Kepribadian Manusia dan Roh Kudus – Bagian 3
eBahana.com – “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (1 Tesalonika 5:23). Satu kebenaran besar ayat ini – mengandung formula komponen kepribadian manusia.
Sebagian besar dari kita sepakat roh, jiwa, dan tubuh membentuk kepribadian lengkap manusia. Pasal pertama Kejadian berkata Allah membuat manusia menurut “gambar” dan “rupa-Nya” (ayat 26).
Gambar mengacu pada tampak luar, jadi, tampak luar manusia mencerminkan tampak luar Allah. Rupa mengacu pada struktur internal Trinitas: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Roh, jiwa, dan tubuh manusia berhubungan dengan tiga komponen Trinitas.
Struktur internal kepribadian manusia ini bisa ditelusuri ke ciptaan manusia oleh Allah. Roh manusia keluar dari nafas Allah; Ia menghembuskan nafas hidup kedalam hidung Adam; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (lihat Kejadian 2:7).
Menariknya, dalam Ibrani dan Yunani, kata-kata untuk “roh” dan “nafas” sama. Tubuh adalah tanah liat yang diresapi dengan kehidupan ilahi menjadi Adam.
Keluar dari kesatuan roh dan tubuh, jiwa komponen yang paling sulit dimengerti. Ego setiap individual unik, bagian yang menentukan “Saya ingin” atau “Saya tidak akan.”
Terdiri dari kehendak, emosi, dan intelek – jiwa menghasilkan pernyataan-pernyataan: “Saya ingin, “Saya pikir” atau “Saya rasa.” Pernyataan-pernyataan ini memerintah kehidupan natural, manusia berdosa. Ketika individual-individual menyerah pada tuntutan- tuntutan jiwa mereka dari pada pimpinan Roh Kudus, mereka memisahkan diri mereka dari Allah.
Mari kita pelajari apa yang terjadi pada Adam dan Hawa karena dosa. Pertama, roh mati, karena Allah berkata pada Adam dalam Kejadian 2:17, “tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Meskipun Adam tidak mati secara fisikal lebih dari sembilan ratus tahun, (ia mati secara spiritual pada saat ia tidak mentaati Allah) dengan makan buah.
Semua keturunan Adam dan Hawa – semua manusia karenanya memiliki kodrat memberontak. Ketika kita bertobat, Allah mengampuni dosa-dosa kita dan memperbaharui roh kita.
Nas dalam Efesus mengatakan kebenaran-kebenaran ini. Dalam Efesus 2:1-3, Paulus menulis kepada orang-orang percaya yang sudah hidup dalam Kristus: “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu.
Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.
Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.”
Keselamatan – merestorasi kehidupan pada roh kita, seperti kita baca dalam Efesus 2:4-6: “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, setelah (menghidupkan) kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita – oleh kasih karunia kamu diselamatkan – dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan (memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga)” Allah membuat kita hidup – membangkitkan kita – dan mentakhtakan kita – semua di masa lalu (past tense). Hal-hal ini sudah dicapai.
Secara spiritual, kita sudah di dudukkan dengan Kristus di takhta.
Untuk memperdamaikan jiwa kita dengan Allah, meski demikian, kita bertanggung jawab berbalik dari jalan-jalan pemberontakkan kita melalui pertobatan. Banyak orang yang mengklaim memiliki keselamatan, belum pernah menolak pemberontakkan mereka.
Roma 5:1 mengajar kita, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.” Kita berperang dengan Allah, namun iman kita dalam Kristus menjustifikasi kita dihadapan-Nya, membuat pendamaian antara kita. Dikatakan dalam Roma 5:11, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.”
Sementara keselamatan tidak bisa melestarikan tubuh fisikal kita, membuatnya bait untuk Roh Kudus diami. Kita harus memperlakukannya dengan hormat, sesuai nasihat Paulus dalam 1 Korintus 6:19-20: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?
Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!.”
Ketika kita menerima keselamatan, roh kita dibuat hidup, jiwa kita diperdamaikan dengan Allah, dan tubuh kita dijadikan bait untuk Roh Kudus, agar kita memenuhi syarat untuk kebangkitan pertama – kebangkitan tubuh mereka yang menjadi milik Allah dalam Kristus.
Roh kita mampu berkomunikasi secara langsung dengan Allah dan menyembah-Nya. Dan hanya roh mampu melakukan penyembahan sejati. Dalam Yohanes 4:23-24, Yesus berkata, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.”
Fungsi jiwa adalah untuk membuat keputusan-keputusan, dan regenerasi (dilahirkan kembali) memampukan jiwa membuat keputusan-keputusan yang benar. Dalam Mazmur 103:1, Daud menulis, “Pujilah TUHAN, hai jiwaku.”
Sering sulit membedakan jiwa dari roh. Satu-satunya alat pemisah keduanya yang efektif digambarkan dalam Ibrani 4:12: “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”
Firman Allah satu-satunya instrumen cukup tajam untuk memisahkan jiwa dari roh, dan untuk mengerti perbedaannya.
Dua syarat untuk menggunakan Firman Allah dalam membedakan diperlihatkan dalam Ibrani 5:13-14, dimana penulis membedakan orang-orang Kristen dewasa dan belum dewasa: “Sebab barangsiapa masih memerlukan susu Ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab Ia adalah anak kecil.
Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat”
Membedakan diperoleh seseorang melalui praktik dan pembelajaran panjang Firman Allah.
Kata Yunani untuk roh “pneuma,” yang artinya “nafas,” “angin,” dan “roh.” Kata sifat yang berhubungan, “pneumatikos,” diterjemahkan sebagai “spiritual” atau “rohaniah.”
Kata Yunani untuk “jiwa” adalah “psuche”; kata sifat yang berhubungan, “psuchikos,” berarti “natural,” “sensual,”: “alamiah” dan “berpikiran duniawi.” “Jiwani” adalah kata untuk merangkum arti-arti ini. Mari perhatikan perbedaan antara “spiritual” dan “jiwani” sehubungan dengan tubuh, yang digambarkan dalam Perjanjian Baru.
Paulus mengembangkan konsep tubuh spiritual dan jiwani dalam surat pertamanya kepada orang-orang Korintus. Mengacu pada kebangkitan, ia menulis, “Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah” (1 Korintus 15:44).
Ia melanjutkan dalam ayat 46: “Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah.” Tubuh kita saat ini adalah jiwani; tubuh kebangkitan kita kelak rohaniah.
Roh kita akan mengarahkan tubuh kita, menentukan pergi kemana, apa yang dikatakan, dan apa yang dilakukan, tidak lagi bergantung pada jiwa untuk melaksanakan keputusan-keputusan. Kita akan seperti kerub yang digambarkan dalam Yehezkiel 1:12: “Masing- masing berjalan lurus ke depan; ke arah mana roh itu hendak pergi, ke sanalah mereka pergi, mereka tidak berbalik kalau berjalan.” Ayat 20 berkata, “ke arah mana roh itu hendak pergi, kesanalah mereka pergi.”
Tanpa keselamatan atau di lahirkan kembali, manusia merosot dari duniawi ke jiwani ke setan-setan. Yakobus 3:15 berkata, “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.” Nas ini menandakan langkah-langkah dalam kemerosotan hikmat, kemerosotan yang mengijinkan setan- setan menginfiltrasi pekerjaan, orang-orang, dan gereja Allah.
Menjadi duniawi tampak tidak bersalah atau tidak berdosa, namun dibutuhkan sedikit waktu untuk mencabut akar, menyeret seseorang kebawah kedalam alam jiwani, dan kemungkinan lebih jauh kedalam alam setan-setan.
Apa artinya menjadi duniawi? Dari sudut pandang Kristen, individual duniawi fokus pada kehidupan duniawi. Itu saja. Jika individual duniawi adalah seorang Kristen, ia berharap Allah menyediakan berkat-berkat yang bisa digunakan hanya selama hidup ini: kemakmuran, kesembuhan, kuasa, kesuksesan, dan pencarian- pencarian jiwani lain.
Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai individual duniawi, menolong mengenali individual-individual yang “tidak duniawi.” Salah satu contoh adalah Abraham: “Karena iman ia [Abraham] diam di tanah yang dijanjikan itu seolah- olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.
Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibrani 11:9-10).
Abraham menerima kesementaraan kehidupan duniawi, tinggal di kemah sebagai ganti membangun tempat tinggal di Tanah Perjanjian. Sebaliknya, Lot, yang berpisah dari Abraham dan berbelok ke kota fasik Sodom, hidup di rumah dan mengabaikan pola pikir kekal dan memilih yang duniawi.
Allah mengharapkan kita mengambil pola pikir Abraham. Dunia ini bukan rumah kita. Ketika kita lupa itu, kita menjadi jiwani.
Contoh kedua individual yang tidak duniawi adalah Musa, yang digambarkan dalam Ibrani 11:27: “Karena iman maka ia [Musa] telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.” Musa bertahan karena ia melihat melalui kesulitan-kesulitan masa kini akan datangnya kepastian penggenapan di masa depan.
Dalam 1 Korintus 15:19, Paulus menulis, “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia.” Jika tujuan dari iman Kristen kita menerima berkat-berkat dalam kehidupan duniawi saja, kita patut dikasihani. Banyak orang melupakan fakta bahwa kita orang-orang asing yang sedang melewati dunia ini dan akibatnya, pikiran-pikiran dan ambisi-ambisi kita kehilangan fokus yang benar. Dan menjadi duniawi.
Jiwani tingkat dibawah keduniawian. Apa esensi jiwa? Seperti digambarkan sebelumnya, jiwa secara esensi adalah ego. Orang- orang jiwani egosentris, prihatin secara eksklusif pada diri mereka.
Sementara orang spiritual bertanya, “Bagaimana saya memuliakan Allah?” Orang jiwani bertanya, “Apa yang bisa saya dapatkan?
Gereja masa kini terlalu sering melayani dengan motivasi mencari keuntungan pribadi sebagai ganti dari memuliakan Allah.
Dalam 1 Korintus 2:14-15, Paulus menulis, “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.
Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dapat dinilai oleh orang lain.”
Manusia jiwani tidak bisa membedakan kebenaran spiritual karena ia harus melakukan itu dengan roh, ia terbiasa hanya pada daya tarik jiwani terhadap emosinya. Seseorang bisa dimotivasi oleh jiwanya untuk memberi perpuluhan dalam jumlah besar kepada gereja, namun motivasi tidak patut ini akan menjadikannya tidak efektif.
Orang-orang jiwani menyembah Allah agar bisa bersuka ria. “Mereka sering mengatakan, kebaktian penyembahan yang indah,” Namun tujuan penyembahan bukan agar kita bersuka ria.
Melainkan, tujuan menyembah adalah menyembah! Menyembah sesungguhnya untuk memuji Allah; bukan mencoba mengangkat emosi kita atau menggairahkan indera-indera kita. Dalam proses menyembah Allah, emosi kita bisa terangkat atau bergairah namun juga bisa tidak, tidak harus menjadi fokus utama kita.
Kita melihat banyak daya tarik jiwani pada emosi yang menggerakkan orang-orang menangis dan membuat mereka bergairah – tanpa merubah mereka. Satu minggu kemudian, mereka tetap sama. Patut disayangkan banyak gereja melayani dalam alam jiwa dari pada alam roh. Orang-orang dalam alam jiwani keterusan hingga menyerahkan diri mereka terhadap penipuan. Ini bisa dihindari hanya dengan membedakan antara alam spiritual dan jiwani.
Satu langkah kebawah dari jiwani adalah setan-setan. Pola progresi dari duniawi ke jiwani lalu ke setan-setan diilustrasikan dalam Perjanjian Lama ole Harun, imam besar Israel yang membentuk lembu emas. Dalam Keluaran 32:1-6 digambarkan kemerosotannya: “Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya: “Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir – kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.”
Lalu berkatalah Harun kepada mereka: “Tanggalkanlah anting-anting emas yang ada pada telinga isterimu, anakmu laki-laki dan perempuan, dan bawalah semuanya kepadaku.”
Lalu seluruh bangsa itu meninggalkan anting-anting emas yang ada pada telinga mereka dan membawanya kepada Harun.
Diterimanyalah itu dari tangan mereka, dibentuknya dengan pahat, dan dibuatnyalah dari padanya anak lembu tuangan. Kemudian berkatalah mereka: “Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!”
Ketika Harun melihat itu, didirikannyalah mezbah di depan anak lembu itu. Berserulah Harun, katanya: “Besok hari raya bagi TUHAN (Yahweh)!”
Dan keesokan harinya pagi-pagi maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan, sesudah itu duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria.”
Ada beberapa detail signifikan dalam nas ini untuk dicatat. Pertama, orang-orang menghargai Musa untuk pembebasan mereka – “orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir” – kebalikan dari mengakui pemeliharaan Allah. Fokus mereka pada pemimpin- pemimpin manusia berubah menjadi penyembahan berhala.
Nas menyimpulkan dengan berhala, juga – “kemudian bangunlah mereka dan bersukaria.” Bersuka ria esensi dari berhala, dan ketika penyembahan kita menjadi bersukaria, kita sudah tergelincir dari spiritual ke jiwani, dan – pada akhirnya – ke setan-setan.
Banyak dari apa yang kita sebut “menyembah” di gereja-gereja kita bukan menyembah sama sekali. Berpusat pada diri sendiri, fokus pada menemukan bagaimana mendapatkan kesembuhan, berkat- berkat, dan pemeliharaan-pemeliharaan lain Allah. Banyak dari musik dalam kebaktian-kebaktian gereja hari ini menarik untuk jiwa, menstimulasi dengan cara sama seperti musik sekular.
Apa yang tidak masuk akal dengan kemunduran Harun dan orang- orang adalah bagaimana tiba-tiba terjadi. Dua bulan sebelumnya Harun membuat lembu emas, Musa menerima Sepuluh Perintah dari Allah di Gunung Sinai. Orang-orang merespons secara tepat dengan kagum, takut, dan hormat, seperti Keluaran 20:18-21 gambarkan: “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh mengguntur, kilat sabung- menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap. Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh.
Mereka berkata kepada Musa: “Engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan; tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati.”
Tetapi Musa berkata kepada bangsa itu: “Janganlah takut, sebab Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar kamu jangan berbuat dosa.”
Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah ada.”
Dalam dua bulan, bangsa itu meninggalkan sikap takut dan hormat mereka, dan di ganti sikap tidak perduli dan penyembahan berhala. Begitu kebutuhan-kebutuhan fisikal mereka dipenuhi – nafsu makan mereka terpuaskan, tubuh mereka berpakaian cukup – mereka menuntut hiburan dalam bentuk penyembahan.
Contoh kedua merosot dari spiritual ke setan-setan ditemukan dalam kitab Imamat 9:23-10:2: “Masuklah Musa dan Harun ke dalam Kemah Pertemuan. Setelah keluar, mereka memberkati bangsa itu, lalu tampaklah kemuliaan TUHAN kepada segenap bangsa itu.”
“Maka keluarlah api dari hadapan TUHAN, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan TUHAN.”
Api yang sama yang menghanguskan korban yang diterima menghabiskan kedua orang itu yang menyembah dalam roh yang salah. Dalam pengalaman kita, “api cemar ” di tandai dengan menyembah dalam roh apa saja selain Roh Kudus.
Dalam Perjanjian Baru, kitab Ibrani mendesak kita mempertahankan ketakjuban sama pada Allah yang di inspirasi oleh peristiwa- peristiwa Perjanjian Lama, seperti penghakiman Allah atas Sodom dan Gomora. Ibrani 12:28-29 berkata, “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.
Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.”
Contoh Perjanjian Baru penghakiman kudus Allah menyerang mati Ananias dan Safira ketika mereka berbohong dengan persembahan mereka. “Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu” (Kisah Para Rasul 5:11).
Berapa banyak perasaan kagum kita temukan dalam gereja hari ini?
Banyak orang memandang Allah sebagai teman biasa atau teman dekat. Ia mengundang persekutuan kita dan perjamuan kudus dengan-Nya, namun kita tidak pernah boleh kehilangan rasa kagum pada kesucian Allah. Terlalu sering, kurang kagum memberi jalan pada kelakuan sembrono.
Satu pelayanan Roh Kudus meyakinkan kita akan dosa. Dimana keyakinan kurang, kerja Roh Kudus kemungkinan besar kurang juga.
Kondisi umat manusia bukan tentang memperbaiki. Dalam 2 Timotius 3:2-4, Paulus memperingatkan seperti apa manusia di akhir zaman. Ia mendaftar delapan belas cacat moral yang akan lazim: “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.”
Kita perhatikan bahwa daftar ini diletakkan di akhir dengan salah meletakkan cinta – mencintai dirinya sendiri, menjadi hamba uang, dan lebih menuruti hawa nafsu. Jiwani atau mengasihi diri sendiri, membuka kejahatan masuk. Ayat 5 menyimpulkan, “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” Meski mereka memiliki bentuk ketuhanan – mereka kemungkinan penganut Kristen – orang-orang yang digambarkan disini menikmati cinta diri.
Satan sangat senang pada mereka yang mencintai dan meninggikan diri mereka, karena ia membuat preseden untuk sikap ini (lihat Yesaya 14:12-15). Ia memimpin orang-orang sesat, mendorong mereka mencintai apa pun – uang, kesenangan, kuasa, atau diri mereka lebih dari mereka mencintai Allah. Ketika pemutarbalikkan sesuatu yang ditujukan untuk kebaikan, salah meletakkan cinta bisa membuat kita calon-calon untuk penipuan Satan. Ia mengambil apa yang bagus dan murni, membalikkannya kedalam instrumen kejatuhan dan penipuan diri kita sendiri.
Oleh Loka Manya Prawiro.