Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Tanda Domba Kristus dan 3 Ciri Khusus dan Mendengar Suara Allah Menghasilkan Iman – Bagian 2




eBahana.com – Kita sudah melihat, dalam berbagai periode sejarah, Allah berurusan dengan umat manusia dengan cara-cara berbeda. Dalam bahasa teologikal, “dispensasi” adalah istilah yang digunakan untuk periode-periode berbeda Allah berurusan dengan umat manusia.

Mari kita rekapitulasi tiga dispensasi utama. Pertama, dispensasi Patriark – ketika Allah berurusan dengan individu-individu dan keluarga mereka dalam hubungan pribadi. Kedua, dispensasi Hukum – ketika Allah menempatkan bangsa Israel dibawah hukum khusus dan berurusan dengan mereka melalui bait dan keimamatan. Ketiga, dispensasi Injil – dimana kita hidup hari ini. Injil proklamasi universal dari Allah kepada seluruh umat manusia mengenai keselamatan melalui Yesus Kristus, dan mensyaratkan respons individual dari setiap orang yang mendengarnya.

Dalam setiap dispensasi berbeda ini, satu persyaratan umum yang tidak berubah bagi semua umat Allah adalah “mendengar suara- Nya.”

Dalam Perjanjian Baru, ajaran-ajaran Yesus membawa pesan sama yang dicatat dalam Perjanjian Lama dengan contoh Musa dan Yeremia. Kita harus melihat lagi mengenai persyaratan ini, “tidak ada yang berubah.” Mungkin ada perubahan konteks dan keadaan, namun amanat penting mendengar dan mentaati suara Tuhan masih tetap sama.

Sehubungan dengan ini, kita mengutip beberapa ayat dari Yohanes 10, dimana Yesus mempresentasi diri-Nya sebagai Gembala yang Baik. Berikut bagaimana Yesus menggambarkan hubungan antara gembala sejati dan domba-dombanya, menggunakan analogi ini untuk menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala dan umat-Nya sebagai domba: “Untuk dia penjaga [gembala] membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar” (Yohanes 10:3).

Apa tanda domba Yesus? “Mereka mendengarkan suara Gembala.” Yohanes 10:4 menambah elemen penting lain: “Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya.”

Apa dasar hubungan kita dengan Tuhan Yesus? Kita “mengikuti”- Nya. Kenapa? Karena kita mengenal suara-Nya. Ayat berikut mengklarifikasi poin ini: “Tetapi seorang asing pasti tidak mereka (domba-domba) ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:5).

Sekali lagi, kita melihat segala sesuatu berputar disekitar mendengar dan mengetahui suara Tuhan. Umat Allah mengenal suara-Nya, dan mereka mengikuti-Nya. Mereka tidak akan mengikuti penipu- penipu. Mereka tidak akan mengikuti nabi-nabi palsu dan guru-guru sesat. Kenapa?

Karena mereka mengenal suara-suara yang lain bukan suara Tuhan. Fakta mereka “mengenal” suara Tuhan memampukan mereka menjaga diri ditipu oleh nabi-nabi dan guru-guru palsu.

Sampai titik ini, Yesus berbicara mengenai orang-orang percaya diantara umat Israel. Namun dalam Yohanes 10:16, Ia melanjutkan berbicara tentang orang-orang dari bangsa-bangsa lain: “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain; yang bukan dari kandang ini; domba-domba ini harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.”

Apa yang menarik orang-orang percaya dari semua bangsa non- Yahudi datang pada Yesus? Bagaimana mereka bisa datang pada- Nya? “Ayat” ini memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini: “mereka akan mendengarkan suara-Ku.” Itu tanda karakteristik semua yang datang pada Yesus dan mengikuti-Nya sebagai gembala mereka.

Apa yang Yesus katakan dalam konteks ini sangat signifikan untuk mencapai persatuan Kristen: “mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yohanes 10:16). Apa jalan mencapai persatuan diantara orang- orang percaya? Bukan melalui perencanaan dan organisasi. Bukan melalui diskusi-diskusi doktrinal atau teologikal. Persatuan datang sementara kita belajar mendengarkan suara Tuhan. “Mereka akan mendengar suara-Ku,” Yesus berkata, “dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (ayat 16).

Kemudian dalam Yohanes 10, Yesus menyimpulkan prinsip mendengar suara-Nya ini dengan mengatakan, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27).

Tiga ciri yang mengidentifikasi pengikut sejati Tuhan: Pertama, mereka mendengar suara-Nya. Kedua, Ia mengenal mereka – Ia mengenal mereka dan mengakui mereka. Ketiga, mereka mengikuti- Nya.

Menjadi pengikut Yesus bukan perkara menjadi bagian dari kelompok agamawi khusus. Yesus tidak berbicara dalam hal Katolik, Protestan, atau denominasi spesifik mana pun. Menjadi pengikut juga tidak terikat pada bentuk penyembahan tertentu atau mengikuti doktrin khusus. Yesus “tidak” berkata, “umat-Ku datang dari satu kelompok khusus yang melakukan hal-hal dengan cara tertentu.” Namun Ia berkata, “Ada tanda-tanda karakteristik yang mengkhususkan umat-Ku.

Ciri-ciri ini membedakan mereka dari semua yang lain. Tanda-tanda karakteristik membuat mereka berbeda, dan membuat mereka milik-Ku. Ini ciri-ciri mereka: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.”

Kita harus menyadari bahwa, pada zaman-zaman alkitab, gembala tidak menyetir dombanya. Ia “memimpin” mereka. Bagaimana ia memimpin mereka? Melalui bunyi suara-Nya. Domba tidak mengikuti dengan melihat. Mereka mengikuti dengan mendengarkan pada-Nya – dan mereka selalu pergi kemana mereka mendengar suara gembala. Jika kita mengaplikasikan analogi alkitabiah ini pada hidup kita, kita melihat “mustahil” mengikut Tuhan kecuali kita mendengar dan mengenal suara-Nya.

Yesus tidak mengatakan pada kita, “domba-Ku membaca Alkitab.” Penting membaca Alkitab. Namun hanya membaca Firman tidak cukup. Banyak orang membaca Alkitab namun tidak mendengar suara Tuhan. Bukan membaca Alkitab yang memampukan kita mengikuti-Nya. Mendengarkan suara-Nya, apakah melalui Firman- Nya atau melalui cara-cara spiritual lainnya. Seperti Yesus nyatakan begitu jelas, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27).

Kita sudah dengan jelas meletakkan bahwa persyaratan tertinggi untuk hubungan terus menerus dengan Tuhan – satu dasar yang tidak berubah – adalah mendengarkan suara-Nya.

Persyaratan ini disimpulkan dalam kitab Yeremia, dimana Allah berkata melalui nabi kepada umat-Nya Israel, “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu” (Yeremia 7:23).

Merepresentasi apa yang Allah syaratkan dari umat-Nya dalam semua zaman, semua dispensasi, semua kebudayaan, dan semua latar belakang. Banyak faktor dalam kehidupan umat Allah bisa berubah. Namun satu persyaratan ini tidak pernah berubah. Allah berkata, “Apakah kamu ingin Aku menjadi Allahmu? Maka taati suara-Ku.”

Kita juga melihat persyaratan fondasional yang Yeremia nyatakan dalam Perjanjian Lama adalah persyaratan sama yang Yesus ekspresikan dalan Perjanjian Baru: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Ayat ini menggambarkan tiga tahap dalam proses mengikuti Yesus. Dimulai dengan kita mendengarkan suara Yesus. Ketika kita mendengar suara-Nya, Ia mengenal kita – Ia mengakui kita, memperhatikan kita, dan mengakui bahwa kita milik- Nya. Lalu, kita mengikuti-Nya.

Sesuai pola penggembalaan dalam masa-masa alkitabiah, domba tidak disetir oleh gembalanya. Mereka “mengikutinya”. Domba mengikuti karena mereka mendengar suara gembala. Jika mereka tidak mendengar suaranya, mereka tidak bisa mengikutinya. Pola yang sama berlaku pada hubungan kita dengan Yesus. Jika kita tidak mendengar suara-Nya, kita tidak bisa mengikuti-Nya. Kita harus mendengar suara-Nya “sebelum” kita bisa mengikuti. Itu yang membuat kita domba-Nya.

Kita akan melihat tiga ciri yang membedakan suara Allah – ciri-ciri yang secara signifikan berbeda dari banyak apa yang secara tradisional diterima sebagai tipikal perilaku atau aktifitas agamawi. Jadi, dalam banyak cara, pesan ini revolusioner. Mungkin kedengaran sederhana, namun ketika kita benar-benar memasukkannya ke hati dan mulai mengaplikasikannya, akan merubah standar-standar kita. Akan merubah nilai-nilai kita. Akan merubah cara kita hidup.

Ini tiga ciri mendengarkan suara Allah yang patut jadi pertimbangan kita: Pertama, mendengarkan suara Allah bersifat “pribadi.” Kedua, mendengarkan suara Allah “tidak berwujud.” Ketiga, mendengarkan suara Allah terjadi “dimasa kini.” Tidak di masa lalu. Tidak di masa depan. “Selalu” di masa kini.

Mendengarkan suara Allah sangat pribadi. Kenapa? Tidak ada dua suara persis sama; setiap suara individual. Suara adalah satu ciri paling berbeda dari kepribadian manusia. Itu kenapa Yesus bisa berkata, “Tetapi seorang asing pasti tidak mereka [domba-domba] ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (Yohanes 10:5).

Kita lihat, perlindungan kita dalam mendengarkan suara Tuhan dihubungkan pada-Nya secara individual dan secara pribadi. Kita tidak hanya berhubungan dengan tokoh sejarah. Kita tidak hanya berhubungan dengan suatu gerakkan atau doktrin. Melainkan, kita terkoneksi dengan Tuhan Sendiri melalui suara-Nya. Ini melibatkan hubungan intim pribadi langsung antara kita dengan-Nya.

Dalam dunia di sekitar kita, penggunaan peralatan aktifasi suara makin bertambah. Hanya satu suara harusnya bisa membuka hati kita – suara Tuhan Sendiri. Kita akan mengalami kesedihan dan masalah mengerikan jika kita membuka pintu hati kita pada orang yang salah. Banyak tragedi dan masalah di dunia hari ini bisa ditelusuri pada orang-orang baik yang memberi akses ke hati mereka kepada individu-individu jahat. Banyak orang belajar melalui pengalaman ketika mereka membuka hati mereka pada individu- individu yang salah atau suara-suara salah, masalah serius terjadi.

Kita harus berpikir mengenai hati kita sebagai alat aktifasi suara yang aman. Biarkan hati kita merespons terutama pada suara Tuhan. Ketika kita membuka hati kita pada Tuhan, kita tidak akan disakiti, kita tidak akan pernah ditipu, dan kita tidak akan pernah dikecewakan.

“Aktifasi-suara” diatas adalah dasar hubungan Gembala – domba. Dalam Mazmur 23, Daud mendiskusikan satu dari faedah-faedah utama hubungan ini: “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (ayat 1).

Berdasarkan hubungan pribadinya dengan Tuhan, Daud yakin bahwa semua kebutuhannya akan disediakan. Bagaimana Tuhan bisa menjadi Gembala kita? “Hanya” jika kita mendengar suara-Nya. Ingat Yesus, berkata, “Domba-Ku mendengar suara-Ku” (Yohanes 10:27). “Jika” kita mendengar suara-Nya, menegaskan bahwa Ia Gembala kita, maka semua kebutuhan kita akan dipenuhi. Tidakkah itu indah? Ini satu dari alasan-alasan utama kita perlu mengkultivasi kemampuan kita mendengar suara Tuhan.

Kedua, mendengarkan suara Tuhan proses tidak berwujud – tidak kelihatan (intangible). Kita tidak bisa memahaminya dengan pandangan kita, menyentuhnya dengan tangan kita, atau bahkan memahaminya dengan persaan kita. Hanya ada satu indera yang bisa mempersepsi suara, Apa itu? Indera mendengarkan.

Banyak dari aktifitas-aktifitas agamawi kita diasosiasikan dengan sesuatu yang berwujud nyata. Ketika kita berpikir tentang agama, kita sering menggambarkan obyek-obyek dalam ruang dan waktu: gedung gereja, mimbar, keyboard, jendela kaca patri, buku doa, buku nyanyian rohani, dan jubah khusus pendeta.

Sebagai kontras, mendengarkan suara Allah tidak memiliki ciri-ciri berwujud, dan tidak terbatas pada tempat khusus. Tidak perlu mengunjungi gedung spesifik yang dipenuhi dengan bangku atau memakai tipe baju tertentu. Dari sudut tertentu, sangat sulit karena kita tidak memiliki apa-apa fisikal untuk dipegang. Jika kita benar- benar ingin mendengar suara Allah, kita harus meninggalkan asosiasi-asosiasi agamawi lama yang mungkin sudah kita lihat di masa lalu. Dengan semua yang berwujud dilucuti, sehingga kita hanya tersisa dengan hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan – hubungan yang tidak terlihat.

Ciri ketiga, mendengarkan suara Allah selalu hadir, dalam arti waktu. Mendengarkan suara Allah tidak pernah terjadi di masa lalu dan tidak pernah terjadi di masa depan. “Selalu” terjadi sekarang.

Hanya “sekarang” kita bisa langsung mendengar suara. Kita bisa mengangkat buku, membacanya, meletakkannya kebawah. Namun suara didengar hanya pada saat sekarang. Suara tidak memiliki masa lalu. suara tidak memiliki masa depan. Melibatkan kita di “saat sekarang”

Jadi, ketika kita berhubungan dengan Allah melalui mendengarkan suara-Nya, kita merespons pada-Nya dalam alam kekal saat sekarang. Allah selalu “sekarang.” Ada perasaan tertentu mengenai Allah di masa lalu atau di masa depan. Namun, secara esensial, kita selalu tahu dalam alam kekal saat sekarang, dan suara-Nya selalu di masa kini.

Sayangnya, bagi orang-orang agamawi banyak dari pikiran mereka di masa lalu atau masa depan. Orang-orang Kristen sering berbicara tentang apa yang terjadi pada masa Musa, atau pada masa Yesus, atau pada masa Petrus. Semua itu di masa lalu. Atau fokus mereka betapa indahnya ketika mereka di surga.

Kita tidak hidup di masa lalu, dan kita tidak hidup di masa depan. Kita hidup di masa sekarang. Karena mereka fokus pada masa lalu atau masa depan, banyak orang-orang agamawi hampir tidak hidup sama sekali. Namun ketika kita menyadari kita harus berhubungan dengan Allah melalui mendengarkan suara-Nya, memaksa kita kedalam hubungan saat ini dan pengalaman saat ini dengan-Nya.

Penting untuk dicatat ketika Allah menampakan diri ke Musa ditengah semak-semak terbakar dan mengutusnya membebaskan umat-Nya dari Mesir, Musa bertanya pertanyaan sangat praktikal. Tuhan menjawab pertanyaan ini dengan pewahyuan besar: “Lalu Musa berkata kepada Allah: Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? – apakah yang harus kujawab kepada mereka?”

Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” Lagi firman-Nya: Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu” (Keluaran 3:13-14).

AKU masa kini. Bukan masa lalu atau masa depan. Nama Allah di masa kini. Allah hidup “sekarang.” Hubungan kita dengan-Nya harus sekarang. Ketika kita belajar mendengar suara Tuhan, kita bisa menikmati hubungan pribadi masa kini dengan-Nya.

Sementara kita mempelajari kebutuhan kita untuk hubungan dengan Allah, mungkin kita menyadari bahwa kita sudah bergeser dari posisi itu. Kita mungkin harus mengakui sudah lama sejak kita mendengar Tuhan berbicara pada kita.

Mungkin ini saat yang baik untuk memperbaharui koneksi itu, dan bertanya pada Tuhan untuk mengijinkan kita mendengar suara-Nya lagi. Mari kita berdoa doa berikut: “Tuhan yang terkasih, saya ingin mendengar suara-Mu lagi. Saya rindu Engkau berbicara pada saya – menuntun saya, menghibur saya, dan mengarahkan hidup saya. Saya ingin hati saya terbuka hanya pada bunyi suara-Mu. Tolong Engkau buat itu terjadi sekali lagi, Tuhan Saya minta Engkau berbicara pada saya – dan saya membuka hati saya dan kuping saya untuk mendengar suara-Mu sekali lagi. Dalam nama Yesus. Amin.”

Kita beralih ke hasil mendengarkan suara Allah yang tidak terhitung nilainya bagi kita: iman. Tidak ada cara yang kita bisa ekspresikan pentingnya hasil ini.

Banyak orang merindukan iman, sehingga mereka bergulat mendapatkannya, berlari kesana kemari mencarinya. Meski demikian, mereka tidak berhasil menggunakan pendekatan ini. Kenapa tidak? Karena mereka belum menemukan rahasia iman: bahwa iman datang melalui mendengarkan suara Allah. Prinsip ini dinyatakan dalam kitab Roma: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17).

Untuk mengerti prinsip ini, kita harus mengakui dalam Perjanjian Baru, ada dua istilah berbeda yang bisa diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai “kata”: “logos” dan “rhema.” Esensial bagi kita mengetahui perbedaan diantaranya. Jika tidak, akan sulit memahami arti dari apa yang kita bahas.

Mari kita lihat kata “logos” dulu. “Logos” satu dari konsep besar bahasa Yunani. “Logos” memiliki semua jenis arti. Kata komprehensif, diantara definisi-definisi “pikiran,” ” nasihat,” atau “akal.”

Seperti digunakan dalam Alkitab, “logos” mengacu pada pikiran Allah atau nasihat Allah. Menandakan tujuan total-Nya. Sebagai contoh, ini apa yang Daud katakan tentang Firman Allah dalam Mazmur 119:89 (istilah asli untuk “kata” dalam Ibrani “dabar,” sesuai dengan kata Yunani “logos”): “Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga.”

Alkitab New International Version menterjemahkan ayat ini: “firman-Mu, kekal TUHAN, berdiri teguh di sorga.”

Firman Allah kekal. Diluar waktu. Di surga. Tetap. Tidak pernah berubah. Dari awal sampai akhir, selalu disana, sepanjang waktu. “Logos” merepresentasi pikiran, nasihat, dan tujuan Allah.

Alkitab mengatakan pada kita bahwa “logos” – nasihat Allah ini – disimpulkan dalam satu Pribadi. Yohanes 1:1-2 berkata, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.”

Yesus personifikasi “logos.” Ia perwujudan pikiran, nasihat, dan tujuan total Allah. Kata-kata Yesus: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yohanes 14:9). Yesus mengatakan Ia merepresentasi segala sesuatu siapa Bapa, segala sesuatu apa yang Bapa lakukan, dan segala sesuatu yang Bapa tuju, kehendaki dan rencanakan.

Maka, mari kita mengingat bahwa “logos” tetap teguh selama- lamanya di surga. Tidak bisa dirubah karena kekal.

“Rhema” memiliki arti berbeda daripada “logos,” meski kadang- kadang konotasi-konotasi dari kata-kata ini bisa tumpang tindih. Istilah “rhema” secara spesifik mengacu pada “kata yang diucapkan.” Bukan “rhema” jika tidak di ucapkan. Firman Allah, nasihat Allah, selama-lamanya tetap teguh di surga – apakah di ucapkan atau tidak. Disana dan kekal. Namun “rhema” firman Allah yang “diucapkan.”

Kita tidak harus mendengar firman ini secara kedengaran (audible). Bisa datang kepada kita melalui Kitab Suci atau bahkan melalui sesuatu yang orang lain katakan pada kita. Allah sering berbicara kepada kita dalam roh kita, dan kita belajar mengenali ketika Ia secara spesifik berkomunikasi dengan kita.

Tolong catat apa yang Yesus katakan menggunakan kata “rhema” dalam Matius 4: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman (rhema) yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4).

Yesus berbicara tentang setiap “rhema” yang keluar dari mulut Allah. Setiap firman yang “keluar.” Jika kita bisa menggambarkannya, nasihat Allah di surga – kekal, tidak berubah, lengkap. Sebagai manusia, kita tidak tahu seluruh nasihat Allah.

Pikiran terbatas kita tidak bisa untuk memahami seluruh nasihat-Nya. Jadi, apa yang Allah lakukan? Ia memberi porsi demi porsi dari nasihat itu kepada kita dalam bentuk “rhema.”

Kita hidup dengan setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Nasihat total Allah di impartasi kepada kita dalam porsi demi porsi sementara kita bisa menerimanya – “rhema” demi “rhema.” Implikasinya Allah memiliki “rhema” untuk kita setiap hari. Yesus berkata secara esensi, “Manusia hidup bukan dari roti saja; melainkan, setiap hari, manusia hidup dari firman Allah yang keluar.” Firman Allah – “rhema” yang keluar dari mulut Allah – akan menjadi porsi kita untuk hari itu.

Untuk meringkas perbedaan antara “logos” dan “rhema,” “logos” nasihat kekal Allah yang tidak berubah di surga, sementara “rhema” firman pribadi Allah yang ucapkan pada kita. Mari kita simpan definisi-definisi ini di pikiran sementara kita lihat lagi Roma 10:17, “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Istilah terjemahan “firman” disini adalah “rhema.” Iman datang dari mendengarkan “rhema” – firman Kristus yang di ucapkan. Jika tidak “diucapkan,” kita tidak bisa mendengarnya. Kita tidak bisa mendengar “logos.”; nasihat kekal Allah di surga. Namun kita bisa mendengar “rhema,” yang membawa kita porsi nasihat Allah yang kita butuhkan pada saat tertentu. Datang pada kita secara pribadi. Dan itu bagaimana iman timbul.

Perhatikan Roma 10:17 tidak berkata iman datang dari membaca Alkitab. Banyak orang berpikir begitu. Kenapa tidak? Kita bisa membaca Alkitab namun tidak mendengar apa-apa! Kita bisa membaca Alkitab selama satu jam dan tidak menerima iman.

Di waktu-waktu lain, kita bisa membuka Alkitab dan mendapatkan satu kalimat loncat dari halaman kepada kita. Ketika kita melihatnya, kita berseru, “Itu yang Allah katakan pada saya.” Kadang-kadang di luar dugaan, ketika kita membuka Alkitab, Roh Kudus memfokuskan mata kita pada satu ayat. Sementara kita membaca ayat itu, Allah berkata, “Ini “rhema”-Ku untukmu saat ini.”

Ketika kita mendengar “rhema” itu, ada yang terjadi lebih daripada kita hanya membaca Alkitab. Allah mengkomunikasikan firman pribadi pada kita. Menerima firman itu mensyaratkan suara-Nya berbicara pada kita. Iman datang dari “mendengarkan” firman Allah yang diucapkan.

Apakah kita bisa melihat bagaimana iman bergantung pada “rhema”? Semua berpusat disekitar “mendengarkan” suara Allah. Prinsip ini sesuai dengan ayat-ayat berikut, ”  Dengarkanlah suara- Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu” (Yeremia 7:23) dan “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit mana pun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir” (Keluaran 15:26). Semua bagian dari proses yang sama dengan mendengarkan suara Allah.

Mari kita lihat sekali lagi Roma 10:17: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman (rhema) Kristus.”

Jadi, ada proses melaluinya iman datang, dan jika kita bisa berpegang pada proses ini, akan merubah hidup kita. Ada tiga tahap dalam proses ini: Pertama, kita cari “rhema” Allah dalam Firman-Nya, minta tuntunan-Nya. Kedua, kita merespons. Kita membuka diri kita pada Firman Allah. Ini berarti kita dalam sikap menginginkan mendengar apa yang Allah katakan pada kita. Ketiga, dari pendengaran kita, iman datang. Sering, ada elemen waktu dalam tahap mendengarkan. Mendengarkan tidak biasanya terjadi secara instan. Kadang-kadang bisa datang langsung, namun sering terjadi dalam jangka waktu.

Untuk iman datang, kita harus memposisikan diri kita dengan sikap atau kerangka berpikir tertentu. Kita bisa sedang membaca Alkitab atau mendengarkan kotbah, namun firman melayang melewati kita. Untuk mendengar suara Allah, kita perlu tenang didalam keheningan batin – kondisi dimana pikiran kita beristirahat dan proses sibuk mental kita di berhentikan sejenak. Ini titik dimana kita “mendengarkan.” Dan dari pendengaran itu iman datang.

Kita harus mengkultivasi kemampuan mendengar ini. Terbuka pada apa yang Allah katakan pada kita secara pribadi. Ingat kata “rhema” akan selalu sejalan dengan Kitab Suci; tidak akan kontradiksi dengan Firman Allah. Kita akan menemukan bahwa “rhema” Allah kepada kita firman yang membangkitkan – membuat hidup dan bersifat pribadi melalui Roh Kudus.

Ini bagaimana iman datang – melalui mendengarkan suara Allah.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply