dalam membesarkan GPdI.

Kata Ketua MD GPdI Yogyakarta, Pdt. Samuel Tandiassa, bila ada pemimpin di GPdI baik sekarang atau di waktu-waktu yang akan datang sampai “menutup mata” atau mengabaikan sejarah—meminjam perkataan Bung Karno, jangan lupakan Jas Merah. Maka pemimpin itu mungkin tepat untuk diberikan “label” pemimpin tidak bermoral, tidak beradab, dan bahkan tidak manusiawi.



Leave a Reply