Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kekristenan di Negeri Soya




Ambon, eBahana.com – Waktu berdirinya negeri Soya tidak bisa dipastikan. Namun negeri Soya termasuk negeri yang tertua di Jasirah Leitimor. Berdasarkan penuturan dan cerita-cerita tua, leluhur yang mendiami negeri Soya berasal dari Nusa Ina (baca: Pulau Seram), yang antara lain dari Seram Utara, kurang lebih tempatnya dekat Sawai, suatu wilayah yang bernama “Soya”, serta dari Seram Barat, sekitar daerah Tala.

Dari sumber cerita yang ada, perpindahan para leluhur orang Soya datang secara bergelombang yang kemudian menetap di negeri Soya. Mereka membentuk clan baru yang kemudian menjadi nama pada tempat kediamannya yang baru. Nama ini sama dengan nama di tempat asalnya. Hal itu dimaksudkan sebagai kenang-kenangan atau peringatan. Negeri Soya kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan sembilan Negeri Kecil yang dikuasai Raja Soya. Informasi yang dihimpun eBahana.com, kesembilan negeri kecil tersebut antara lain:

  1. Uritetu, suatu negeri yang diperintah oleh orang kaya, letaknya sekitar Hotel Anggrek. Uritetu artinya di balik bukit.
  2. Honipopu, adalah sebuah negeri yang diperintah oleh orang kaya. Negeri ini terletak di sekitar Kantor Kota Ambon saat ini.
  3. Hatuela, juga ada di bawah pimpinan orang kaya, letaknya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya Batu Besar.
  4. Amantelu, dipimpin oleh  seorang Patih, yang  letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu artinya, Kampung Tiga.
  5. Haumalamang, dipimpin seorang Patih, letaknya diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar.
  6. Ahuseng, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di Kayu Putih sekarang.
  7. Pera, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di negeri Soya sekarang.
  8. Erang, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di belakang negeri Soya sekarang. Erang berasal dari nama Erang Tapinalu atau Huamual di Seram.
  9. Sohia, adalah negeri tempat kedudukan Raja, letaknya antara Gunung Sirimau dan Gunung Horil.

Setiap Rumah Tau (baca: mata rumah) yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di negeri Soya. Batu-batu ini dianggap sebagai perahu yang membawa mereka ke tempat di mana mereka akhirnya berdiam dan yang lazim disebut Batu Teung. Saat ini di Soya dapat  ditemukan beberapa Teung, yakni Teung Tunisou untuk semua Rumah Tau, Teung Samurele untuk Rumah Rehatta, Teung Souhitu untuk Rumah Tau Tamtelahittu, Teung Saupele untuk Rumah Tau Huwaa, Teung Paisina untuk Rumah Tau Pesulima, Teung Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit  Teung Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea, Teung Hawari untuk Rumah Tau Latumanuwey, Teung Soulana untuk Rumah Tau de Wana, Teung Soukori untuk Rumah Tau Salakory, Teung Saumulu untuk Rumah Tau Ririmasse, Teung Rumania untuk Rumah Tau Latuconsina, Teung Neurumanguang untuk Rumah Tau Hahury, Teung Samasuru untuk Rumah Tau Latuputty Teung-teung ini berjumlah 14 buah.

Di antara teung-teung itu, ada dua tempat yang mempunyai arti tersendiri bagi anggota-anggota clan tersebut, yakni Baileo Samasuru, yaitu tempat berapat dan berbicara, serta Tonisou, yaitu suatu perkampungan khusus bagi semua Rumah Tau yang di dalam suhat pun disebut sebuah Teung. Beberapa di antara Rumah Tau tersebut tidak lagi menetap di negeri Soya, begitu pula beberapa Negeri Kecil yang pernah ada telah hilang disebabkan beberapa faktor dan perkembangan masyarakat.

Raja Soya yang pertama adalah Latu Selemau dan istrinya bernama Pera Ina. Di bawah pemerintahan Latu Selemau, negeri Soya dan sembilan negeri kecil yang berada di bawah kekuasaannya merupakan suatu kesatuan besar. Dalam masa kebesarannya, Latu Selemau dianugerahi beberapa gelar, antara lain Nusa Piring Pahlawan atau Piring Pekanussa. Salah satu gelar yang lebih agung merupakan bukti kebesarannya, yakni LATU SELEMAU AGAM RADEN MAS SULTAN LABU INANG MOJOPAHIT. Gelar ini berkenaan dengan hubungan politik dan hubungan dagang, bahkan perkawinan dengan orang-orang dari Kerajaan Majapahit.

Adapun sistem pemerintahan negeri Soya pada mulanya merupakan sistem  Saniri Latupatih yang terdiri dari Upulatu sebutan untuk Raja, Para Kapitan, Kepala-Kepala Soa disebut Jou, Patih dan Orang Kaya, Kepala Adat disebut Maueng, dan Kepala Kewang. Saniri Latupatih dilengkapi dengan Marinyo yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupatih dapat dianggap sebagai Badan Eksekutif.

Saniri Besar, yaitu persidangan besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau bila diperlukan. Persidangan Saniri Besar dihadiri oleh Saniri Latupatih dan semua laki-laki yang telah dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam dalam negeri. Persidangan Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung  atau direct democraties. Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri, misalnya pemuda dan organisasi-organisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat dianggap sebagai persidangan legislatif.

 

Gereja Tua Soya

Sejumlah kekayaan peninggalan sejarah seperti Gereja Soya, memberi nilai tersendiri bagi negeri ini. Letak Gereja Tua Soya yang selama ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya berada di tengah-tengah Negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan Balai Pertemuan serta Rumah Raja. Sebagai Negeri yang kaya dengan nilai budaya dan adat istiadat, Negeri Soya merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Maluku. Situs Gereja Tua Soya adalah salah satu tempat yang selama ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri, di samping tempat-tempat lain seperti Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada di  tengah puncak Gunung Sirimau.

Masyarakat Negeri Soya ternyata tidak menerima kedatangan bangsa Portugis yang bertujuan untuk melakukan perdagangan rempah-rempah. Rakyat Negeri Soya kemudian mengangkat senjata melawan Portugis. Perlawanan masyarakat tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah wajah dan status Negeri Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai oleh Portugis. Rakyatnya kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Kristen Katolik. Orang Soya yang tidak mau menyerah terus bertahan di puncak Gunung Sirimau. Mereka hidup terisolir serta tidak mempunyai hubungan dengan kerajaan lainnya.

Pada tahun 1605 armada VOC dibawah Pimpinan Steven vander Hagen memasuki labuhan Honipopu dan menyerang Benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih Benteng Portugis dan diberi nama VICTORIA. Kemenangan VOC atas Portugis membuka peluang bagi disebarkannya paham agama Kristen Protestan oleh Pendeta-Pendeta VOC. Hasilnya, banyak orang Kristen Katholik beralih menjadi Kristen Protestan.

Kegiatan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan kekuasaan kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai asal pribumi termasuk juga mendidik dan mentahbiskan pendeta baru asal pribumi untuk kepentingan penginjilan, di antaranya Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke Negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, Negeri Soya menjadi Kristen. Pengkristenan ini ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat Negeri. Secara adaptif nilai-nilai Kristiani dimasukan ke dalam adat maupun upacara adat seperti Rapat Negeri, Kain Gandong, Naik Baileo, Cuci Air, Cuci Negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau dan Pesta Bulan Desember sebagai tanda persiapan atau  penyambutan Natal Kristus.

Gedung Gereja Tua Soya walaupun bentuknya sederhana, namun telah memberikan andil bagi sejarah Pekabaran Injil di Maluku, khususnya di Negeri Soya. Kekristenan di Negeri Soya harus diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di Negeri Soya pada tahun 1821. Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan kekristenan pada saat itu dengan anggota Sidi 22 orang, Anggota Baptis Dewasa 21 orang, Anak Sekolah 10 orang, Anak di luar Sekolah 7 orang, dan Anak yang dibaptis 1 orang.

Dari angka tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pekabaran Injil di Negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Soya yang masih terisolir dan karenanya tidak mudah menyerahkan diri untuk dibaptis sebagai akibat peperangan dengan bangsa Portugis. Faktor lain adalah rendahnya angka kelahiran di samping kehidupan sosial ekonomi. Namun, harus diakui kedatangan Joseph Kham merupakan angin baru bagi penginjilan di Maluku termasuk Soya, yang menjadikan jumlah pemeluk agama Kristen dari waktu ke waktu terus bertambah.

Dalam kaitannya dengan penyebaran Agama Kristen di Maluku, Gedung Gereja Soya sebenarnya mempunyai catatan sejarah tersendiri. Pertumbuhan Gedung Gereja Soya pada awalnya tidak diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876 Raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan Gereja secara semi permanen yang dipergunakan sampai tahun 1927. Pada masa pemerintahan Leonard Lodiwijk Rehatta, Gedung Gereja Soya yang diperbaharui tahun 1927. Pada tahun 1996 kembali dipugar dan atau direstorasi di bawah panduan bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002 saat Negeri Soya diserang oleh kaum perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan, di samping 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah, dan  Gedung Gereja Tua Soya yang telah menjadi bangunan cagar budaya. Gereja Tua Soya  kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh Ketua Sinode GPM Dr. Chr. J. Ruhulessin, M.Si dan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.

Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu upacara adat cuci negeri  berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat , bertiupnya angin barat yang jatuh pada bulan Desember, upacara cuci negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat,  akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh inisiator Upu Nee, para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan cidaku atau cawat, sedangkan wajahnya  dicat hitam guna penyamaran, dan sebaliknya, semua wanita dilarang keluar rumah.

Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi seekor naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa para pemuda akan datang dari clan-clan di mana mereka berasal. Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukkan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu, para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.

Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan suhat Raja atau Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya, PETERANA dan berbicaralah Raja dari tempat batu Stori Peterana sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.

Sejarah mengenai jasa-jasa, pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada ilahi dalam bentuk Kapata yang antara lain berkisah kepada penyelamatan negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular, dan mohon kelimpahan berkah, taufik dan hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai itu semua, semua orang pun berdiri dan dua orang wanita, Mata Ina yang tertua dari keluarga Rumah Tau, Upulatu melilitkan sebuah pita berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang, red).

Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dahulu upacara adat di Baileo (Samasuru) dilakukan untuk merayakan para pemuda yang lulus dari upacara inisiasi di puncak Gunung Sirimau tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda, maka penyelenggaraan upacara mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat, yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.

Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan keluarga dengan Negeri Soya, bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisional. Tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau menghidupkan terus-menerus kepada generasi  sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan sifat dan nilai-nilainya yang positif.

Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting, yakni persatuan, musyawarah, gotong-royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat bertahan hingga saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut, dahulu datuk-datuk atau para leluhur memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember, saat permulaan musim barat, waktu bertiup angin darat. Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat di mana mereka pernah hidup.

Di samping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur atau hujan, biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, seperti tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor, dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui. Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.

Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen, seperti meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal (Kristus).

Dengan demikian, upacara cuci negeri lebih bersifat penyucian diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai, dan ditandai dengan turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei. Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu adven untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.

(Joanny Pesulima)



Leave a Reply