Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Satu yang adalah Damai Kita dan Satu yang adalah Gembala Kita – Bagian 4




eBahana.com – Kita akan membahas perjanjian nama Jehovah, atau Yahweh keempat: Satu Yang Adalah Damai kita. Nama ini diungkapkan dalam kitab Hakim-Hakim melalui suatu insiden dalam hidup Gideon.

Pada masa Gideon, orang-orang Midian (bangsa non-Yahudi) dari timur, menyerbu tanah orang-orang Israel dan dengan menyedihkan menindas mereka. Orang-orang Israel hidup hampir seperti pengungsi di tanah mereka sendiri. Gideon, seorang pemuda, secara sembunyi-sembunyi mengirik gandum dalam alat pemeras anggur agar menyembunyikannya dari orang-orang Midian, karena mereka akan mengambil gandum darinya jika mereka melihatnya.

Tiba-tiba, “malaikat TUHAN” (Hakim-Hakim 6:11) muncul dihadapan Gideon dan mengatakan padanya bahwa ia akan menjadi instrumen Tuhan untuk mengalahkan orang-orang Midian dan membebaskan orang-orang Israel. Gideon mendengar apa yang Tuhan sampaikan ini sulit untuk dipercaya – ia berpikir ia kurang mampu untuk tugas itu. Namun malaikat Tuhan mengatakan padanya “TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani” (ayat 12) dan memberinya strategi untuk menaklukkan orang-orang Midian.

Di akhir perjumpaan ini, Gideon ingin mengetahui lebih banyak tentang malaikat yang muncul dihadapannya, dan ia ingin mempersembahkan korban. Disini kita mempelajari ceritanya: “Maka jawabnya kepada-Nya: “Jika sekiranya aku mendapat kasih karunia di mata-Mu [Tuhan], maka berikanlah kepadaku tanda, bahwa Engkau sendirilah yang berfirman kepadaku.

Janganlah kiranya pergi dari sini, sampai aku datang kepada-Mu membawa persembahanku dan meletakkannya di hadapan-Mu.” Firman-Nya: “Aku akan tinggal, sampai engkau kembali.”

Masuklah Gideon ke dalam, lalu mengolah seekor anak kambing dan roti yang tidak beragi dari seefa tepung; ditaruhnya daging itu ke dalam bakul dan kuahnya kedalam periuk, dibawanya itu kepada- Nya ke bawah pohon tarbantin, lalu disuguhkannya.

Berfirmanlah Malaikat Allah kepadanya: “Ambillah daging dan roti yang tidak beragi itu, letakkanlah ke atas batu ini, dan curahkan kuahnya.” Maka diperbuat (Gideon) demikian.

Dan Malaikat TUHAN mengulurkan tongkat yang ada di tangan-Nya; dengan ujungnya disinggung-Nya daging dan roti itu; maka timbullah api dari batu itu dan memakan habis daging dan roti itu.

Kemudian hilanglah Malaikat TUHAN dari pandangannya.

Maka tahulah Gideon, bahwa itulah Malaikat TUHAN, lalu katanya: “Celakalah aku, Tuhanku Allah! sebab memang telah kulihat Malaikat TUHAN dengan berhadapan muka.”

Tetapi berfirmanlah TUHAN kepadanya: “Selamatlah engkau! Jangan takut, engkau tidak akan mati” (Hakim-Hakim 6:17-23).

Secara umum pada masa itu dipercayai jika kita melihat malaikat Tuhan, kita kemungkinan tidak akan bertahan hidup. Jadi, Gideon merasa momen terakhirnya sudah tiba. Namun Tuhan berkata padanya, “Jangan takut. Engkau tidak akan mati.” Sebagai rasa terima kasih untuk ini, dan sebagai respons pada pewahyuan yang ia terima, Gideon membangun mezbah.

“Lalu Gideon mendirikan mezbah di sana bagi TUHAN [Jehovah] dan menamainya: TUHAN itu masih ada sampai sekarang di Ofra, kota orang Abiezer” (Hakim-Hakim 6:24).

Sebagian besar dari kita mengenal kata Ibrani damai – “shalom.” Ucapan salam zaman sekarang dalam Ibrani. Itu nama mezbah: Tuhan adalah “shalom,” damai. Disini, karenanya, diungkapkan pada kita aspek keempat perjanjian kesetiaan Tuhan untuk umat-Nya – bahwa Ia adalah damai umat-Nya. Damai dalam satu pribadi, dan Pribadi itu adalah Tuhan Sendiri.

Ada tiga cara kita membutuhkan damai. Pertama, kita butuh damai dengan Allah, hubungan pribadi dengan Tuhan yang menjamin hak istimewa-Nya dan berkat-Nya untuk kita. Dalam Kitab Suci, damai dengan Allah selalu dijamin hanya melalui korban. Selain korban – pengorbanan hidup dan pengucuran darah – tidak ada damai dengan Allah (lihat Ibrani 9:22).

Kedua, kita butuh damai bukan hanya dalam hubungan kita dengan Allah, namun juga ditengah semua yang datang melawan kita.

Bahkan ditengah perang, kekacauan, kegemparan dan kekusutan pikiran. Allah menawarkan umat-Nya damai. Damai bukan hanya ketiadaan perang. Sebenarnya dimungkinkan memiliki damai ditengah perang, konflik, tekanan, dan huru-hara karena damai berdasarkan pada hubungan dengan Allah, bukan keadaan. Jika kita lihat keadaan kita, sering kita menemukan tidak ada dasar untuk damai. Namun jika kita belajar kebenaran yang terkandung dalam perjanjian nama Jehovah – bahwa Ia adalah damai kita – maka kita bisa memiliki damai di tengah keadaan apa pun yang kita hadapi.

Ketiga, kita butuh damai dalam hubungan kita dengan orang lain. Direkonsiliasi dengan Allah melalui Yesus membawa kita kedalam hubungan damai dengan orang-orang percaya lain.

Mari lihat damai dari tiga pandangan ini: pertama, dalam hubungan kita dengan Tuhan; kedua, dalam bekerjanya hubungan itu dalam hidup kita ditengah keadaan kita; dan ketiga, dalam hubungan kita dengan orang lain.

Kita akan mulai dengan apa yang Kitab Suci katakan mengenai damai antara Allah dan manusia. Ada banyak tentang topik itu dalam Perjanjian Baru, namun kita akan lihat hanya dua nas.

“Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 5:1).

Perhatikan dikatakan “damai sejahtera dengan Allah melalui Tuhan kita Yesus Kristus.” Yesus adalah damai kita.

“Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia [Yesus], dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan perdamaian oleh darah salib Kristus” (Kolose 1:19- 20).

Dalam nas ini, kita melihat aspek kedua kebenaran itu: damai diperoleh hanya melalui pengorbanan. Pengorbanan yang menghasilkan damai kekal antara Allah dan manusia adalah pengorbanan Tuhan Yesus di salib dan darah yang Ia cucurkan. Melalui-Nya, kita memiliki damai dengan Allah.

Kontras damai melalui Kristus dengan apa yang Yesaya katakan: “Tetapi orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang, dan arusnya menimbulkan sampah dan lumpur.

Tiada damai bagi orang-orang fasik itu,” firman Allahku.” (Yesaya 57:20-21).

Ada garis pemisah sangat jelas antara orang benar dan orang fasik. Mereka yang direkonsiliasi dengan Allah melalui Yesus Kristus menerima kebenaran-Nya dan tahu bagaimana memiliki damai dengan Allah. Namun bagi orang fasik, Allah berkata, “Tidak ada damai.”

Dosa tidak pernah meninggalkan kita dalam damai. Bahkan meski tidak ada yang menyusahkan dalam keadaan luar kita, ada sesuatu dalam hati kita yang tidak pernah bisa beristirahat sementara dosa memerintah hati kita.

Sekarang kita lihat bekerjanya damai kedua, damai yang kita bisa miliki ditengah kekacauan dan perang. Betapa penting memiliki jenis damai ini dalam dunia sekarang.

Yesus berkata pada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yohanes 14:27).

Kita senang dengan kata-kata “apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” Usaha-usaha paling berat perdamaian dunia begitu rapuh, begitu tidak permanen, dan begitu tidak memuaskan. Jika kita bergantung pada dunia untuk damai kita, kita akan memiliki sangat sedikit. Namun Yesus berkata, “Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”

Ia juga berkata dalam Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.”

Yesus adalah damai kita. Ia sudah mengalahkan dunia. Karenanya, dunia tidak pernah bisa mengalahkan kita karena Ia dalam kita dan dengan kita.

Ketiga, direkonsiliasi dengan Allah melalui Yesus membawa kita kedalam hubungan damai dengan orang-orang percaya lain. Kita memiliki damai dengan mereka yang sudah direkonsiliasi dengan Yesus, terlepas siapa mereka, tidak masalah apa ras dan latar belakang mereka. Dalam suratnya kepada orang-orang percaya yang memiliki latar belakang non-Yahudi di Efesus, Paulus berkata, “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh,” sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus.

Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.

Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang “jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang “dekat”” (Efesus 2:13-17).

Pesan salib adalah damai: damai dengan Allah, damai ditengah kekacauan, dan damai dengan saudara-saudara seiman kita.

Kita selalu di ingatkan mengenai bahtera, yang menjadi cara-cara keselamatan Allah untuk Nuh dan keluarganya. Pikirkan Nuh dan keluarganya dalam bahtera ini. Mereka disana, di tengah-tengah amukkan; segala sesuatu disekeliling mereka sudah terendam air. Namun, dalam bahtera, mereka memiliki damai dan perlindungan.

Lalu, pikirkan mengenai semua binatang-binatang itu dalam bahtera. Mereka binatang-binatang dengan jenis berbeda, binatang- binatang yang, kodratnya, bermusuhan satu sama lain. Namun dalam bahtera ada damai. Itu menunjukkan pada kita ketika binatang-binatang itu masuk kedalam bahtera, mereka mengalami (perubahan kodrat).

Jadi, bahtera, bagi kita, gambaran indah Kristus. Ketika kita masuk kedalam Kristus, kita masuk kedalam damai. Dalam gereja, ada ras- ras berbeda yang, di bawah kondisi natural, mungkin kita benci.

Namun, karena kita dalam bahtera itu, kita tahu damai dengan mereka. Dan ditengah amukan kekacauan dan keributan hidup ini, kita tahu damai dalam hati kita karena kita memiliki damai dengan Allah melalui Tuhan yang adalah damai kita.

Kita sekarang akan melihat nama perjanjian kelima: “Satu Yang Adalah Gembala Kita.” Untuk nama ini, kita kembali pada Mazmur 23, yang sering disebut “Mazmur Gembala.” Mari kita mempelajari ayat-ayat mazmur ini sesuai urutannya.

“TUHAN (Jehovah) adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mazmur 23:1).

Ketika kita lihat ayat ini, kita kagum betapa banyak Kitab Suci katakan dengan begitu sedikit kata-kata – khususnya dalam Ibrani asli. Kemungkinan menarik untuk kita ketahui bahwa dalam Ibrani, seluruh ayat pertama Mazmur 23 terdiri dari hanya empat huruf: YHWH raah – “Tuhan adalah gembalaku,” dan “lo chaser” – “takkan kekurangan aku.” Pikirkan berapa banyak terkandung dalam empat kata Ibrani itu.

“Takkan kekurangan aku” adalah pernyataan paling mengagumkan, tidakkah demikian? Setiap kebutuhan dalam hidup akan dipenuhi.

Tidak pernah kita mendapatkan diri kita dalam situasi dimana sesuatu yang kita benar-benar butuhkan tidak tersedia bagi kita. Tuhan sudah menjamin untuk memberi kita semua yang kita butuhkan. Keluar dari hubungan-Nya dengan kita, dan kita dengan- Nya, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

“The Living Bible” mengatakan dengan cara lain: “Karena Tuhan adalah Gembala, aku memiliki segala sesuatu yang aku butuhkan!”

Pikirkan semua yang terkandung dalam kata-kata indah “Tuhan adalah gembalaku.” Sangat penting kita mengerti kita memiliki hubungan pribadi dengan Allah sebagai satu Pribadi. Fakta ini dasar untuk hal-hal lainnya juga.

Termasuk hubungan individual. Daud berkata, “Tuhan adalah gembalaku.” Sangat pribadi. Dalam Mazmur 80, mazmur lain Daud, ia menulis, “Hai gembala Israel, pasanglah telinga, Engkau yang menggiring Yusuf sebagai kawanan domba! Ya Engkau, yang duduk di atas para kerub, tampillah bersinar” (Mazmur 80:1).

Dalam Mazmur 23, Daud berkata, “Tuhan gembala (kita),” karena Tuhan “Gembala Israel” sebagai bangsa. Namun tidak berarti sama dengan mengatakan, “Tuhan gembalaku.” Bisakah kita mengatakan itu?

Apakah kita memiliki hubungan pribadi, individual dan langsung dengan Tuhan?

Mari lihat sisa mazmur 23 – apa yang mengalir keluar dari hubungan pribadi dengan Tuhan.

“Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang” (Mazmur 23:2).

Tuhan menyediakan semua makanan yang kita butuhkan. Tentunya, kita berpikir dalam hal makanan spiritual. Ia memberi kita air murni, jernih dan rumput segar. Semuanya bersih, segar, dan menyehatkan.

“Ia menyegarkan jiwaku” (Mazmur 23:3).

Menyegarkan atau merestorasi, berarti mengembalikan pada kondisi yang baik, memperbaharui. Apakah kita pernah merasa letih dan lesu, tak bertenaga. Apakah kita tahu jiwa kita bisa direstorasi? Apakah kita tahu bahwa Tuhan bisa mengembalikan kita kembali pada kesegaran, keyakinan, dan kekuatan?

“Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya” (Mazmur 23:3).

Tuhan menuntun kita di jalan yang benar. Ia memastikan kita mengikuti jalan yang benar. Ada begitu banyak jalan dalam hidup, begitu banyak pilihan. Apakah kita pernah merasa bingung dan tidak pasti jalan mana yang harus diambil? Ketika kita tahu Tuhan sebagai Gembala kita, Ia memimpin dan menuntun kita di jalan yang benar.

Lalu, dikatakan, “Oleh karena nama-Nya.” Itu berkat bagi kita, karena nama-Nya tidak pernah berubah. Tidak bergantung pada apakah kita lemah atau kuat; bergantung pada nama-Nya.

Kehormatan-Nya dipertaruhkan. Ia sudah menjamin, Ia akan melakukannya. Nama-Nya terikat pada kata “gembala” – Tuhan Gembalaku.

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4).

Ada periode-periode dalam hidup ketika kita berjalan dalam lembah kekelaman. Ayat ini tidak berarti mengacu pada masa-masa ketika kita secara harfiah di pintu kegelapan. Segala sesuatu tampak runtuh, segala sesuatu tampak salah, dan kita tidak tahu harus kemana atau kesiapa yang bisa dipercaya. Ketika tekanan-tekanan meningkat, kita bisa berkata seperti Daud, “aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” Kehadiran Allah dijamin.

Daud melanjutkan, “gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” Dua aspek hadirat Allah di representasi disini. “Gada” merepresentasi perlindungan Tuhan atas kita dari serangan- serangan luar dan disiplin kasih-Nya pada kita ketika kita tersesat. “Tongkat” merepresentasi tuntunan dan pengarahan Tuhan. Gada dan tongkat menghibur kita karena kita tahu, dan sudah mengalami, bahwa Allah akan melindungi, mengkoreksi, dan memimpin kita, bahkan di tengah lembah kesepian kekelaman.

“Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah” (Mazmur 23:5).

Suatu berkat mengetahui bahwa semua ini terjadi di hadapan musuh-musuh kita. Disana, dimana segala sesuatu melawan kita, Allah menyediakan yang terbaik. Ia menyediakan hidangan; Ia menyiapkan meja.

Bayangkan musuh-musuh kita seperti serigala-serigala dalam kegelapan, ketakutan oleh api unggun, berkeliaran namun takut datang ke dalam terang. Disini Allah menyediakan yang terbaik.

Bagus memiliki hidangan yang disediakan Tuhan, tidak masalah dimana Ia menyediakannya. Namun khususnya bagus memilikinya di depan musuh-musuh kita. Karena Tuhan disana, dan karena Ia adalah Gembala, kita tahu mereka tidak bisa menyentuh kita; kita aman bahkan di hadapan musuh-musuh kita.

Lalu, Daud berkata, “Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.” Kita bukan hanya memiliki cukup untuk diri kita, namun kita juga memiliki cukup untuk berbagi dengan lainnya.

“Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku” (Mazmur 23:6).

Tidak jadi masalah situasi-situasi apa yang kita hadapi atau apa yang harus kita lalui, ada dua faktor tidak berubah dalam hidup kita: kebaikan Tuhan dan cinta kasih Tuhan. Lagi, kata “cinta kasih” dalam Ibrani adalah “chesed.” Khususnya berarti “kesetiaan Allah pada komitmen perjanjian-Nya.” Jadi, Tuhan sudah berkomitmen menjadi Gembala kita. Ia tidak akan pernah melanggar perjanjian-Nya.

Kebaikan dan cinta kasih-Nya selalu bersama kita.

“…dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa” (Mazmur 23:6).

Pertimbangkan arti kalimat terakhir ini, “aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.” Ayat itu memberi pengertian bahwa apa pun yang kita lakukan, dan kemana pun kita pergi, kita dalam perjalanan pulang. Kita dalam perjalanan pulang ke tempat yang Tuhan sudah persiapkan untuk kita.

Itu bagaimana ketika kita mengenal Tuhan. Apa yang orang lain sebut jalan buntu, untuk kita jalan pulang. Kita tahu kita akan hidup dalam rumah Tuhan selamanya, apa pun yang kita harus lalui. Ia akan bersama kita, dan kita akan tahu takdir kita.

Jalan buntu adalah untuk orang-orang yang tidak mengenal Allah. Tidak ada jalan buntu bagi kita. Kita dalam perjalanan pulang.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply