Pasanganku Kok Sulit Berubah, Ya?
eBahana.com – Masih ingat momen Anda menikah dengan pasangan Anda? Anda pasti berharap kalau suami/istri Anda tersebut adalah seseorang yang akan terus menunjukkan cinta, perhatian, pengertian, dukungan, dan sebagainya, kepada diri Anda. Namun kini, kalau Anda mau jujur, apakah harapan tersebut masih sesuai dengan kenyataannya? Para ahli pernikahan berpendapat bahwa banyak pasangan yang pada awalnya memiliki ekpektasi yang tinggi terhadap pasangannya, di kemudian hari menuai banyak kekecewaan. Lebih jauh mereka mengatakan, jika seseorang memasuki pernikahan dengan pengharapan bahwa ia pada akhirnya akan menemukan kebahagiaan melalui pasangannya, maka bisa jadi malah ia tidak akan menemukannya.
Salah satu masalah yang sering dikeluhkan bagi mereka yang telah menikah adalah masalah kepribadian atau kebiasaan pasangan yang sulit berubah. Tidaklah mengherankan jika banyak suami/isteri yang kemudian mengatakan bahwa mereka tidak tahan lagi dengan sikap atau perbuatan pasangannya. Terhadap hal ini kita perlu berhati-hati, sebab di balik keinginan kita untuk mengubah kebiasaan/kepribadian pasangan kita, bisa jadi suatu motivasi tersembunyi yang sangat egois (self-centered). Para ahli pernikahan menyebutkan ada dua alasan utama mengapa kita ingin mengubah kepribadian/ kebiasaan pasangan kita.
Pertama, kita ingin pasangan kita berlaku seperti yang kita lakukan (replikasi/ duplikasi), apalagi jika kita beranggapan bahwa cara kitalah yang paling benar. Kita ingin “mengkloning” pasangan kita. Kedua, kita ingin pasangan kita menjadi ‘sarana’ untuk memenuhi kebutuhan kita. Semakin tinggi kebutuhan kita, semakin besar pengharapan yang kita taruh bagi pasangan kita. Tidaklah mengherankan jika banyak suami/istri yang memiliki kedua motivasi di atas akan mengalami rasa frustrasi, stres, dan putus asa jika tuntutan mereka tidak tercapai. Mereka tidak menyadari bahwa pasangan mereka bukanlah “robot” yang dapat dikendalikan semaunya. Selama konsep mereka terhadap pernikahan tidak berubah, sangatlah sulit untuk berharap kalau mereka dapat “mengerjakan pernikahan” mereka tersebut.
Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah berarti tidak ada jalan keluar bagi pernikahan yang sedang dirundung masalah. Namun patut diingat bahwa tidak akan pernah ada solusi yang instan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pernikahan. Mungkin saja dibutuhkan waktu yang cukup panjang, yang menguras emosi, energi, harga diri, dan sebagainya. Terhadap kondisi yang demikian adalah baik jika kita tidak berhenti untuk berharap, sebab bukankah adanya harapan merupakan salah satu tanda bahwa kita adalah manusia yang beriman kepada-Nya? Dalam membangun sebuah harapan terhadap pernikahan, ada sebuah konsep yang patut untuk dipikirkan dan direnungkan. Yaitu bahwa tujuan utama yang sesungguhnya dari sebuah pernikahan bukanlah untuk memperoleh kebahagiaan, melainkan sebagai sarana untuk saling bertumbuh secara karakter.
Bukan berarti bahwa kita tidak butuh kebahagiaan, atau berpikir “it’s okay kalau tidak berbahagia dalam pernikahan…”, namun jika kita menempatkan “perasaan bahagia” (yang sifatnya sangat sementara dan sangat rapuh) sebagai ukuran mutlak dari sebuah pernikahan, maka tidaklah mengherankan jika begitu banyak pasangan yang bercerai hanya karena merasa sudah tidak bahagia lagi dengan pasangannya. Dalam konteks pernikahan Kristen, mencintai seseorang bukan hanya sekadar perasaan yang menggebu-gebu, melainkan sebuah keputusan, sebuah komitmen. Jika cinta hanya sekadar perasaan, tidak akan pernah ada dasar untuk berkomitmen saling mencintai selamanya.
Oleh karena itu, perubahan paradigma terhadap tujuan pernikahan harus segera diwujudkan. Salah satu faktor yang menentukan dari pertumbuhan karakter tersebut adalah bagaimana kita beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lentur terhadap kebiasaan/kepribadian tertentu dari pasangan kita (tentunya yang sesuai dengan prinsip kebenaran Firman TUHAN). Dapat beradaptasi dan fleksibel berarti tidak bersikap kaku, bisa menerima perbedaan-perbedaan yang ditemui di dalam diri pasangan, bisa melakukan perubahan-perubahan yang dibutuhkan yang kemungkinan akan mengubah sistem hidup diri sendiri dan mengusahakannya terus-menerus.
Faktor adaptasi dan fleksibel ini membutuhkan banyak perubahan, dan hanya pasangan yang mampu beradaptasi yang tentunya akan lebih mudah menerima perubahan-perubahan yang akan terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap suami/istri perlu menyadari bahwa perubahan itu hendaknya dimulai dari diri sendiri, sebab memang “lebih mudah untuk melihat seekor semut di mata pasangan kita, namun gajah di pelupuk mata sendiri tak disadari”. Jadi besar kemungkinannya pasangan kita akan berubah jika melihat diri kita sendiri telah berubah. Namun patut untuk diingat bahwa proses perubahan tentu tidak terjadi dalam waktu yang singkat, sebab membutuhkan waktu, kesabaran, dan usaha seseorang. Dirinyalah yang bertanggung jawab untuk berubah, bukan pasangannya.
Oleh karena itu, daripada terus memaksa pasangan kita menjadi seperti maunya kita, adalah lebih baik jika kita belajar hal-hal positif dari perbedaan yang ada, sebab penggabungan/integrasi dua sudut pandang yang berbeda akan memberikan hasil yang lebih baik. Seperti halnya dengan melihat dengan 2 mata kita: bila kita hanya melihat dengan menggunakan salah satu saja, maka persepsi yang kita terima tidak lengkap. Diperlukan kedua mata kita untuk kita bisa mendapatkan gambaran yang utuh dan lengkap.
Sudah barang tentu dan bukanlah hal yang salah jika kita ingin pasangan kita memenuhi kebutuhan kita, namun hal tersebut menjadi salah jika hanya untuk kepentingan diri kita sendiri, dan memandang pasangan kita hanya sebatas salah satu ‘alat’ untuk mencapai tujuan kita, yaitu merasa bahagia. Untuk mencegah sikap yang demikian, pertimbangkanlah faktor-faktor berikut ini:
Pertama, Tuhan memang merancang setiap individu itu unik dan berbeda satu sama lain. Bila kita menyadari kenyataan ini, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan/kepribadian pasangan, terutama yang berbeda dengan kita.
Kedua, sebagai makhluk ciptaan TUHAN dengan natur dosa dan penuh kelemahan, memang adalah lebih mudah bagi kita untuk melihat kekurangan pasangan kita dibandingkan kelebihannya. Cobalah untuk membiasakan berlaku sebaliknya. Catat, ingat dan apresiasi hal-hal baik, kelebihan-kelebihan pasangan, daripada mengeluhkan kekurangan-kekurangannya, bahkan berupaya mengubahnya agar sesuai dengan kemauan kita.
Ketiga, terkadang letak akar permasalahannya bukanlah pada kebiasaan/kepribadian pasangan, melainkan karena kita sendiri tidak mampu melihat keunikan pasangan kita dan menyesuaikan diri terhadapnya. Menyesuaikan diri terhadap pasangan berarti kita mengubah diri kita, yang disadari atau tidak, sudah ‘terlalu nyaman’ dengan pola tertentu. Dengan menyesuaikan diri, kita berarti harus ‘keluar dari zona nyaman’, dan banyak orang enggan merasa tidak nyaman karena berubah.
Pernikahan itu ibarat dua ekor landak yang hidup di daerah dingin. Ketika salju turun dan udara menjadi sangat dingin, keduanya menjadi sangat kedinginan dan mulai saling merapatkan diri. Namun demikian, ketika mereka saling merapat, tanpa sadar mereka mulai saling menusuk dengan bulunya yang berduri. Kalau mereka memisahkan diri, mereka akan kedinginan lagi. Agar tetap merasa hangat, mereka harus belajar bagaimana saling menyesuaikan diri.
Hal demikian juga berlaku dalam pernikahan. Jika kita benar-benar mengasihi pasangan kita, maka kita tidak akan menuntut suami atau istri kita agar menjadi seseorang dengan versi yang sesuai dengan “agenda pribadi” kita. Biarkanlah pasangan kita menjadi dirinya sendiri. Jadikan perbedaan yang ada sebagai sarana untuk bertumbuh
secara karakter, tetap lakukan prinsip-prinsip Firman TUHAN dalam perjalanan hidup nikah Anda berdua, dan selamat menikmati anugrah dari TUHAN berupa kebahagiaan dan kesejahteraan, tidak hanya bagi Anda tapi juga pasangan dan anak-anak yang TUHAN percayakan kepada Anda berdua, serta tentunya kebahagiaan ini bisa ‘ditularkan’ kepada keluarga-keluarga lain di sekitar Anda.
(Himawan Hadirahardja- Direktur Eksekutif Family First Indonesia)