Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kunci Keberhasilan Hidup – Bagian 5




eBahana.com – Kita sekarang sampai pada kunci kesembilan, yang ditemukan dalam ayat-ayat pembukaan kitab Ibrani 12. Kita akan mulai dengan melihat dua ayat pertama dari pasal itu. “Marilah kita berlomba dengan tekun.”

“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:1-2).

Kunci kesembilan ini ditemukan dalam ayat 1: “Marilah kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.”

Disini dan tempat lain dalam Perjanjian Baru, kehidupan Kristen dianalogikan dengan perlombaan. Analogi ini mengimplikasi ada arah spesifik yang ditandai untuk kita sebelumnya, dan sukses dalam kehidupan Kristen terdiri dari menyelesaikan arah sesuai dengan peraturan-peraturan perlombaan. Karena perlombaan disiapkan di hadapan kita, ada empat syarat untuk sukses. Setiap dari ini ditemukan dalam Perjanjian Baru.

Syarat pertama untuk sukses dalam perlombaan hidup dicontohkan dengan kata-kata Paulus dalam Filipi 3:10-11 dimana, berbicara tentang hubungannya dengan Yesus Kristus, ia berkata: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.” Ia memiliki tujuan di hadapannya. Ia tahu apa tujuannya – dan ini menentukan sikap mentalnya. Lalu ia melanjutkan dengan mengatakan dalam Filipi 3:12: “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Yesus Kristus.”

Paulus memiliki visi jelas: Kristus menangkapnya untuk satu tujuan, dan untuk memenuhi tujuan itu berarti ia harus menghubungkan dirinya dengan tujuan itu. Ia harus bertekad tujuan Kristus untuknya menjadi tujuannya. Ia melanjutkan:

“Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:13-14).

Perhatikan: Frasa “aku berlari-lari” terjadi dua kali dalam nas-nas ini. Itu sikap mental yang kita harus miliki: “aku berlari-lari. Aku punya tujuan. Aku belum sampai, namun aku tahu kemana arahku.” Terakhir Paulus menggunakan frasa, “Aku berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Ada upah untuk mereka yang dengan sukses menyelesaikan perlombaan. Penting bagi kita untuk selalu menyimpan tujuan ini di pikiran, mengingatkan diri kita bahwa kita tidak mau kehilangan upah yang Allah tetapkan.

Syarat kedua untuk sukses dalam perlombaan ini adalah penguasaan diri. Lagi, ini di ilustrasikan dengan kata-kata Paulus dalam 1 Korintus. Disini ia menganalogikan kehidupan Kristen dengan perlombaan dalam kontes atletik. Ini benar-benar paralel bagus – buat kita hari ini, karena banyak dari kita mengikuti sport. Prinsip yang sama masih berlaku.

“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!

Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi” (1 Korintus 9:24-25).

Tujuan pertandingan adalah untuk memenangkan hadiah. Jika kita ingin menang pertandingan, kita harus memenuhi syarat penguasaan diri (self control). Jelas atlit yang ingin partisipasi dalam dunia pertandingan hari ini harus melakukan penguasaan diri paling keras. Mereka harus “pergi berlatih” – mengontrol apa yang mereka makan, berapa banyak mereka tidur, jumlah dan tipe latihanyang mereka jalankan. Mengendalikan psikologi seseorang juga penting, membangun sikap yang benar. Pikiran-pikiran negatif harus dikesampingkan untuk menjaga sikap positif agar mencapai kemenangan.

Semua itu berlaku juga bagi kita sebagai orang Kristen dalam pertandingan. Kita tidak bisa menang pertandingan tanpa penguasaan diri.

Syarat ketiga untuk menang dalam pertandingan ini dinyatakan dalam ayat dari kitab Ibrani 12:1, yang kita sudah sebut. Apa syaratnya? Daya tahan. Ini satu kualitas yang esensial dalam karakter Kristen jika kita ingin mencapai sukses spiritual dan kepenuhan riil. Daya tahan harus dikultivasi.

Lawan dari daya tahan adalah menyerah. Orang-orang Kristen tidak boleh menyerah. Ketika Allah komit sesuatu pada kita, kita harus tampil dan menjalaninya.

Ada hubungan dekat antara penguasaan diri dan daya tahan; itu kenapa diletakkan sesuai urutannya. Sebetulnya, tanpa penguasaan diri kita tidak memiliki daya tahan. Kita harus menguasai kelemahan-kelemahan kita. Jika tidak, setiap kali kita diuji dalam bidang daya tahan, beberapa kelemahan – emosional, psikologikal atau fisikal – akan menjatuhkan kita. Apa hasilnya? Kita akan menyerah pada poin dimana kita harusnya bertahan.

Syarat keempat untuk sukses adalah dengan mata yang tertuju kepada Yesus. Ini dinyatakan dalam kitab Ibrani 12:2: “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”

Dengan kata lain, kita tidak bisa memenangkan pertandingan dengan mengandalkan diri. “Melihat dengan mata yang tertuju kepada Yesus” berarti Ia contoh kita. Kita meletakkan keyakinan kita pada-Nya. Yesus adalah pencipta, awal dari iman kita. Ia yang menyempurnakan, pribadi yang membawa kita mencapai kemenangan.

Rasul Paulus seorang pemenang. Ini kesaksiannya dalam 2 Timotius 4:7-8: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.

Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.”

Paulus tahu ia sudah memenangkan pertandingan, ia sudah menyelesaikan arah, dan ia tahu hadiah yang menunggunya disana. Itu kesaksian kemuliaan, dan bisa menjadi kesaksian kita jika kita memenuhi syarat-syaratnya.

Ada orang-orang di dunia hari ini yang kesaksiannya benar. Mereka bisa berkata, seperti Paulus, “Aku sudah memenangkan pertandingan yang baik. Aku telah sampai garis akhir. Aku telah memelihara iman.” Mungkin kita bisa mengatakan hal yang sama. Itu mungkin jika kita berpegang pada kunci kesembilan. “Marilah kita berlomba dengan tekun (dengan daya tahan dan penguasaan diri).”

Ada cara benar dan ada cara salah untuk menghampiri Allah. Kita harus datang kehadapan Allah Mahasuci dengan sikap yang benar. Pengertian sikap benar itu subjek dari pembahasan kita sekarang.

Seperti kunci kesembilan, kunci kesepuluh juga ditemukan dalam Ibrani 12. Diakhir dari pasal itu. “Marilah kita mengucap syukur.”

“Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.

Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Ibrani 12:28-29).

Alkitab “King James Version” menterjemahkan “Marilah kita mengucap syukur” sama dengan “Marilah kita menerima kasih karunia.” Kita melihat dalam hubungan ini antara “kasih karunia” dan “terima kasih.” Frasa “menerima kasih karunia” dalam bahasa Yunani umumnya digunakan untuk mengekspresikan ucapan terima kasih. Konsep ini mengungkapkan hubungan antara kasih karunia dan terima kasih.

Kita tidak bisa memiliki kasih karunia Allah dalam hidup kita kecuali kita praktik mengucapankan terima kasih. Kasih karunia dan terima kasih berjalan bersama. Seseorang yang berterima kasih akan selalu mengalami kasih karunia Allah.

Kita perlu melihat Allah mensyaratkan dua respons dari kita sebagai umat-Nya. Pertama, Ia mensyaratkan kita mengapresiasi apa yang Ia sudah lakukan bagi kita. Kedua, Ia mensyaratkan kita “mengekspresikan” apresiasi kita – dan itu krusial dan esensial untuk kita mengerti.

Ada beberapa orang yang benar-benar berterima kasih kepada Allah, namun mereka tidak pernah mengambil waktu untuk mengatakan pada Allah betapa bersyukurnya mereka.

Banyak anak-anak Allah memperlakukan Allah seperti itu, dan ini tidak menyenangkan dalam pandangan-Nya. Kita disyaratkan untuk mengapresiasi apa yang Allah lakukan bagi kita. Sebagai tambahan, kita disyaratkan untuk mengekspresikan apresiasi kita.

Amsal 3:6: “Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Kita mungkin bertanya: “Bagaimana kita bisa mengakui Allah?” Cara termudah dan terbaik sederhana, dengan mengucapkan terima kasih pada-Nya – terima kasih pada-Nya untuk semua yang Ia sudah lakukan; terima kasih pada-Nya untuk kesetiaan-Nya. Ketika kita mengakui-Nya dengan cara ini, kita akan langsung mendapat jaminan bahwa Ia selalu setia. Seperti Ia sudah menolong dan menuntun di masa lalu, Ia akan menuntun di masa depan. Namun kunci untuk jaminan ini adalah dengan mengakui-Nya melalui ucapan terima kasih kita.

Penulis kitab Ibrani memberi kita latar belakang dorongan sehubungan dengan mengucap syukur. Melihat tiga ayat Ibrani 12 sebelumnya, kita membaca peringatan agak serius:

“Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman (kepada kita. Dan satu paralel diambil dari Perjanjian Lama, ketika Allah berbicara kepada bangsa Israel melalui Musa) Sebab jikalau mereka, yang menolak Dia yang menyampaikan firman Allah di bumi, tidak luput, apa lagi kita, jika kita (orang-orang percaya Perjanjian Baru) berpaling dari Dia yang berbicara dari sorga?

Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: “Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan bukan hanya bumi saja, melainkan langit juga.”

Ungkapan “Satu kali lagi” menunjuk kepada perubahan pada apa yang dapat digoncangkan, karena ia dijadikan supaya tinggal tetap apa yang tidak tergoncangkan” (Ibrani 12:25-27).

Ini latar belakang dorongan untuk menunjukkan terima kasih. Kita dalam dunia yang runtuh. Semua disekitar kita, kita melihat distres, ketidakpastian, kekacauan, kebingungan, kebencian, perpecahan, perang, ketakutan – bukan hanya dalam satu negara namun dalam semua bangsa-bangsa di bumi. Dalam ukuran tertentu, kondisi ini berlanjut dan memburuk. Allah berkata, “Akan datang masanya ketika Aku akan menggoncangkan sekali lagi bukan hanya bumi namun juga langit.” “sekali lagi” ini mengindikasikan ini akan menjadi goncangan terakhir, segala sesuatu yang bisa di goncang akan disingkirkan. Namun dalam terang ini, penulis kitab Ibrani berkata: “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur” (Ibrani 12:28).

Itu respons tepat pada privilese-privilese dan faedah-faedah khusus yang kita miliki dalam Allah. Kita tidak bergantung pada kerajaan yang bisa digoncang. Kita memiliki Kerajaan kekal, Kerajaan tidak tergoncangkan, Kerajaan Allah Sendiri. Kerajaan itu “kebenaran dan kedamaian dan sukacita dalam Roh Kudus” (Roma 14:17).

Ditengah semua itu yang terjadi disekitar kita – semua goncangan, semua ancaman, semua tanda bahaya, semua ketakutan dan semua solusi yang tidak cukup dan tidak memadai yang hanya bersifat temporer – ditengah semua ini, kita memiliki Kerajaan yang tidak tergoncangkan. Kita memiliki kedamaian, keamanan, tujuan. Hanya ada satu respons tepat pada kesadaran itu. Mengucap syukur. “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur.” Marilah kita mengekspresikan ucapan terima kasih kita kepada Allah.

Bukan hanya mengucap syukur respons yang tepat atas apa yang Allah sudah lakukan dan sedang lakukan untuk kita – bukan hanya sesuatu yang kita berhutang pada Allah dan perlu dibayar – namun rasa syukur atau ucapan terima kasih atau ekspresi apresiasi kita membuat sesuatu dalam roh kita yang tidak ada bisa dilakukan oleh lainnya. Mengucap syukur melepaskan roh kita untuk penyembahan dan pelayanan yang dapat diterima Allah. Itu kenapa penulis kitab Ibrani berkata “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut” (Ibrani 12:28).

Tanpa ucapan terima kasih, pelayanan kita pada Allah tidak akan bisa diterima. “Sikap berterima kasih” yang membuat pelayanan kita bisa diterima dan melepaskan roh kita. Seseorang yang tidak memiliki rasa syukur terbelenggu dalam dirinya. Ia egosentris dan berpusat pada diri sendiri. Ia tidak bisa tahu kebebasan sejati. Namun bersyukur atau mengucapkan terima kasih melepaskan roh kita.

Lihat apa yang Paulus katakan dalam 1 Tesalonika 5:18-19: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Janganlah padamkan Roh.” Ini perintah jelas.

Jika kita gagal mengucap syukur, kita tidak taat. Jika kita tidak mengucap syukur, kita berada diluar kehendak Allah.

Kegagalan mengucap syukur memadamkan Roh Kudus. Satu- satunya cara melepas Roh, untuk melayani Allah dengan cara yang Ia terima melalui ucapan syukur.

Sebagai bagian dari pengajaran mengucap syukur ini, kita perlu mencatat peringatan penutupan dalam kitab Ibrani 12:29: “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.”

Ini apa yang penulis katakan: “Kita harus menghampiri Allah kudus yang menakjubkan dan menginspirasi ini dengan sikap yang benar – dengan hati bersyukur dan kerendahan hati.”

Sementara kita memperhatikan dunia di hari-hari terakhir, kita harus mengakui bahwa “goncangan” akan datang. Dengan itu disintegrasi karakter, moralitas dan standar-standar. Paulus berkata:

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.

Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.

Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2 Timotius 3:1-5).

Betapa buruknya daftar cacat moral dan karakter degenerasi yang akan menandai akhir zaman sekarang. Jika kita membaca daftar ini. Kita akan menemukan sebagian besar cacat karakter ini menyolok dalam kebudayaan kontemporer kita. Ditengah dari daftar itu, dikatakan, “mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi.” Perhatikan tidak tahu berterima kasih berada sesudah tidak mempedulikan agama (tidak kudus). Kita tidak bisa kudus dan tidak berterima kasih.

Karena Allah kita adalah api yang menghanguskan, dan Ia mensyaratkan kita melayani-Nya dengan kekudusan, karenanya, kita harus melayani-Nya dengan mengucap syukur. Kita harus datang pada-Nya dengan ucapan terima kasih.

Lihat kata-kata itu sekali lagi: “Marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.”

 

 

OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.



Leave a Reply