Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Mendengar Dari Hati dan Persyaratan-Persyaratan untuk Mendengar – Bagian 4




eBahana.com – Kita tahu persyaratan dasar, yang tidak berubah, untuk hubungan terus menerus dengan Allah adalah “mendengar suara-Nya.” Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menyimpulkan fakta ini dalam satu pernyataan singkat, yang disampaikan oleh nabi Yeremia: “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu” (Yeremia 7:23).

Dalam semua zaman dan dispensasi, Allah berkata, “Satu respons tertinggi yang berarti adalah mentaati suara-Nya. Lalu, Aku akan menjadi Allahmu.”

Dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan satu tanda yang mengidentifikasi semua itu, dalam setiap zaman, pada murid-murid sejati-Nya: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku” (Yohanes 10:27).

Apa yang Yesus gambarkan disini bukan label denominasional. Bukan penekanan doktrinal khusus. Melainkan, Ia menggambarkan mereka yang mendengar suara-Nya dan mengikut-Nya.

Mendengarkan suara Yesus esensial untuk menjadi pengikut-Nya. Iman sejati datang sebagai hasil dari mendengarkan suara Allah: “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17).

Sementara kita mengkultivasi praktik mendengarkan firman pribadi Allah pada kita setiap hari, menjadi roti segar setiap hari, yang memberi kita makan secara spiritual. Melalui praktik ini, kita menerima pengarahan dan kekuatan tiap hari untuk hidup terus menerus dengan Allah.

Kita akan membahas bagaimana kerja mendengarkan suara Allah. Kita akan menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita bisa mendengar suara Allah.

Mari kita mulai dengan kembali pada ajaran Yesus dalam Injil. Sering sekali, Ia berbicara tentang orang-orang yang membutuhkan “telinga untuk mendengar,” khususnya ketika Ia berbicara tentang perumpamaan. Sebagai contoh, dalam Injil Markus, setelah Yesus memberi perumpamaan penabur, Ia berkata, “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Markus 4:9).

Sedikit lebih jauh dalam pasal yang sama, Yesus berkata, “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Markus 4:23).

Apa artinya memiliki “telinga untuk mendengar”? Sudah pasti Yesus tidak mengacu pada telinga fisikal dan pendengaran natural.

Semua orang yang mendengarkan ajaran-Nya memiliki dua telinga fisikal – bahkan mungkin, mayoritas dari mereka. Dan sebagian besar dari mereka tidak tuli secara fisikal.

Walaupun demikian, Yesus berkata, “Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” Apa yang Ia bicarakan? Ia mengacu pada kondisi terdalam di hati. Apa esensi yang Yesus katakan kita harus mendengar Allah dengan hati.

Bagaimana mungkin kita memiliki hati untuk mendengar Allah – hati yang mendengar?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita beralih ke contoh kehidupan Salomo. Awal pemerintahan Salomo sebagai raja Israel, Tuhan menampakkan diri padanya dalam mimpi dan bertanya padanya pertanyaan vital – “Apa yang kamu kehendaki?” – dalam bentuk pernyataan: “Di Gibeon itu TUHAN menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi pada waktu malam. Berfirmanlah Allah: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu” (1 Raja-Raja 3:5).

Ini bagaimana Salomo menjawab Tuhan: “Maka sekarang, ya TUHAN, Allah-ku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman.

Demikianlah hamba-Mu ini berada di tengah-tengah umat-Mu yang Kaupilih, suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya” (1 Raja-Raja 3:7-8).

Ketika Salomo dikonfrontasi dengan situasi yang terlalu besar baginya, ia menyadari ia tidak bisa menanganinya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, apa yang harus ia minta? Ini bagaimana ia merespons: “Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini” (1 Raja-Raja 3:9).

Setelah mencatat jawaban Salomo, penulis alkitabiah membuat komentar, “Lalu adalah baik di mata Tuhan bahwa Salomo meminta hal yang demikian” (ayat 10).

Dalam ayat 9, Alkitab New International Version merepresentasi frasa “hati yang membedakan,” dalam Ibrani asli secara harfiah dikatakan, “hati yang mendengar.” Itu kualitas apa yang kita bicarakan secara spesifik disini – dan, kita membutuhkan “hati yang bisa mendengar Allah.” Sebagai hasil dari permintaannya, Salomo menerima karunia apa yang ia minta dari Allah. Allah memberinya hati yang mendengar – membedakan karena ia memintanya.

Apakah kita pernah minta pada Allah hati yang mendengar? Kita tahu dengan hati kita – bukan telinga fisikal – kita mendengar suara Allah. Apakah kita sadar bahwa itu akan membuat perbedaan besar dalam hidup kita jika kita bisa mendengar suara Allah dengan hati kita?

Kita perlu menjaga hati kita. Hati kita tempat dimana kita menyimpan harta. Hanya suara Tuhan yang boleh membuka hati kita untuk menerima tujuan-tujuan kekal dan pengarahan-Nya untuk kehidupan kita.

Kata-kata Salomo berikut mengingatkan kita akan kebenaran ini: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23).

Apa yang kita simpan dalam hati kita akan menentukan arah hidup kita. Hati kita tempat penyimpanan harta yang lebih berharga daripada tempat penyimpanan manapun.

Ingat Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Domba-domba-Nya tidak akan mengikuti orang asing karena mereka tidak mengenal suara orang asing. Betapa penting memiliki hati yang hanya terbuka pada suara Tuhan – bukan orang asing! Hati seperti apa yang Allah ingin kita miliki? “Hati yang mendengar.” Dalam roh kita, kita memiliki telinga untuk mendengar. Dalam bagian yang paling dalam dari diri kita, kita memiliki hati yang merespons pada suara Tuhan.

Jika kita ingin memiliki hati yang mendengar, penting bagi kita menghindari kondisi yang berlawanan, ketulian spiritual. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Alkitab memiliki banyak untuk dikatakan tentang ketidakmampuan orang-orang mendengar suara Allah. Yesus mengindikasikan mereka yang tidak bisa mengerti perumpamaan-perumpamaan-Nya tuli secara spiritual. Dalam Injil Matius, Ia menjelaskan dengan cara: “Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti.

Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap.

Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka” (Matius 13:13-15).

Yesus memberi kita gambaran orang-orang yang tidak memiliki hati untuk mendengar suara Tuhan. Mereka tuli dalam batin. Dalam gambaran ini, Yesus menggunakan kata yang sangat signifikan, yang juga sangat menakutkan: “Hati orang-orang ini tanpa perasaan.” Apa yang Ia katakan? Hati mereka tidak merespons pada Allah lagi. Tidak sensitif lagi.

Kita melihat ide serupa dalam peringatan Perjanjian Lama ini kepada orang-orang Israel dalam Mazmur 95: “Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya!

Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun” (ayat 7-8).

Allah berkata tentang mereka yang “mengeraskan” hati: “Empat puluh tahun Aku jemu kepada angkatan itu, maka kata-Ku: “Mereka suatu bangsa yang sesat hati, dan mereka itu tidak mengenal jalan-Ku.

Sebab itu Aku bersumpah dalam murka-Ku: “Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku” (ayat 10-11).

Banyak umat Allah hari ini tidak pernah benar-benar masuk kedalam perhentian Tuhan. Mereka mengembara di belantara, diluar tanah perjanjian. Apa alasan untuk ini? Mungkinkah mereka belum mendengar suara Allah? (Satu-satunya jalan untuk masuk kedalam perhentian Allah adalah dengan mendengarkan suara-Nya).

Tuli spiritual – dari Perjanjian Baru dan dari Perjanjian Lama – dua kata signifikan yang menggambarkan kondisi hati itu: “tanpa perasaan” dan “mengeraskan.” Hati-hati dengan karakteristik tidak mendengar ini. Apa lawan tanpa perasaan dan mengeraskan hati? Kata signifikan-nya “sensitif.” Kita harus mengkultivasi sensitifitas dalam batin terhadap Tuhan dan suara-Nya.

Miliki hati yang selaras dengan-Nya sehingga ketika Ia berbicara, kita mendengar suara-Nya. Dan “memiliki sesuatu arti” untuk kita. Ini satu kunci untuk menerima berkat terus menerus dari Allah dan masuk kedalam warisan kita dalam-Nya.

Menyedihkan melihat orang-orang yang disebut dalam Mazmur 95 yang mengembara di belantara bertahun-tahun. Orang-orang Israel sudah bisa berada di tanah perjanjian lebih awal jika mereka mengkultivasi hati yang sensitif terhadap suara Tuhan.

Mari kita berdoa: “Bapa, terima kasih untuk Firman-Mu dan Roh-Mu, yang membangkitkan hati saya untuk mendengar suara-Mu. Terima kasih untuk kasih-Mu yang besar untuk saya. Terima kasih untuk teguran- Mu karena kasih-Mu untuk saya.

Saya minta Engkau mengampuni saya karena begitu sering saya mengambil inisiatif mengatur hidup saya sendiri. Tolong saya mengkultivasi hati yang lembut dan sensitif yang bisa mendengar suara-Mu, dan beri saya keberanian untuk hidup sesuai pimpinan- Mu. Saya minta Engkau memberi saya “hati yang mendengar,” seperti Engkau beri kepada Salomo, agar saya bisa fokus mendengar Engkau. Dalam nama Yesus saya berdoa. Amin.”

Tidak ada faktor lebih penting daripada belajar mendengar suara- Nya – dan mendengarkannya dengan benar. Mendengarkan suara Allah dengan benar biasanya faktor kunci dalam mencapai keberhasilan spiritual sejati.

Kita melihat orang-orang gagal mendengar suara Allah ketika hati mereka “tanpa perasaan” dan “mengeras.” Ini artinya kita harus mengkultivasi sensitifitas dalam hati kita.

Kita juga ditantang oleh doa Salomo, “Beri aku hati yang mendengar.” Kita melihat Tuhan senang dengan permintaan itu.

Sementara kita mengembangkan sensitifitas, kita perlu mengerti karakteristik Allah ini: Ia tidak berteriak. Banyak orang menggambarkan Allah sebagai sosok besar bersuara keras. Namun itu bukan Allah sama sekali. Jarang dalam Kitab Suci kita melihat bukti Tuhan berteriak. Kita akan melihat contoh dimana Allah berbicara dengan berbisik.

Mari kita ringkas enam persyaratan untuk mendapatkan sensitifitas hati yang bisa mendengar suara Allah – bahkan ketika Ia berbicara dengan berbisik.

Dua persyaratan pertama berhubungan erat. “Perhatian” dan “kerendahan hati.” Dalam kitab Amsal, persyaratan-persyaratan ini banyak sekali disebut. Camkan di pikiran bahwa Amsal ditulis oleh Raja Salomo, orang yang minta kepada Allah hati yang mendengar.

Kita akan melihat tiga ayat dimana dua persyaratan ini digabung jadi satu. Pertama, Amsal 4:20: “Hai anak-Ku, perhatikanlah perkataan-Ku, arahkanlah telingamu kepada ucapan-Ku.”

Dua instruksi disini “perhatikanlah” dan “arahkanlah telingamu.” Mengarahkan telingamu berarti menundukkan kepala kita.

Menundukkan kepala kita sikap menghormati dengan kerendahan hati. Kita tidak berdebat dengan Allah. Kita tidak mendikte Allah.

Kita menunggu untuk mendengar dari-Nya. Mengarahkan telingamu bagian esensial dari mendengarkan dari-Nya.

Kita melihat hal yang sama dalam Amsal 5:1: “Hai anak-Ku, perhatikanlah hikmat-Ku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang Kuajarkan.”

Dalam Alkitab King James Version, “arahkanlah telingamu” digambarkan sebagai “menundukkan telingamu.” Jadi, dalam ayat ini, kita menemukan dua persyaratan sama yang diekspresikan hanya dengan sedikit bahasa yang berbeda: “perhatikanlah” dan “arahkanlah (tundukanlah) telingamu.”

Dalam Amsal 22:17: “Pasanglah telingamu dan dengarkanlah amsal-amsal orang bijak, berilah perhatian kepada pengetahuan-Ku.”

Bagian pertama ayat ini, “Pasanglah telingamu dan dengarkanlah amsal-amsal orang bijak,” memiliki implikasi jelas: pada dasarnya, jika kita tidak menundukkan telinga kita, kita tidak akan bisa mendengar. Jika kita tidak memiliki sikap yang benar terhadap Allah – sikap kerendahan hati, dan hormat – kita tidak akan mendengar. Ayat tersebut menyimpulkan dengan, “Berilah perhatian kepada pengetahuan-Ku.” Semua ayat yang dikutip menekanan kebenaran yang sama: “hati” yang mendengar suara Allah. Kita harus mengaplikasikan hati kita pada mendengarkan. Kita harus memfokuskan perhatian kita pada mendengarkan.

Mari kita simpulkan persyaratan-persyaratan ini untuk mendengar suara Allah. Pertama, kita harus memberi Tuhan perhatian individual kita, mengaplikasikan hati kita untuk mendengar-Nya.

Dalam banyak hal, konsep ini bertolak belakang secara total dengan kebudayaan masa kini, dimana sebagian besar orang terbiasa mendengarkan sedikitnya dua suara atau sumber informasi bersamaan.

Perilaku seperti itu umum dalam masyarakat masa kini. Perhatian adalah karunia dan kualitas yang banyak orang tidak miliki hari ini. Orang-orang takut kesunyian. Banyak orang selalu tampak menginginkan ada suara. Mereka menginginkan latar belakang musik – sesuatu untuk mendistraksi mereka. Ini poinnya: jika kita ingin mendengar suara Allah, kita tidak bisa berada dalam distraksi. Kita harus fokus semua hati dan pikiran kita pada Allah. Kita harus mengkultivasi perhatian.

Kedua, kita mengerti dari Kitab Suci bahwa kita harus “tunduk kebawah” atau mengarahkan telinga kita. Ini artinya kita harus rendah hati dan mudah diajar. Banyak orang membaca Alkitab atau berdoa pada Allah dengan konsepsi mereka sendiri. Mereka percaya mereka tahu apa yang Allah “harus” katakan. Mereka percaya mereka tahu apa yang Allah “akan” katakan. Jika Allah sudah mengatakan atau melakukan sesuatu berbeda dari apa yang mereka sudah pikirkan mereka tidak bisa mendengarnya. Mereka dibuat tuli oleh pikiran mereka sendiri.

Sebagian besar orang yang menjadi bagian dari denominasi agamawi tertentu membaca Alkitab dengan kecenderungan denominasional mereka. Mereka berpikir, jika tidak sesuai ajaran denominasi saya, bukan dari Alkitab. Tidak ada denominasi dengan pandangan itu seluruhnya benar. Ada berbagai kebenaran dalam Alkitab yang kita tidak banyak mendengar dalam gereja kita hari ini. Jika kita membatasi pendengaran kita dari Allah hanya pada apa yang kita sudah dengar dalam gereja, kita akan mengalami tuli spiritual. Kita akan kehilangan banyak apa yang Allah katakan pada kita.

Setelah perhatian dan kerendahan hati, dua persyaratan selanjutnya “waktu” dan “ketenangan,” yang juga sering berhubungan.

Bagaimana dua konsep ini tersingkir dari kebudayaan kita masa kini. Sebagaian besar orang hari ini tidak mengambil waktu untuk tenang. Namun praktik ini disebut banyak sekali dalam kitab Mazmur. Sebagai contoh, Mazmur 46:11 berkata, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah.”

Dari keheningan, kita mendengar suara Allah. Terjemahan alternatif dari ayat ini, “Berhenti berusaha dan ketahuilah bahwa Aku Allah.”

Dalam Alkitab New American Standard, ada catatan yang memberi gambaran tambahan untuk bagian pertama dari ayat ini: “santailah.” Jika kita kombinasikan arti yang dipresentasi dua terjemahan ini, kita mendapatkan: “Diamlah dan ketahuilah…”; “Berhenti berusaha dan ketahuilah…”; ” santailah, dan ketahuilah bahwa Aku Allah.” Mazmur 46:10 berbicara tentang kesunyian dan relaksasi – dan itu membutuhkan waktu. Paling sering, kita mendengar dari Allah ketika kita mengambil waktu untuk menunggu-Nya berbicara pada kita.

Menunggu perlu karena, seperti kita sudah lihat, Allah tidak selalu berbicara instan ketika kita memulai proses mendengarkan pada- Nya. Mazmur 62:1 mengkonfirmasi pemikiran ini: “Hanya dekat Allah saja aku tenang.”

Kata-kata Daud: “Hanya dekat Allah saja aku tenang.” Kita harus menunggu. Kita harus diam. Perhatian kita harus fokus pada satu Pribadi – Allah.

Empat ayat kemudian, Daud menunjukkan jiwanya menggunakan kata-kata: “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang” (Mazmur 62:6).

Apakah kita pernah menginstruksikan jiwa kita bagaimana menunggu? Apakah kita pernah berkata, “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang”? Penekanannya pada menunggu Allah dalam ketenangan. Ini berarti dalam sikap perhatian, hormat, diam, dan rileks – dengan hati dan pikiran kita fokus pada Tuhan.

Persyaratan kelima untuk mendengarkan suara Allah. Tidak ada persiapan lebih bagus melaluinya kita bisa mencapai sikap yang memampukan kita mendengar Tuhan daripada “menyembah.” Kebenaran ini dengan indah diungkapkan dalam Mazmur 95.

“Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita.

Sebab Dialah Allah kita, dan kitalah umat gembalaan-Nya dan kawanan domba tuntunan tangan-Nya. Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya!

Janganlah keraskan hatimu…..” (Mazmur 95:6-8).

Dalam nas ini, kita melihat peringatan terhadap mengeraskan hati kita jika kita ingin mendengar suara Allah. Cara yang baik untuk mempersiapkan hati kita adalah mengikuti ringkasan dalam Mazmur 95:6-8: Marilah kita menyembah Allah…marilah kita sujud dihadapan TUHAN….marilah kita berlutut dihadapan TUHAN…marilah kita datang dihadapan TUHAN dengan hormat….marilah kita mengakui kebesaran-Nya, keagungan-Nya, kedaulatan-Nya, dan hikmat- Nya….marilah kita buka hati kita pada-Nya.

Kitab Suci berkata, “Sebab TUHAN adalah Allah yang besar” (Mazmur 95:3). Perlu bagi kita memberi Tuhan segala hormat dan pujaan. Kita perlu mengapresiasi privilese besar mendengarkan dari- Nya. Bayangkan! Allah Mahabesar, Pencipta dan Penopang alam semesta, bersedia berbicara pada kita, secara individual. Suatu hak istimewa!

Dalam kebudayaan hari ini, ada sedikit hormat untuk otoritas. Meski demikian, Allah masih menuntut penghormatan dari kita. Kita harus datang pada-Nya dengan memuja. Kita harus menghampiri-Nya dengan hormat yang di ekspresikan dengan menyembah – merendahkan diri kita dihadapan-Nya, berlutut dihadapan-Nya, mengakui kebesaran-Nya; dan membuka hati kita pada-Nya. Dengan penyembahan kita, kita membuka diri kita mendengar dari Allah.

Kita sudah membahas lima persyaratan penting untuk mendengar Allah: perhatian, kerendahan hati, waktu, ketenangan, dan menyembah. Ada satu prasyarat tambahan: menunggu. Persyaratan ini berhubungan erat dengan menyembah.

Satu respons yang paling merendahkan diri kita mensyaratkan kita untuk “menunggu.” Paulus menulis kepada orang-orang Tesalonika “bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga” (1 Tesalonika 1:9-10). Pernyataan itu sangat menarik. Kehidupan Kristen terdiri dari apa? Pertama, melayani Allah yang hidup. Sebagian besar dari kita menerima mandat itu. Namun apakah kita memperhatikan apa yang disebut dalam bagian kedua ayat itu? Menunggu kedatangan Anak-Nya.

Yesus datang kembali untuk gereja yang menunggu. Dalam takdir Allah, akan ada waktu ketika kita tidak lagi melayani, namun kita akan “menunggu.” Kita akan selesai pelayanan kita. Namun, setelah melayani, kita perlu menunggu.

Apa yang di indikasi menunggu? Dua ciri signifikan dari menunggu. Pertama, tanda iman. Kita menunggu karena kita percaya Allah akan melakukan intervensi dalam hidup kita dan dalam dunia.

Ciri kedua menunggu menandakan ketergantungan kita pada Allah. Ini satu dari pelajaran paling penting yang kita harus belajar dalam hidup. Kita perlu dengan senang hati mengakui kita secara total bergantung pada Tuhan.

Maka, menunggu bagian integral disiplin Kristen, mendemonstrasikan iman kita pada Allah dan ketergantungan kita pada-Nya. Ekspresi kepercayaan kita bahwa Tuhan akan melakukan apa yang Ia katakan, sesuai waktu-Nya. Kita tidak bisa mendikte waktu kapan Ia akan melakukannya. Jadi, menunggu adalah pengakuan ketergantungan kita pada-Nya. Deklarasi kita, “Tuhan, saya tidak bisa melakukannya. Jika Engkau tidak melakukannya, tidak akan terjadi. Saya harus menunggu Engkau.”

Berapa lama kita harus menunggu sebelum Allah merespons pada kita? Kita benar-benar tidak tahu. Apakah kita pernah memperhatikan ketika Allah menyerahkan kita pada pengujian, Ia jarang mengatakan pada kita sebelumnya berapa lama akan berakhir? Kita tidak tahu apakah kita harus bertahan enam bulan atau enam tahun.

Sayangnya, di akhir periode waktu tertentu, kita mungkin berkata, “Ini tidak berjalan. Saya sebaiknya menyerah.” Namun demikian, ingat bahwa jika kita menyerah, kita bisa kehilangan jawaban yang kita sudah tunggu. Jawabannya kemungkinan sedang datang.

Bisakah kita melihat esensi isu ini untuk kita? Bergantung pada Allah.

Mari kita simpulkan dengan deklarasi mengandung enam persyaratan untuk mendengarkan dari Allah – hanya untuk membuat Allah tahu kita terus mempercai-Nya.

“Tuhan, saya memberi-Mu perhatian penuh saya. Saya merendahkan diri di hadirat-Mu. Ambilah seluruh waktu yang Engkau perlu. Saya akan tinggal diam dihadapan-Mu. Saya akan menyembah-Mu; karena Engkau layak! Saya akan menunggu dalam iman dan ketergantungan untuk Engkau berbicara jawaban yang saya butuh dengar. Dalam nama Yesus. Amin.”

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply