Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kardinal Ignatius Suharyo Diminta Tidak Asal Omong




Kardinal Ignatius Suharyo tengah berdiskusi bersama Menko PMK Muhadjir Effendy (ist)

Merauke, eBahana.com – Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke (KAME), SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Timika, SKPKC Agustinian, dan SKPKC Fransiskan Papua meminta Kardinal Ignatius Suharyo selaku Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk tidak asal omong soal Papua.

Hal ini merupakan buntut dari pernyataan politik Suharyo yang juga menjabat sebagai Uskup TNI-POLRI di majalah Tempo (Online) pada 29 November 2021, yang mengatakan “Sikap Gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah karena dijamin undang-undang internasional”.

“Kardinal Ignatius Suharyo selaku Ketua KWI hendaknya dalam menyampaikan pernyataan sikap yuridis politis soal Papua harus juga disertai sikap pastoral dalam semangat koordinasi dengan uskup setempat berkaitan situasi konflik di tanah Papua,” demikian bunyi pernyataan SKP se-Papua melalui press release yang diterima, Kamis (8/12) kemarin. Konferensi Waligereja Indonesia yang dinahkodai Suharyo, demikian SKP yang menjadi tangan Gereja Katolik Papua untuk urusan keadilan dan perdamaian, hendaknya menggunakan laporan-laporan SKP se-Papua sebagai bahan rekomendasi kritis ke Pemerintah Indonesia terkait kebijakan untuk tanah Papua.

Tak hanya kepada Suharyo, mereka juga mendesak Pemerintah Indonesia untuk mendengarkan masukan-masukan dari uskup-uskup di tanah Papua sebagai ordinaris wilayah yang lebih paham dan mengalami situasi riil umat atau rakyat Papua. Menurut SKP se-Papua, sikap dan pilihan politik Kardinal Suharyo tidak lengkap dan tampak mengabaikan laporan-laporan mereka selama ini, serta pernyataan itu berarti juga mendukung kebijakan pendekatan keamanan/militer yang selama ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua, sedangkan sejak tahun 2002 Gereja Katolik di bumi cenderawasih itu sudah mendorong dialog damai untuk mencari solusi penyelesaian konflik di tanah Papua.

“Di tahun 2005, Gereja Katolik di Tanah Papua bersama elemen masyarakat lainnya di Tanah Papua (lembaga keagamaan, TNI Polri) mendeklarasikan Papua Tanah Damai,” tulis mereka (SKP se- Papua) dalam pernyataan itu. Pada 20 tahun belakangan ini, SKP se-Papua telah berulang kali melaporkan situasi di Tanah Papua kepada semua pihak termasuk KWI. Laporan-laporan ini, kata mereka, selalu disampaikan dalam pertemuan rapat tahunan, rapat pleno tiga (3) tahunan KKP PMP KWI maupun dalam pertemuan KWI lainnya. Beberapa kasus yang baru dilaporkan, seperti kasus pembunuhan terhadap 3 warga sipil oleh militer di Rumah Sakit Sugapa Intan Jaya. Selain itu, ada juga laporan situasi konflik terkini di Intan Jaya, yang berdampak pada terjadinya pengungsian masyarakat sipil, yang menjadi tanggung jawab Gereja Katolik Keuskupan Timika. Laporan-laporan tersebut diserahkan langsung oleh SKP Timika Kardinal Suharyo, pada 7 April 2021.

Laporan lainnya adalah peristiwa penembakan oleh TNI terhadap 5 warga sipil (4 tewas dan 1 cacat permanen) di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat. Laporan ini juga ditandatangani langsung oleh Mgr. Aloysius Murwito OFM, Uskup Keuskupan Agats. Koordinator SKP Keuskupan Timika Saul Wanimbo mengatakan, dengan adanya laporan-laporan tersebut, maka KWI atau Kardinal Suharyo tidak lagi mempunyai alasan untuk mengatakan tidak mendapat informasi apa pun dari keuskupan-keuskupan di tanah Papua. Adapun laporan-laporan SKP se-Papua yang disertai data dan fakta di Tanah Papua, isinya menolak pendekatan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan merekomendasikan dialog damai demi kebaikan dan kedamaian di Tanah Papua.

“Laporan-laporan ini, di satu sisi bersifat informatif bagi KWI yang jauh dari situasi konkret di Tanah Papua, di sisi lain menjadi landasan bagi arah advokasi dan keberpihakan KWI terhadap orang di Tanah Papua. Tampaknya KWI terlalu takut atau berhati-hati dengan pemerintah, sehingga temuan-temuan dari jaringan akar rumput kelompok gereja atau umat di Tanah Papua tidak ditindaklanjuti oleh KWI, ” tulis mereka.

Sementara itu, Kardinal Suharyo yang juga menyinggung soal “undang-undang internasional” sebagai landasan dukungan terhadap “sikap pemerintah” soal Papua, menurut mereka, bermasalah. Indonesia, kata mereka, selalu disorot oleh badan-badan HAM internasional terkait masalah pelanggaran HAM di Papua yang tidak hanya jumlahnya meningkat, tetapi juga minim akuntabilitas dari negara. “Ini paling tidak selalu keluar dari hasil evaluasi Indonesia di bawah Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Anti-Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan baru-baru ini Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.”

Dalam berbagai review atau penilaian yang dilakukan badan-badan HAM internasional tersebut, lanjut mereka dalam pernyataan itu, Indonesia selalu diulang-ulang soal masalah pembunuhan di luar proses hukum oleh aparat keamanan, penangkapan dan penahanan semena-mena terhadap ekspresi politik damai, buruknya pelayanan Kesehatan dan pendidikan, investasi ekonomi yang mengabaikan konsultasi bermakna dengan masyarakat adat setempat dan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, hingga minimnya tanggung jawab negara terhadap para pengungsi internal karena intensitas konflik bersenjata antara pasukan keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan bersenjata. “Jelas Indonesia masih tidak mematuhi hukum HAM internasional,” pungkas mereka.

(Ian)



Leave a Reply