Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Melepas Kasih Karunia Supernatural & Melepas Konfirmasi Supernatural – Bagian 2




eBahana.com – Alasan kedua kita harus meletakkan salib dalam pusat kehidupan kita, karena salib melepas kasih karunia “supernatural” Allah kedalam hidup kita. Kekristenan bukan seperangkat aturan atau hukum.

Kita akan melihat bagaimana ini kontras dengan hukum dalam Perjanjian Lama. Pada abad pertama Masehi Israel sudah hidup seribu empat ratus tahun di bawah hukum yang diberikan Allah melalui Musa. Dan Paulus mengatakan pada kita dalam Roma 7:12 bahwa hukum Musa sempurna, benar, kudus, dan baik. Ketika sampai pada hukum, kita tidak akan bisa memperbaiki hukum Musa. Meski demikian, jika hukum Musa bisa memberi jalan kebenaran, tidak dibutuhkan Yesus untuk datang.

Orang-orang Kristen yang paling banyak berbicara tentang kasih karunia kadang-kadang mengetahui paling sedikit mengenainya. Ada orang-orang yang berkata kita tidak dibawah hukum. Namun mereka membuat aturan-aturan agamawi, yang kadang-kadang cukup rumit. Jika hukum Musa tidak bisa membawa kebenaran, demikian pula dengan hukum Baptis, Pentakosta, atau Katolik.

Kita tidak bisa memperbaiki hukum Musa. Kenapa? Bukan karena ada yang salah dengan hukum Musa – namun karena ada masalah dengan, kodrat kedagingan kita. Kita tidak bisa mempraktikkan hukum apa pun karena kelemahan kodrat kita manusia. Paulus berkata mengenai ini sangat jelas dalam Galatia 3:11-12: “Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: “Orang yang benar akan hidup oleh iman.”

Tetapi dasar hukum Taurat bukanlah iman, melainkan siapa yang melakukannya, akan hidup karenanya.”

Paulus berkata tidak seorang pun bisa mencapai kebenaran dengan Allah melalui hukum Musa, dan tidak ada hukum yang bisa memampukan kita mencapai kebenaran itu.

Kita tidak dibenarkan dengan melakukan hukum, satu dari pernyataan-pernyataan yang paling sering ditulis dalam Perjanjian Baru. Di lain pihak ini pernyataan yang paling sering diabaikan oleh orang-orang Kristen. Sedikitnya ada 12 tempat di mana Perjanjian Baru berkata bahwa kita tidak bisa mencapai kebenaran dengan Allah dengan melakukan hukum. Namun mayoritas orang Kristen entah bagaimana memiliki pemikiran bahwa jika mereka melakukan peraturan-peraturan yang benar, mereka akan baik-baik dengan Allah. Sudah jelas, ini tidak berlaku – karena Allah tidak menerima kebenaran yang dihasilkan melalui usaha-usaha kita manusia.

Sebenarnya, dengan melakukan hukum menghasilkan kebalikan dari kebebasan atau kebenaran. Mereka yang fokus melakukan hukum menjadi apa yang disebut “legalistik.” Ketika orang-orang menjadi legalistik, mereka percaya, mereka benar. Mereka berkata, “Hukum- hukum kita benar, dan kita benar karena kita melakukannya; orang- orang lain yang tidak melakukan hukum-hukum kita tidak benar.”

Legalisme cenderung memecah gereja kedalam banyak kelompok sesuai hukum-hukum yang di praktikkan setiap kelompok.

Karena kita tidak bisa dibenarkan melalui hukum, apa tujuan salib? Dan bagaimana kita mendapat manfaat dari kuasanya untuk hidup kita?

Satu tujuan salib adalah membawa kita ke akhir dari hikmat dan kebenaran kita. Ini sesuatu yang mudah dikatakan namun tidak mudah dipraktikkan dalam hidup kita sehari-hari. Kita bisa masuk kedalam kasih karunia Allah hanya ketika kita sudah sampai pada akhir dari diri kita.

Sudah pasti kita menghadapi masalah dan tekanan dalam hidup. Kadang-kadang kita bertanya, “Apa yang Engkau lakukan Bapa?” Allah dengan lembut namun tegas membawa kita ke akhir dari diri kita, ke akhir dari semua usaha-usaha terbaik kita. Ia menolong kita menyadari apa yang terbaik bisa kita lakukan. Kenapa? Karena Tuhan ingin memberi kelepasan dalam hidup kita yang sepenuhnya dari-Nya.

Mari kembali pada nas 1 Korintus, dimana Paulus berbicara jelas mengenai isu ini: “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang- orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.

Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Korintus 1:22-25).

Ketika ia di Korintus, Paulus memberitakan Kristus yang di salib. Mudah untuk memberitakan Kristus sebagai Guru besar atau sebagai Penyembuh luar biasa. Namun pesan itu saja tidak dapat menyelesaikan pelayanannya. Kita harus memberitakan Kristus yang “disalib.” Kita menemukan Kristus sebagai kuasa Allah dan hikmat Allah hanya ketika kita sudah sampai pada akhir dari kuasa dan hikmat kita sendiri. Kesimpulan Paulus disimpulkan dalam satu pernyataan yang menakjubkan: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia.”

Dalam satu kata, kebodohan Allah dan kelemahan Allah adalah “salib.” Salib kelemahan terakhir. Kita tidak bisa membayangkan apa pun lebih lemah dari pada seseorang yang hampir mati dalam penderitaan di salib, dengan nafas terakhir. Kebodohan Allah juga mengutus kedalam dunia Anak-Nya, satu Manusia sempurna, dan membiarkan-Nya mati. Jadi, salib benar-benar kelemahan dan kebodohan.

Dalam hidup kita, ketika kita sampai pada akhir dari semua kepintaran, hikmat, kekuatan, dan kebenaran kita, kita baru membuat penemuan luar biasa. Apakah itu? [Kita menemukan bahwa salib lebih kuat dari pada kekuatan manusia dan lebih berhikmat dari pada hikmat manusia].

Di salib, kelemahan Allah lebih kuat dari pada kekuatan kita. Di salib, yang bodoh dari Allah lebih berhikmat dari pada hikmat kita. Disini masalahnya: sulit bagi sebagian besar dari kita melepas kekuatan dan hikmat kita. Sebagian besar dari kita ingin hikmat dan kekuatan Allah. Namun kita masih tetap ingin berpegang juga pada hikmat dan kekuatan kita sendiri. Kita ingin bergantung padanya seolah- olah hikmat dan kekuatan kita benar-benar memiliki nilai kekekalan.

Allah tidak berurusan dengan kita dengan dasar itu. Kita harus sampai pada akhir dari hikmat dan kekuatan kita sendiri sebelum Allah melepas kasih karunia-Nya kedalam hidup kita.

Paulus membuat beberapa pernyataan luar biasa sesuai tema ini. Dalam 2 Korintus 12:7, ia menulis dari pengalaman pribadinya, “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri.”

Paulus mengacu pada pewahyuan yang Allah beri padanya. Ketika orang menerima pewahyuan-pewahyuan, mereka bisa dengan mudah jatuh kedalam kesombongan jika mereka tidak hati-hati. Namun Allah mengasihi Paulus begitu rupa sehingga Ia menolong menjaganya terhadap kesombongan dengan cara yang tidak biasa. Ia melepas “malaikat Satan” untuk mengikuti Paulus kemana-mana dari tempat ke tempat. Agen itu mengobar-ngobarkan masalah dan persekusi, agar membuat Paulus rendah hati.

Sebagian besar dari kita akan mengatakan kita ingin rendah hati. Namun demikian, kita bisa terkejut dengan cara-cara yang Allah gunakan untuk menjawab permintaan itu. Lihat lagi apa yang Paulus katakan: “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan- penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri.”

Frasa “duri di dalam dagingku” suatu kiasan yang diambil dari Perjanjian Lama. Mengacu pada peringatan Yosua kepada anak-anak Israel untuk melenyapkan orang Kanaan yang menduduki tanah. Ia mengatakan pada orang-orang Israel bahwa jika mereka mengijinkan orang-orang Kanaan hidup berdampingan dengan mereka, mereka akan menjadi “cambuk pada lambungmu dan duri di matamu” (Yosua 23:13).

Banyak dari kita memiliki “duri di mata kita” – yang adalah buatan kita sendiri. Kenapa? Karena kita sudah memasuki tanah perjanjian, namun kita membiarkan banyak orang “Kanaan” berkeliaran.

Dalam kasus Paulus, meski demikian, duri bukan sesuatu yang menjadi tanggung jawab Paulus melainkan Allah. Jika kita mempelajari karier Paulus, ia tidak seperti rasul-rasul lain. Mereka semua dipersekusi dan memiliki masalah. Masalah Paulus masuk katagori lain. Tidak ada kota yang ia kunjungi yang tidak terjadi kerusuhan.

Alasan-alasan konyol dan menggelikan memprovokasi kerusuhan. Di Filipi, Paulus mengusir roh jahat keluar dari seorang budak perempuan yang berprofesi sebagai ahli nujum. Tiba-tiba, seluruh kota gempar. Dalam beberapa jam, Paulus dan Silas ditahan dalam penjara. Itu tidak logikal. Tidak bisa dijelaskan dengan akal. Ada malaikat satanik menghasut orang-orang melawan mereka. Pada dasarnya, kemana pun Paulus pergi, masalah berkobar; kemana pun ia pergi, terjadi kerusuhan atau kebangunan rohani – atau dua- duanya.

Menulis tentang gangguan yang terus menerus ini, Paulus berkata, “aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku” (2 Korintus 12:8). Namun demikian, Allah tidak menyingkirkan duri ini. Kadang-kadang ketika kita berkata Allah tidak menjawab doa-doa kita, kita harus ingat bahwa “tidak” juga jawaban. Jawaban Allah pada Paulus, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Betapa benar ini.

Ketika kita berusaha dengan kekuatan kita sendiri, tidak ada jalan bagi kita untuk mengidentifikasi kekuatan Allah. Baik kita maupun orang lain tidak bisa melihat kekuatan Allah – karena tersembunyi oleh kekuatan dan hikmat kita sendiri. Namun ketika kita sudah sampai pada akhir dari kekuatan kita, kita menemukan kita memiliki kekuatan baru. Pada titik itu, kita tahu kekuatan ini dari Allah. Kekuatan Allah disempurnakan dalam kelemahan kita. Ini sebabnya Paulus bisa mengatakan: “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Korintus 12:9-10).

Kita percaya dalam membuat pengakuan-pengakuan berdasarkan Firman Allah – namun pengakuan Paulus senang dan rela didalam kelemahan, sesuatu yang kita tidak minta siapa saja untuk melakukannya. Kecuali mereka dipimpin Roh Kudus, karena begitu mereka sudah mendeklarasikannya, mereka memiliki komitmen untuk melakukannya.

Kita mungkin perlu memikirkan sebelum kita membuat pengakuan itu. Apakah kita bersedia “senang dan rela” – bukan hanya bertoleransi, bukan hanya bertahan, bukan hanya menderita dengan kasih karunia – kelemahan, kekurangan, kesukaran, persekusi, dan kebutuhan?

Kenapa Paulus bersedia “senang dalam kelemahan?” Karena ia sudah belajar rahasia ini: “Ketika kita sampai pada akhir dari kekuatan, hikmat, dan sumberdaya kita maka Allah melepaskan kasih karunia-Nya.”

“Kasih karunia dimulai ketika kemampuan manusia berakhir.” Kita tidak memiliki kualifikasi untuk menerima kasih karunia Allah selama kita bisa melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri. Kenapa Allah harus melepaskan kasih karunia-Nya ketika kita hidup dengan kekuatan kita sendiri? Namun ketika kita sudah sampai pada situasi dimana kita tidak bisa berbuat apa-apa, dan tetapi harus melakukannya, kita memiliki kualifikasi untuk menerima pelepasan kasih karunia Allah.

Dalam Galatia 2:20, kita menemukan pengakuan Paulus yang lain. Menarik untuk diperhatikan berapa kali Paulus mengakui imannya dan pendiriannya. Dalam Perjanjian Baru, kita tidak akan menemukan para rasul membuat pengakuan negatif. Namun demikian, ketika kita memperhatikan Kekristenan masa kini, termasuk pendeta-pendeta, kita akan mendengar banyak pengakuan negatif: “saya tidak bisa melakukan ini, ” “saya tidak merasa seperti ini, ” “saya harap saya bisa, ” “saya tidak bisa,” dan seterusnya.

Itu bukan cara Paulus berbicara – bukan karena mereka yakin pada diri mereka sendiri, namun karena mereka sudah sampai pada akhir dari kekuatan mereka. Maka, Paulus membuat pengakuan:

“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20).

Tolong dicatat, ayat ini. Alkitab “New King James Version” menterjemahkan frasa ini “…dengan iman dalam Anak Allah.” Tetapi Alkitab King James lama berkata, “…dengan iman Anak Allah.” Bukan pada iman kita, kita bergantung. Ketika Yesus datang untuk tinggal dalam kita, Ia datang dengan iman-Nya. Ini terjemahan harfiah dari frasa penting ini.

Dalam pengakuan Paulus dalam Galatia 2:20, ia menyatakan sebagai hasil dari pengorbanan Kristus di salib, ia sampai pada akhir dari kehidupannya sendiri. Ketika Paulus datang pada salib, ia mati.
Sekarang bukan Paulus yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalamnya.

Mari kita membuat pengakuan pribadi ini: “Saya disalib bersama Kristus; namun demikian saya hidup; namun bukan saya sendiri lagi yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam saya; dan hidup yang sekarang saya hidupi dalam daging, adalah hidup oleh iman Anak Allah, yang mengasihi dan memberi diri-Nya Sendiri untuk saya.”

Pengertian deklarasi Paulus adalah kunci kepada kekudusan Perjanjian Baru – “tanpa kekudusan,” Alkitab berkata “tidak seorang pun akan melihat Tuhan” (Ibrani 12:14). Dalam kitab Imamat 11:45, Allah mendeklarasi, “Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.” Dalam Perjanjian Lama, kekudusan terdiri dari mematuhi seperangkat peraturan-peraturan yang sangat rumit.

Dalam Perjanjian Baru, ketika menulis kepada orang-orang percaya mengenai kekudusan, Petrus mengutip nas ini dari Imamat: “Jadilah kudus, sebab Aku ini kudus” (1 Petrus 1:16). Meski demikian, penting bagi kita menyadari bahwa ada perbedaan total antara kekudusan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kekudusan Perjanjian Lama berdasarkan mematuhi hukum Musa. Dengan kontras, kekudusan Perjanjian Baru tidak berdasarkan mematuhi seperangkat peraturan-peraturan; melainkan Kristus yang memampukan kita memenuhi hukum dalam-Nya. Kekudusan Perjanjian Baru diperoleh melalui kematian diri dan membiarkan Kristus hidup dari kehidupan-Nya melalui kita.

Karenanya, bukan kekudusan kita, melainkan Kristus. “Bukan pergulatan namun penyerahan; bukan usaha namun persekutuan – persekutuan dengan Kristus.”

Disimpulkan secara pendek: “bukan saya, melainkan Kristus.” Hidup berkemenangan dalam Kristus tidak datang dengan apa yang bisa saya lakukan – usaha terbaik saya, atau melenturkan otot spiritual saya. Datang dari berserah. Saya hidup dengan mengijinkan Kristus melakukan pekerjaan-Nya dalam saya, melalui saya, dan untuk saya.

Dalam Yohanes 15, kita melihat gambaran lain Yesus hidup dan kehidupan-Nya melalui kita. Dalam pasal itu, Yesus menggunakan contoh carang dan ranting-ranting untuk mengilustrasi hidup ini dengan sempurna: “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya” (Yohanes 15:1).

“Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:4-5).

Tolong perhatikan bahwa “Bapa” adalah pemelihara atau pengusaha pohon anggur. Hati-hati dengan membiarkan orang lain meranting kita. Bapa satu-satunya yang memiliki keterampilan dan sensitifitas meranting. Ada beberapa gereja dan persekutuan di mana pemimpin-pemimpin ingin meranting – mereka ingin meranting setiap orang.

Berhati-hati dalam menyerahkan diri kita untuk diranting manusia. Bukan hanya akan menyakitkan, namun mereka yang meranting bisa juga memotong ranting yang salah. Tugas pendeta-pendeta dan pemimpin-pemimpin umat Allah bukan untuk meranting. Melainkan untuk menolong orang-orang berserah pada Allah untuk diranting.

Ada banyak yang kita bisa belajar dari gambaran pokok anggur dan ranting-ranting Kristus. Apakah kita pernah melihat ranting-ranting pokok anggur bergulat menghasilkan buah? Tidak terjadi melalui usaha ranting; buah keluar karena kehidupan pokok anggur mengalir kedalam ranting.

Perumpamaan kecil ini termasuk semua tiga pribadi Trinitas. Bapa pemelihara pohon anggur, Yesus pokok anggur, dan Roh Kudus getah pohon. Dan kita ranting-ranting itu. Sementara Roh Kudus mengalir melalui pokok anggur kedalam ranting-ranting, ranting- ranting menghasilkan buah Roh Kudus.

Kata “buah” menunjukkan pada kita bahwa hasil tidak datang karena usaha kita. Tidak ada pohon pernah menghasilkan buah dengan mengerahkan upaya. Begitupula, tidak ada orang Kristen bisa menghasilkan buah dengan usaha. Kita harus datang ke tempat dimana kita berhenti dari pergulatan kita – dan, dalam arti tertentu, berhenti dari semua perbuatan baik kita. Bukan hanya dosa-dosa kita yang harus berakhir. Juga setiap usaha manusia yang kita pikir bisa kita lakukan untuk Allah. Semua usaha-usaha ini harus berakhir dan diserahkan pada Yesus.

Kita bisa menjalankan semua peraturan-peraturan, mengikuti semua prinsip-prinsip, dan mendengarkan semua pengajaran. Meski demikian, kita tidak akan pernah tahu kemenangan riil kecuali kasih karunia Allah dilepaskan melalui salib. Sebenarnya, jika kita tidak tahu bagaimana melepas kasih karunia Allah, peraturan-peraturan tidak akan menolong kita. Lebih banyak peraturan-peraturan yang kita coba jalankan, lebih buruk masalah-masalah kita.

Jika peraturan-peraturan pada akhirnya metode pilihan kita, kita kemungkinan akan membuang semua peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip keluar dan menangis, “sia-sia, saya tidak bisa melakukannya!” Hanya ada satu Pribadi yang bisa memenuhi hukum Allah dengan sempurna, dan nama-Nya Yesus. Ketika Ia diijinkan hidup kehidupan-Nya dalam kita, dan ketika kita sudah berserah pada salib dengan sampai pada akhir dari hidup kita – maka Ia secara berlimpah bisa memberi kita kemenangan. Tidak ada dari kita bisa benar-benar hidup dalam Roh kecuali kasih karunia dilepaskan melalui salib.

Fakta indah mengenai kasih karunia jika kita tidak melakukan hal-hal benar dengan sempurna, Tuhan tidak menolak kita. Ia dengan sabar menunjukkan kita dimana kita membuat kesalahan dan mendorong kita untuk mencoba lagi.

Jika kita mendapatkan diri kita bergumul sebagai orang Kristen, jangan hilang harapan. Tuhan mungkin menangani kita dengan keras. Ia mungkin mengkoreksi kita. Ia mungkin melakukan hal-hal dalam hidup kita yang kita tidak mengerti. Meski demikian, Ia tidak akan putus asa dengan kita. Kita mungkin punya ingatan pahit pada masa kecil kita dan orang tua kita yang tidak mengerti kita atau tidak selalu mengasihi. Namun camkan dipikiran bahwa kita memiliki Bapa lain yang adalah Allah. Ia sangat sabar, sangat pengertian, dan sangat lembut.

Mari kita mengkonfirmasi kebenaran-kebenaran yang sudah kita pelajari dengan doa dan deklarasi?

Tuhan Yesus, salib dimana Engkau menderita dan mati lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada peraturan-peraturan atau hukum mana pun yang saya bisa ikuti. Salib melepas saya dari peraturan- peraturan itu, dan membuka jalan untuk kasih karunia supernatural- Mu. Tuhan, tolong hidup kehidupan-Mu dalam saya. Biarkan getah Roh Kudus mengalir didalam saya, menghasilkan buah dalam hidup saya yang hanya mungkin dari-Mu. Terima kasih, Tuhan, untuk pelepasan supernatural kasih karunia dalam hidup saya melalui salib. Dalam nama Yesus. Amin.

Alasan ketiga kita harus meletakkan salib di pusat adalah konfirmasi supernatural Allah dilepaskan ketika kita memberitakan pesan salib.

Mari kita mengacu lagi pada 1 Korintus 2:4-5, dimana Paulus menulis: “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah.”

Kemudian, dalam 2 Korintus 10:10, Paulus mengutip pengkritik- pengkritiknya yang mengatakan sikapnya lemah dan perkataan- perkataannya tidak berarti. Paulus pasti bukan orator besar atau pribadi impresif. Tradisi beranggapan ia agak pendek, dengan kaki bengkok – sosok yang sangat tidak mengesankan. Meski demikian, Paulus tidak bergantung pada kefasihan bicaranya atau hikmatnya. Ia bergantung pada satu karakteristik diatas semua lainnya: “konfirmasi supernatural Roh Kudus pada pesan yang ia beritakan.”

Penting untuk diperhatikan dari nas di atas realita Roh Kudus bisa didemonstrasikan. Ia Sendiri tidak kelihatan – namun Ia didemonstrasikan dengan apa yang Ia lakukan. Kita tidak bisa melihat Roh Kudus. Namun kita bisa melihat tanda-tanda dan mujizat-mujizat yang Ia lakukan. Ini pengesahan-pengesahan pesan Allah sendiri yang diberitakan.

Paulus menulis dalam Roma 15:18-19: “Sebab aku tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan Kristus olehku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan, oleh kuasa tanda-tanda dan mujizat- mujizat dan oleh kuasa Roh. Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnya Injil Kristus.”

Paulus berkata di sini, dalam begitu banyak kata-kata, bahwa ia hanya tertarik dalam apa yang Kristus sudah lakukan melaluinya dan bukan apa yang ia sudah lakukan sendiri. Paulus percaya bahwa tanpa tanda-tanda dan mujizat-mujizat, ia belum sepenuhnya memberitakan injil. Ia tahu bahwa konfirmasi supernatural Allah akan dilepas sementara ia memberitakan pesan salib.

Apakah kita rindu untuk pelepasan konfirmasi supernatural? Kenapa tidak mengatakan pada Tuhan mengenai keinginan kita dengan menaikkan doa berikut?

Tuhan, saya rindu lebih dari pada ucapan saya sendiri – lebih dari pada kata-kata saya sendiri yang persuasif dan hikmat manusia saya sendiri. Saya ingin melihat demonstrasi Roh dan kuasa-Mu – datang sebagai pelepasan konfirmasi supernatural Allah ketika pesan salib diberitakan. Tuhan, tolong bawa pelepasan supernatural ini kedalam hidup saya dengan cara lebih besar hari ini. Dalam nama Yesus. Amin.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply