Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kenapa Allah Menggunakan Samaran & Anak Tukang Kayu




eBahana.com – Kita sudah melihat dalam Alkitab, nama-nama adalah indikasi kodrat orang yang diberi nama-nama memberi tahu sesuatu tentang karakter dan takdir tentang orang itu. Begitu pula, nama-nama, gelar-gelar, dan manifestasi-manifestasi, seperti diungkapkan kepada umat manusia dalam Kitab Suci, mengindikasi kodrat dan tujuan-tujuan-Nya. Namun, kadang-kadang, Allah menggunakan “samaran-samaran” ketika Ia berinteraksi dengan umat manusia.

Kenapa Allah menggunakan “samaran”? Pasti kita berpikir Ia tidak akan melakukan itu. Namun prinsip Allah kadang-kadang menggunakan kerahasiaan yang dinyatakan dalam berbagai ayat dalam Kitab Suci. Khususnya, ayat yang memprovokasi pikiran kita seperti: “Kemuliaan Allah ialah merahasiakan sesuatu, tetapi kemuliaan raja-raja ialah menyelidiki sesuatu” (Amsal 25:2).

Kita melihat di sini merahasiakan sesuatu ada pada Allah, sedangkan menyelidiki sesuatu ada pada raja-raja. Kata “raja-raja” merepresentasi tingkat tertinggi umat manusia. Karenanya, kita bisa simpulkan salah satu pencapaian tertinggi umat manusia adalah menyelidiki apa yang Allah rahasiakan. Kita akan mengeksplorasi kenapa dan bagaimana Allah datang kepada kita dalam bentuk-bentuk yang harus diselidiki.

Untuk mulai, ada tiga hal yang Allah “tidak” ingin lakukan ketika Ia datang pada kita.

Pertama, Allah tidak ingin terlalu mempesona kita dengan kuasa- Nya. Meskipun Ia akan mengkonfirmasi kebenaran injil dan menarik orang-orang kepada diri-Nya melalui kuasa-Nya (lihat Ibrani 2:3-4), Ia tidak ingin kita menerima-Nya hanya karena Ia mahakuasa.

Dengan kata lain, kita tidak perlu takut jika kita tidak menerima-Nya, Ia akan menghancurkan kita dalam sekejap – mengambil nafas kita dan mengakhiri hidup kita. Itu bukan motif yang Allah berkenan untuk kita menerima-Nya. Melainkan, motif kita harus kasih: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita….Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita.

Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.

Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari (penghakiman), karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini.

Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.

Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 John 4:10, 16-19).

Kedua, Allah tidak ingin memikat kita dengan berkat-berkat-Nya. Allah mampu memberkati kita dalam setiap bidang kehidupan kita. Ia mampu memberi kita semua yang kita butuhkan dan jauh lebih banyak lagi. Ia mampu menyembuhkan kita, menyediakan kita dengan kelimpahan finansial, dan menyelesaikan semua masalah kita. Namun Ia tidak ingin kita menerima-Nya hanya berdasarkan apa yang kita dapat dari-Nya.

Ketiga, Allah tidak ingin hanya memuaskan keingintahuan intelektual. Bagi beberapa orang, hidup seperti teka-teki potongan gambar terdiri dari banyak bagian yang berbeda, dimana satu darinya diberi label “Allah.” Beberapa orang ingin bisa menyisipkan Allah dalam tempat-Nya yang “sah” kedalam teka-teki. Namun Allah bukan sepotong teka-teki. Dan jika kita memiliki sikap itu terhadap- Nya, Ia tidak akan mengungkapkan diri-Nya kepada kita.

Mari kita mengulang apa yang Allah tidak ingin lakukan ketika Ia datang pada kita: pertama, Ia tidak ingin terlalu mempesona kita dengan kuasa-Nya; kedua, Ia tidak ingin memikat kita dengan berkat-berkat-Nya, dan ketiga, Ia tidak ingin memuaskan hanya keingintahuan intelektual.

Lalu, apa yang Allah inginkan? Jawabannya, Allah ingin kita menginginkan-Nya untuk diri-Nya sendiri – selain kuasa-Nya, berkat- berkat-Nya, dan faedah apa pun lainnya.

Kita perlu menyadari Allah tidak melihat kita seperti kita melihat sesama kita. Ia melihat ke dasar paling dalam di hati kita. Satu ayat dalam 1 Samuel membuat poin ini dengan jelas. Nabi Samuel diutus ke rumah tangga Isai untuk mengurapi satu dari anak-anak Isai untuk menjadi raja Israel selanjutnya. Isai mempresentasikan anak sulungnya, Eliab, dan Samuel terkesan. Namun Allah berkata, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya” (1 Samuel 16:7).

Isai memiliki tujuh anak tampan, baik terhormat dan mempresentasikan mereka kepada Samuel, dengan berkata, “yang mana akan menjadi raja?” Samuel terkesan dengan setiap dari mereka. Namun setiap kali ia terkesan dengan parasnya atau perawakan yang tinggi, Allah berkata “bukan itu.”

Setelah Samuel melewati semua anak yang Isai presentasikan, dan tetap tidak ada raja, Samuel bertanya, “tidakkah ada yang lain?” Agak enggan, Isai berkata, “ada satu, yang terkecil, namun ia sedang di padang rumput mengurus domba.” Ternyata, anak kedelapan itu – satu yang mereka tidak hiraukan – Daud, raja masa depan Israel. Dan ketika ia tiba, Tuhan berkata, “itu orangnya. Urapi dia.”

Lalu, Tuhan mengucapkan kata-kata ini kepada Samuel: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7).

Allah tidak melihat penampilan luar; Ia melihat hati kita. Pada waktu yang sama, Tuhan tidak ingin kita menganggap-Nya hanya dengan penampilan luar atau atribut-atribut eksternal. Allah ingin kita menerima-Nya untuk diri-Nya, tanpa melihat pada kuasa, kekayaan, atau hikmat-Nya yang besar.

Bagaimanapun, dalam kerendahan hati-Nya, Allah tidak ingin di- inginkan untuk apa yang kita bisa dapat dari-Nya; melainkan, Ia ingin di-inginkan untuk diri-Nya. Ia mengatur situasi dan keadaan dalam hidup setiap dari kita yang cepat atau lambat membawa kita pada ujian ini: apakah kita mencari Allah dan percaya pada-Nya karena apa yang kita dapat atau karena Allah Sendiri?

Apa yang Allah lihat di hati kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada rangkaian persyaratan dari tiga nas Perjanjian Lama. Dua nas dari kitab Mazmur dan satu dari kitab Yesaya. Nas-nas ini menyatakan dengan jelas dan konsisten apa yang Allah benar-benar lihat dalam kita.

Mari kita lihat persyaratan pertama: “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:19).

Sebagai alternatif untuk “remuk jiwanya” adalah patah hati karena dosa, penuh sesal atau menyesal secara mendalam. Allah mencari mereka yang remuk jiwanya. Tidakkah aneh?

Ini nas kedua, dan persyaratan kedua: “TUHAN itu tinggi, namun Ia melihat orang yang hina, dan mengenal orang yang sombong dari jauh” (Mazmur 138:6).

Allah melihat orang yang hina, namun Ia mengenal orang yang sombong dari jauh. Itu dimana Ia menahan mereka – dari jauh. Orang-orang yang sombong benar-benar tidak memiliki akses kepada Allah.

Ketiga, kita menemukan nas paling indah dalam Yesaya. Menggambarkan kemuliaan dan keagungan abadi Allah – dan juga apa yang Ia lihat pada kita: “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama- Nya: “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk ” (Yesaya 57:15).

Meskipun Allah di tempat tinggi dan di tempat kudus, dan meskipun Ia mendiami kekekalan (tempat tinggal-Nya), Ia memiliki satu tempat tinggal lain. Ia hidup juga dengan orang yang remuk dan rendah hati.

Dalam nas ini, kita melihat dengan jelas bahwa Allah mencari orang yang remuk dan rendah hati – mereka yang tidak sombong, arogan, yakin pada diri sendiri atau bergantung pada diri sendiri. Sebaliknya, ini orang-orang yang telah melewati pengalaman hidup yang telah melucuti mereka dari keyakinan diri dan arogansi. Pengalaman ini menjadikan mereka – “remuk.” Itu yang Allah cari: rendah hati, remuk.

Remuk berarti dengan tulus menyesali kesalahan-kesalahannya. Kita melihat banyak orang melakukan kesalahan dan menderita akibat- akibat yang tidak enak. Meskipun mereka ingin keluar dari akibat- akibatnya, mereka tidak benar-benar menyesali kesalahannya. Allah tidak benar-benar ingin mempertimbangkan orang-orang itu. Ia ingin terlibat dengan orang-orang yang bukan hanya ingin keluar dari akibat-akibatnya, namun juga menyesali kesalahan yang membawa mereka mengalami akibat-akibat itu.

Kita akan melihat lebih jelas bagaimana Allah datang pada kita dalam samaran. Ia datang pada kita begitu rupa sehingga jika kita tidak cukup sensitif melihat Allah dalam kodrat-Nya yang paling dalam, kita tidak akan mengenali-Nya. Jika kita hanya memikirkan

kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, dan keinginan-keinginan diri kita sendiri, kita akan kehilangan Dia.

Itu kenapa Allah datang kepada umat manusia dalam samaran. Dan itu kenapa begitu penting kita belajar mengenali samaran-samaran itu. Jika tidak, Allah mungkin datang pada kita dan kita mungkin kehilangan Dia.

Samaran pertama yang akan kita pelajari paling penting dan samaran mengagumkan dimana Allah pernah datang dalam sejarah manusia. Ia datang kepada kita dalam samaran anak tukang kayu, dikenal dalam sejarah sebagai Yesus dari Nazaret.

Melalui nubuatan, Allah memperingatkan Israel lebih dahulu bahwa Ia akan datang kepada mereka dengan cara yang aneh.

“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:6).

Tidakkah luar biasa ajaib bahwa “anak” ini dalam Kitab Suci sebenarnya disebut “Allah yang Perkasa”? Siapa itu selain Yesus?

Kitab Suci begitu akurat. Mengatakan dua hal mengenai anak ini. Pertama, mengatakan Ia akan “lahir” sebagai anak namun “diberikan” sebagai anak. Yesus tidak menjadi Anak Allah melalui inkarnasi-Nya. Secara kekekalan, Ia Anak Allah. Ia Anak yang diberikan, namun melalui inkarnasi, Ia menjadi anak kecil.

Kodrat kekal Yesus digambarkan di bagian lain dalam Alkitab. Mari baca, contohnya, nas dari kitab Ibrani: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi- nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.

Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi” (Ibrani 1:1-3).

Nas ini mengatakan pada kita tujuh fakta luar biasa mengenai Anak Allah.

Pertama, Ia pewaris dari segala yang ada. Seluruh ciptaan, seluruh alam semesta disimpulkan dan digenapi dalam-Nya.

Kedua, melalui-Nya, Allah Bapa menciptakan alam semesta. Ia sumber kreatif dari semua.

Ketiga, Ia cahaya kemuliaan Allah. Ia ekspresi apa yang tidak bisa dilihat dari Allah yang “invisibel.” Ia cara kemuliaan Allah datang kedalam hidup kita.

Keempat, Ia representasi Allah Bapa. Ia menyampaikan kepada kita, dalam bentuk yang kita bisa apresiasi, kodrat kekal, Allah yang tidak bisa dilihat. Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9).

Kelima, Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Ia kekuatan yang menopang dalam seluruh alam semesta. Ia satu yang menopang seluruh ciptaan.

Keenam, Ia menyediakan penyucian untuk dosa-dosa kita melalui kematian-Nya di salib.

Ketujuh, setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa di salib, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat tinggi diatas semua otoritas, kuasa, dan kemuliaan dalam alam semesta.

Tujuh fakta itu mengungkapkan siapa Yesus sesungguhnya. Namun, dalam sejarah, Ia datang kepada kita dalam samaran itu – bayi kecil yang tumbuh menjadi anak tukang kayu.

Allah memperingatkan Israel bahwa mereka dalam bahaya kehilangan Dia. Sebagai contoh, ada nas terkenal dalam Yesaya 53 yang menggambarkan Yesus sebagai “orang yang penuh kesengsaraan.” Nas ini mulai dengan peringatan mengenai tidak percaya: “Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?” (ayat 1).

“Tangan kekuasaan Tuhan” tiada lain selain dari Yesus. Nas ini menggambarkan-Nya dalam bentuk manusia-Nya: “Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering” (ayat 2).

Israel tanah yang kering ketika Yesus datang – itu dalam kematian spiritual.

“Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupa pun tidak, sehingga kita menginginkannya” (ayat 2).

Lagi, Allah tidak ingin di-inginkan karena penampilan luar.

“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.

Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.

Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (ayat 3-5).

Bayangkan bentuk berjanggut yang dimutilasi, dipukuli di salib. Bayangkan Dia mati disana, mengakhiri hidup-Nya dalam penderitaan, mencucurkan darah hidup-Nya. Tidakkah itu samaran yang aneh untuk Allah Mahabesar?

Kitab Suci mengatakan selanjutnya, “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (Yesaya 53:6).

Peran-Nya sebagai penanggung dosa-dosa dunia adalah terbesar dan teraneh dari semua samaran Allah.

Mari kita lihat empat hal bahwa Anak Allah bukan seperti Ia datang kepada kita dalam bentuk manusia. Ia bukan dari kasta imamat yang memerintah. Ia tidak berpendidikan tinggi. Ia bukan pemimpin politik. Ia bukan komandan militer.

Ini semua peran yang dunia cari dalam Mesias. Ciri-ciri itu sudah pasti akan menyebabkan dunia mengagumi, menghormati, dan menerima-Nya. Namun Ia tidak memiliki ciri-ciri itu. Kenapa? Karena Allah tidak ingin diterima dengan dasar itu. Ia ingin diterima hanya melalui mereka yang rendah hati dan remuk jiwanya – mereka yang rindu Allah untuk diri-Nya dan bukan untuk apa yang Ia harus tawarkan.

Betul, Yesus dari suku raja, satu-satunya suku darinya seorang raja pernah datang kepada orang-orang Yahudi. Ia dari suku Judah.

Namun kemuliaannya sudah lama menurun. Dan ketika Yesus datang, Ia sebagai tunas dari tanah kering (Yesaya 53:2). Itu bagaimana Allah datang kepada umat manusia dua ribu tahun yang lalu. Betapa sedikit sudah mempenetrasi kedalaman samaran itu.

Ketika Allah datang ke bumi dalam samaran Manusia Yesus, yang hidupnya berakhir di salib, orang-orang memiliki reaksi-reaksi berlawanan terhadap-Nya. Satu sikap menolak dengan menghina sebagai anak tukang kayu. Yang lain menerima-Nya dengan penyembahan sebagai Anak Allah. Mari lihat lebih dekat reaksi- reaksi yang berbeda-beda ini.

Reaksi pertama, penolakkan dan penghinaan, digambarkan dalam Matius 13. Menggambarkan respons kepada Yesus di kampung halaman-Nya sendiri Nazaret.

“Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: “Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu?

Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?

Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu”

Lalu mereka kecewa dan menolak Dia. Maka Yesus berkata kepada mereka: “Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di rumahnya” (Matius 13:54-57).

Orang-orang ini tidak bisa melihat melalui samaran. Mereka sudah terlalu lama mengenal Yesus. Dalam arti tertentu, mereka sudah menjadi terlalu biasa dengan-Nya. Orang-orang yang sudah terlalu dekat dengan-Nya gagal melihat samaran. Ia harus pergi ke tempat lain untuk diterima.

Mari kita lihat sekarang reaksi yang berlawanan. Mereka yang menerima-Nya mengenali samaran dan menyadari siapa Dia sesungguhnya.

“Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?”

Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.”

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”

Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”

Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga” (Matius 16:13-17).

Ini seseorang yang menerima pewahyuan Allah mengenai Yesus – seseorang yang melihat melewati kedangkalan-kedangkalan.

Dengan kasih karunia dan Roh Allah, Petrus membedakan Anak Allah kekal, sejati, Mesias, Satu yang orang-orang Israel sudah nanti- nantikan, namun yang mereka semua gagal mengenali.

Kita masih memiliki dua alternatif itu hari ini. Kita bisa bereaksi dengan satu cara atau yang satunya, seperti orang-orang Israel. Kita perlu perhatikan kata-kata ini dari pasal pertama injil Yohanes: “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama- Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yohanes 1:11-13).

Apa yang kita akan lakukan mengenai Yesus? Apakah kita akan menolak-Nya? Atau apakah kita akan menerima-Nya?

Apakah kita melihat di bawah samaran dan melihat Anak Allah kekal? Apakah kita akan menyembah-Nya dan mengundang-Nya dalam hidup kita? Kita berdoa agar kita semua melakukan yang terakhir ini.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply