Kunci Keberhasilan Hidup – Bagian 4
eBahana.com – Kunci ketujuh ditemukan dalam kitab Ibrani 10. “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita.”
“Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23).
Mari kita tinjau ulang sejenak apa yang sudah kita pelajari mengenai pengakuan. Pertama, “pengakuan” berarti “mengatakan sama dengan apa yang Allah katakan.” Mengakui iman kita, maka, mengatakan dengan mulut kita sama dengan yang Allah katakan dalam firman-Nya. Membuat kata-kata kita sepakat (agree) dengan Firman tertulis Allah dalam segala poin. Umumnya, sementara kita meningkat dalam kehidupan spiritual, pengakuan kita menjadi lebih sepakat dengan Firman Allah dalam setiap bidang kehidupan kita.
Kedua, melalui pengakuan, kita memiliki hubungan dengan Yesus sebagai Imam Besar kita di surga. Satu dari tema utama kitab Ibrani Yesus adalah Imam Besar kita di surga. Dia disana mewakili kita dalam hadirat Allah Bapa – untuk merepresentasi kita, untuk merepresentasi petisi-petisi kita, untuk berdoa syafaat mewakili kita dan untuk membuat baik setiap pengakuan benar yang kita buat.
Ini diungkapkan dalam kitab Ibrani 3:1: “Sebab itu, hai saudara- saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus.” Dengan kata lain, pengakuan kita mendaftarkan pelayanan Yesus sebagai Imam Besar. Jika kita membuat pengakuan yang benar, Yesus berkewajiban dalam kesetiaan kekal-Nya melihat bahwa pengakuan kita dibuat baik. Jika kita gagal membuat pengakuan yang benar atau jika kita tidak membuat pengakuan sama sekali, kita membungkam mulut Imam Besar kita. Kita tidak memberi-Nya kesempatan untuk melayani sebagai Imam Besar mewakili kita. Kita bisa melihat, karenanya, ada kepentingan besar dalam pengakuan.
Ada banyak untuk dipelajari dari cara tema pengakuan ini dibangun dalam surat kepada orang-orang Ibrani.
Pertama, dalam Ibrani 3:1, kita diperingatkan untuk membuat pengakuan yang benar: Yesus adalah Rasul dan Imam Besar dari pengakuan kita. Kita ingat kunci yang berhubungan dengan yang kita pelajari dalam Ibrani 4:14 – kunci ketiga: “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.” Dalam berbicara mengenai Yesus sebagai Imam Besar kita, Kitab Suci menekankan pengakuan kita – dengan kata lain, pengakuan kita mendaftarkan pelayanan-Nya mewakili kita sebagai Imam Besar. Dalam Ibrani 4:14, kita diperingatkan untuk”teguh berpegang” pada pengakuan iman kita. Kita tidak boleh merubah apa yang kita sudah katakan. Kita perlu terus membuat kata-kata mulut kita sepakat (agree) dengan Firman Allah.
Jadi, kita sampai ke langkah selanjutnya dalam urutan ini, kunci ketujuh: “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita “tanpa goyah,” sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23). Dalam Alkitab New King James ditulis “without wavering” atau “tanpa goyah.” Perhatikan kata-kata: “tanpa goyah.”
Jika kita melihat melalui nas-nas Ibrani ini dalam urutan yang benar, kita melihat bahwa, sehubungan dengan pengakuan kita, ada tiga tahap berturut-turut. Pertama, kita membuat pengakuan. Kedua, sesudah membuatnya, kita berpegang teguh; kita tidak berubah.
Ketiga, kita teguh berpegang tanpa goyah.
Kenapa “tanpa goyah” di letakkan didalamnya? Apa yang di implikasi? Kata-kata ini mengimplikasi – bukan hanya berdasarkan logik namun berdasarkan pengalaman pribadi – bahwa ketika kita membuat pengakuan yang benar, kita akan menghadapi kekuatan – kekuatan dan tekanan-tekanan negatif yang akan datang melawan kita. Walaupun kita sudah membuat pengakuan yang benar dan teguh berpegang tanpa goyah, mungkin akan datang waktu ketika tekanan-tekanan meningkat. Pada waktu itu, mungkin dapat dirasakan semua kekuatan-kekuatan Satan dan semua kuasa-kuasa kegelapan di lepas melawan kita, mencobai kita untuk melepaskan pengakuan kita.
Ini poin dimana penulis Ibrani mengatakan pada kita, “Jangan lepaskan. Teguh berpegang tanpa goyah.” Lebih gelap situasinya, lebih besar problemnya dan lebih kuat tekanannya, penting bagi kita untuk bertahan tanpa goyah. Kenapa? Sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23).
Kita mungkin merasa Allah dibelakang awan, tidak terlihat, dan kita tidak tahu apa yang Ia lakukan. Namun Kitab Suci berkata Ia setia.
Terlepas kita melihat-Nya atau tidak, terlepas kita mengerti atau tidak, Ia setia. Ia berkomitmen pada firman-Nya, dan Ia Imam Besar kita. Jika kita teguh berpegang pada pengakuan “tanpa goyah,” Ia akan melakukan tugas-Nya sebagai Imam Besar kita.
Bandingkan apa yang baru saja kita observasi dengan pernyataan sederhana ini dalam 2 Korintus 5:7: “sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat.” Dengan jelas, kita bisa melihat ada oposisi antara iman dan melihat. Manusia jiwani atau alami hidup dengan melihat – ia mempercayai pancainderanya, dan ia hanya percaya apa yang pancainderanya katakan padanya.
Namun dalam hidup spiritual kita sebagai orang Kristen, kita tidak harus mempercayai panca indera kita. Kita hidup karena percaya.
Iman berhubungan dengan alam kekal, tidak kelihatan dimana realita tidak berubah. Dunia pancaindera selalu berubah – temporer, tidak stabil dan tidak bisa di andalkan.
Namun melalui iman kita berhubungan dengan dunia yang berbeda dunia realita-realita kekal dan kebenaran-kebenaran kekal. Sementara kita berhubungan dengan dunia iman itu, kita teguh bertahan pada pengakuan tentang pengharapan kita “tanpa goyah.”
Tekanan-tekanan yang Allah ijinkan untuk masuk dalam kehidupan kita menentukan apakah kita mempercayai pancaindera kita atau iman kita. Jika kita merubah pengakuan kita karena kegelapan, maka kita hidup dengan pancaindera kita dan bukan dengan iman.
Dalam iman, tidak ada kegelapan. Iman melihat dengan mata spiritual kedalam alam yang tidak berubah. Iman memandang pada Imam Besar yang bisa diandalkan dan konstan.
Sehubungan dengan prinsip teguh berpegang pada pengakuan tentang harapan kita tanpa goyah ini, lihat sejenak padacontoh Abraham seperti ia digambarkan dalam Roma 4. Abraham salah satu contoh terbaik teguh berpegang tanpa goyah. Ini apa yang Paulus katakan mengenai Abraham:
“Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sarah telah tertutup.
Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran” (Roma 4:19-22).
Kita melihat dari contoh ini bahwa iman riil menghadapi fakta-fakta. Sikap apa saja yang tidak bersedia melihat fakta-fakta riil bukan iman riil. Abraham tidak mencoba untuk membohongi dirinya atau membayangkan situasinya berbeda dari apa sebelumnya. Dengan pancainderanya ia melihat bahwa tubuhnya dan rahim Sarah seperti sudah mati. Namun lalu ia memutuskan untuk tidak mempercayai hanya pancainderanya.
Abraham dikatakan “Tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan kepada mereka” (Roma 4:11), dan kita didorong untuk mengikuti langkah- langkah imannya. Kita disyaratkan untuk hidup dalam jejak iman yang sama. Bagaimana? Kita berpegang pada janji Allah, kita membuat pengakuan kita, dan lalu kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita “tanpa goyah.” Kita tidak dihalangi oleh apa yang pancaindera kita ungkapkan, namun melihat diluar pancaindera dan hal-hal yang kelihatan kedalam alam yang tidak kelihatan – untuk melihat dengan iman kesetiaan Imam Besar kita, disana disebelah kanan Allah.
Sehubungan dengan ini, baca apa yang Yakobus katakan dalam suratnya. Banyak orang Kristen gagal pada titik ini. Mereka membuat pengakuan; mereka teguh berpegang; namun ketika tekanan meningkat, mereka tidak teguh berpegang pada pengakuan “tanpa goyah.”
“Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin.
Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.
Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya” (Yakobus 1:6-8).
Ini seseorang yang goyah: seseorang yang mulai bertanya, mulai berdoa atau mulai percaya – namun yang tidak teguh berpegang tanpa goyah. Orang itu dilempar kesana dan kemari, ditiup angin dan ombak. Kitab Suci berkata tentang orang seperti itu – dan ini peringatan yang sangat serius – “Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.”
Jika kita goyah, kita bisa kehilangan berkat-berkat kita dan kehilangan faedah-faedah pelayanan Kristus mewakili kita sebagai Imam Besar. Bagaimana mengatasinya? “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita “tanpa goyah.”
Kunci ke 8 ditemukan dalam kitab Ibrani 10. “Dan marilah kita saling memperhatikan.”
“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.
Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.
Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu” (Ibrani 10:24-26).
Terjemahan yang digunakan diatas untuk ayat-ayat ini bagus. Dalam Yunani asli, urutannya dibalik. Dalam Yunani, “Marilah kita saling memperhatikan satu sama lain, menggerakan untuk kasih dan untuk perbuatan baik.” Itu membawa keluar esensi sejati kunci khusus ini. “Dan marilah kita saling memperhatikan satu samalain.” Kita memperhatikan satu sama lain dari sudut pandang bagaimana kita bisa membawa keluar yang terbaik dari tiap orang.”
Begitu banyak orang hari ini di bungkam mulutnya dalam penjara diri. Problem dasar mereka adalah egoisme atau mementingkan diri sendiri. Tidak ada orang egois yang benar-benar bahagia dan yang menikmati kedamaian sejati. Sebenarnya, lebih kita berpusat pada diri sendiri, lebih lagi kita kuatir tentang diri kita, lebih kita ingin menyenangkan diri sendiri, lebih lagi problem kita meningkat.
Kita harus dibebaskan dari penjara berpusat pada diri sendiri. Apa satu cara alkitabiah untuk dibebaskan? Berikut: berhenti kuatir tentang diri kita. Berhenti peduli pada diri kita terus-menerus. Berhenti berjuang untuk diri kita. Sebaliknya, mulai memperhatikan saudara seiman kita. “Marilah kita saling memperhatikan satu sama lain.”
Dalam Filipi, Paulus meletakkan contoh Yesus dihadapan kita sebagai satu yang kita perlu ikuti. Contoh Yesus bisa di aplikasikan pada kunci ini.
“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia- sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4).
Apa yang Paulus rekomendasi disini adalah berlawanan dengan mencari kepentingan diri sendiri. Pelepasannya datang kepada kita ketika kita berpikir mengenai kepentingan orang lain – ketika kita prihatin tentang orang lain daripada diri kita.
Lalu Paulus berbicara tentang perlunya mengikuti contoh Yesus. Ia mengatakan:
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:5-7).
Pada awal pembahasan kita di bagian 1, kita berbicara tentang peran vital dalam seluruh proses. Kita katakan bahwa sikap kita menentukan pendekatan kita dan pendekatan kita menentukan hasilnya. Maka, Disini, sikap yang perlu kita kultivasi “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, ”
Apa sikap-Nya? Bahasa Yunani secara harfiah menggambarkan sikap Yesus sebagai rupa seorang “hamba.” Yesus, yang adalah Tuhan dari semua, mengosongkan diri-Nya Sendiri dari semua dan bersedia menjadi hamba. Paulus katakan Itu sikap yang kita butuhkan untuk di contoh.
Kita menemukan nas paralel indah dalam Galatia 5:13-14:
“Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.
Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!.”
Cara kita untuk “tidak” memuaskan kodrat kedagingan kita, “tidak” menyerahkan pada kepentingan diri dan “tidak” terbelenggu dalam penjara diri adalah dengan melihat keluar kepada orang lain. “Melalui kasih layanilah seorang akan yang lain” – apa yang Roh Kudus tekankan pada umat Allah hari ini.
Banyak orang berbicara tentang melayani Tuhan, namun mereka tidak pernah melayani saudara-saudara seiman mereka. Apakah kita bisa benar-benar melayani Tuhan jika kita tidak bersedia melayani saudara-saudara seiman kita? Tuhan datang kepada kita dalam anggota-anggota Tubuh-Nya – jadi sikap kita terhadap anggota- anggota itu sesungguhnya sikap kita terhadap Tuhan Sendiri.
Sehubungan dengan bersedia melayani orang lain ini, mari lihat pada pernyataan yang Paulus tulis kepada orang-orang Kristen di Korintus. Camkan di pikiran, latarbelakang Paulus ortodoks Yahudi yang keras dan taat. Ia memiliki kualifikasi menjadi rabi. Ia seorang Farisi. Pendekatannya pada kebenaran mengakibatkannya memisahkan diri dari orang-orang, menganggap orang-orang lain berada pada tingkat lebih rendah. Camkan di pikiran juga bahwa orang-orang di Korintus pada dasarnya dipandang sebagai ampas dunia. Dalam suratnya kepada mereka, Paulus berkata bahwa beberapa dari mereka pernah menjadi homoseks, pelacur, pemabuk dan pencela (1 Korintus 6:9-11). Korintus salah satu pelabuhan laut besar dunia kuno dan, seperti begitu sering dalam kota-kota pelabuhan, amoralitas tersebar luas.
Bayangkan bagaimana “Farisi dari kelompok Farisi” ini memandang rendah orang-orang ini. Namun demikian, ketika seseorang datang pada Yesus, perubahan paling indah yang terjadi dalam kodratnya. Dalam konteks itu, pikirkan pernyataan Paulus yang menakjubkan: “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Korintus 4:5). Disini seorang Farisi yang bangga atas status dirinya berkata, ” Kami hambamu karena kehendak Yesus.” Untuk orang-orang di Korintus – dari semua orang.
Perhatikan tiga langkah yang Paulus ringkas. Pertama, mengosongkan diri: “bukan diri kita.” Kedua, mentakhtakan Kristus: “Tuhan Yesus Kristus.” Ketiga, melayani orang lain: “diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.” Bagaimana kita bisa
lepas dari berpusat pada diri sendiri? Proses yang Paulus gambarkan adalah jawaban untuk pertanyaan itu.
Apa artinya bagi kita melayani? Melayani adalah keterampilan yang kita harus peroleh. Tidak terjadi begitu saja, dan bukan kodrat kita. Kita harus mempelajari orang lain untuk tahu apa yang menghasilkan respons positif dan negatif. Kita harus tahu apa yang akan mendorong mereka untuk mengasihi dan melakukan pekerjaan baik, bukan sebaliknya. Ini membutuhkan praktik, latihan dan disiplin.
Juga membutuhkan lingkungan yang baik. Setelah mengatakan, “marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik,” Paulus mengatakan, “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibrani 10:25). Lingkungan yang baik di ekspressikan dalam kata-kata “pertemuan-pertemuan ibadah kita.” Berarti persekutuan reguler, dekat dan memiliki komitmen adalah lingkungan dimana kita bisa dilatih untuk melayani satu sama lain.
Dalam ayat selanjutnya, penulis Ibrani menyatakan alternatif yang bisa menimbulkan malapetaka. Langsung sesudah peringatan terhadap menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, ia berkata: “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.” (Ibrani 10:26).
Bukan kebetulan kata-kata ini mengikuti. Implikasinya jika kita tidak tinggal dalam lingkungan yang baik, jika kita tidak dekat, memiliki komitmen dan persekutuan reguler, kita akan kembali berbuat dosa. Satu-satunya cara aman untuk belajar menjadi hamba seperti Paulus ajarkan dan Yesus beri contoh adalah tinggal dalam persekutuan, belajar melayani dan belajar memperhatikan orang lain. Itu esensi kunci kedelapan kita: “Marilah kita memperhatikan satu sama lain.”
OLEH LOKA MANYA PRAWIRO.