Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Kebutaan Spiritual Melahirkan Penipuan – Bagian 9




eBahana.com – Hampir setiap nas dalam Perjanjian Baru yang berkenaan dengan akhir zaman merupakan peringatan mengenai penipuan.

Dalam Matius 24:4-6, Yesus memperingatkan, “Jawab Yesus kepada mereka: “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!

Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang.

Kamu akan mendengar deru perang atau kabar-kabar tentang perang. Namun berawas-awaslah jangan kamu gelisah; sebab semuanya itu harus terjadi, tetapi itu belum kesudahannya.”

Ia menambahkan dalam ayat 24, “Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda- tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan (orang-orang pilihan juga).”

“Orang-orang pilihan” tidak kebal terhadap penipuan. Untuk menghindari ditipu, kita harus bisa mengidentifikasi kebenaran. Ketika Pontius Pilatus menginterogasi Yesus sebelum penyaliban- Nya, Yesus mengatakan padanya, “Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang kedalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang [kebenaran]; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yohanes 18:37). Pilatus merespons dengan pertanyaan filsuf bertanya – tanpa jawaban yang memuaskan – selama 2500 tahun: “Apakah kebenaran itu?” (ayat 38).

Satu-satunya jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan ini ditemukan dalam Alkitab. Jawabannya tidak selengkapnya sederhana, karena Alkitab mempresentasi kebenaran dalam tiga segi. Untuk memastikan bahwa kita memiliki kebenaran, kita harus periksa setiap segi ini – “koordinat-kordinat kebenaran.” Tiga koordinat ini harus selaras mengkonfirmasi kebenaran.

Dalam Yohanes 14:6, Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Yesus adalah kebenaran. Namun dalam Yohanes 17:17, Yesus berdoa pada Bapa, mengatakan, “firman-Mu adalah kebenaran.” Terakhir, dalam 1 Yohanes 5:6, Yohanes menulis, “Dan Rohlah yang memberi kesaksian (kepada Yesus Kristus), karena Roh adalah kebenaran. Kebenaran adalah Yesus, kebenaran adalah Alkitab, dan kebenaran adalah Roh.

Untuk memastikan kita menemukan kebenaran, karenanya, kita harus tanya tiga pertanyaan ini. Apakah benar menurut Yesus?

Apakah benar menurut Alkitab? Apakah memiliki kesaksian Roh Kudus? Jika jawaban pertanyaan-pertanyaan ini “sepakat,” kita bisa yakin kita memiliki kebenaran.

Mari kita lihat lagi peringatan Paulus mengenai “penipuan”: “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu [disesatkan] dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya.

Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan (Yesus yang lain] dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu (roh yang lain) dari pada yang telah kamu terima atau (Injil yang lain) dari pada yang telah kamu terima” (2 Korintus 11:3-4).

Betapa cepat kita kehilangan pegangan kita pada kebenaran, membiarkannya hilang demi untuk “membuat” doktrin palsu! Satan menggunakan penipuan dan kesombongan untuk memenangkan penyembahan. Demikian pula, kesombongan adalah pintu utama melaluinya penipuan mencengkram hidup kita dan menyesatkan kita.

Kesombongan membuat kita rentan dan mudah terpengaruh jeratan tipu daya. Polanya dibuat oleh Lucifer, malaikat paling cantik dan bijaksana sebelum kesombongan membuatnya memberontak, yang mempercepat kejatuhannya dari kemuliaan. Jika kesombongan begitu mudah menghancurkan seorang malaikat agung di surga, betapa lebih mudah lagi menghancurkan kita yang berkata, “Itu tidak akan terjadi pada saya!” Ketika Satan ingin menipu kita, ia memanipulasi kelemahan kita: kesombongan kita.

Mengejutkan berapa banyak sekte-sekte memanipulasi kesombongan orang-orang. “Manifested Sons” sebuah gerakkan, yang mengajar orang-orang bahwa mereka bisa mencapai kekekalan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Pengajaran ini bisa ditelusuri kebelakang pada “kebohongan,” Satan ketika mengatakan pada umat manusia – dengan menjanjikan Hawa, jika makan buah, “Engkau akan menjadi seperti Allah” (Kejadian 3:5).

Allah dengan sengaja memilih mereka yang tanpa kesombongan menerima keselamatan-Nya dan mengerti kebenaran-Nya, seperti dikatakan dalam 1 Korintus 1:26-29: “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.

Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri dihadapan Allah.”

Allah berencana menyingkirkan kesombongan. Ia memilih hal-hal yang bodoh, hal-hal yang lemah, hal-hal yang rendah, dan hal-hal yang tidak berarti, agar tidak seorang pun bisa membanggakan diri dan berkata, “Allah memilih saya karena saya begitu pintar, begitu kuat, dan begitu bijaksana. Ia membutuhkan saya.”

Kita harus menghindari siapa pun yang menjanjikan kita akan menjadi “orang-orang Kristen super” jika bergabung dengan kelompok atau gerakkan mereka, yang sudah pasti memiliki daya tarik pada kesombongan kita dan menolak pengajaran-pengajaran Yesus.

Bersama dengan kesombongan yang mengakibatkan “kebutaan spiritual” adalah “kebenaran diri sendiri.” Dalam Roma, Paulus menulis: “Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan.

Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar.

Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk (mendirikan kebenaran mereka sendiri), maka mereka tidak takluk kepada kebenaran (Allah)” (Roma 10:1-3).

Definisi alkitabiah “kebenaran diri sendiri” adalah ketika seseorang mencoba mendirikan kebenaran dirinya sendiri sebagai ganti dari bergantung pada kebenaran yang Allah sediakan. Paulus melanjutkan, “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya”(ayat 4). Ketika kitab ini dan nas-nas didalamnya menyebut “hukum,” itu mengacu pada kode hukum yang dibuat melalui pewahyuan dari Allah untuk mengarahkan umat-Nya dalam penyembahan mereka, dalam hubungan mereka dengan-Nya, dan dalam hubungan sosial mereka satu sama lain. Terdiri dari banyak perintah-perintah dan peraturan-peraturan spesifik, hukum ini diberikan dalam Perjanjian Lama.

Kedatangan Yesus dalam Perjanjian Baru mengakhiri hukum sebagai cara untuk mencapai kebenaran dengan Allah. Kematian-Nya di salib menggambarkan hukum secara kekekalan tidak efektif sebagai jalan untuk dibenarkan dihadapan Allah. Tidak seorang pun – apakah Yahudi atau non-Yahudi, Katolik atau Protestan – bisa mendapatkan kebenaran dengan memenuhi hukum. Sedikit orang Kristen mengapresiasi fakta ini, karena masih banyak yang hidup diantara hukum dan kasih karunia. Tidak yakin mereka dibagian mana, mereka menghapus faedah-faedah dari keduanya.

Israel harus tahu bahwa kebenaran pribadi tidak akan pernah cukup, karena Yesaya menjelaskan ini dengan jelas: “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor”(Yesaya 64:6). Sebagian besar orang kemungkinan akan mengharapkan Yesaya menyebut dosa-dosa kita seperti “kain kotor,” namun ia menggunakan metafor untuk mengklasifikasi kebenaran-kebenaran kita – apa yang kita lakukan dalam usaha kita untuk mencapai kebenaran. Akibatnya, Yesaya melanjutkan, “kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin” (ayat 6).

Sebagai contoh dari kebenaran diri sendiri dalam Alkitab ada perumpamaan yang Yesus katakan pada seorang Farisi di bait: “Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan: “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Lukas 18:9-14).

Ayat-ayat ini menjanjikan kita bahwa siapa pun yang meninggikan dirinya akan direndahkan, dan siapa pun yang merendahkan dirinya akan di tinggikan. Ini menciptakan paradoks besar: jalan ke atas adalah turun. Lebih rendah kita turun, lebih tinggi Allah akan menggangkat kita. Jika kita mencoba menggangkat diri kita Allah sudah pasti menggagalkan usaha-usaha kita dan merendahkan kita.

Orang Farisi yang menganggap dirinya benar dalam perumpamaan ini menunjukkan lima ciri penting untuk diperhatikan.

Pertama, pemusatan pada diri sendiri. Orang Farisi memusatkan pada dirinya sendiri, karakteristik kunci membenarkan diri sendiri. Sifat ini taktik setan yang orang Farisi ikuti. Ia mempercayai kebenaran dirinya sendiri, meskipun ditimbulkan oleh angan- angannya dan dibuat-buat; dan ia berdoa “dengan dirinya sendiri” (ayat 11), dibungkus dalam kata-katanya sendiri sebagai ganti dari Satu yang padanya ia harus tujukan doanya.

Kedua, meremehkan orang lain. Orang Farisi merasa superior dibanding orang lain, pemungut cukai yang berdoa dekatnya. Orang- orang yang merasa dirinya benar menghina dan meremehkan orang lain.

Ketiga, membandingkan dirinya dengan orang lain. Menghina orang lain timbul dari praktik membandingkan diri kita dengan orang lain. Orang Farisi bersyukur pada Allah karena membuatnya berbeda dari pemungut cukai, namun perbuatan membanding-bandingkan ini tidak alkitabiah. Allah tidak membandingkan kita dengan orang lain, dan Ia tidak membenarkan kita melakukan ini.

Keempat, karakteristik kebenaran diri sendiri, orang Farisi menggunakan aturan-aturan khusus untuk menjustifikasi kebenarannya.

Kebalikan dari daftar prakti-praktik positif, meski demikian, orang Farisi memiliki daftar perilaku-perilaku negatif yang ia tidak lakukan. Ia tidak berperilaku tidak adil, ia bukan pemeras, dan ia tidak melakukan perzinahan. Dua perilaku positif – berpuasa setiap minggu dan dengan setia memberi perpuluhan – ia percaya itu memperteguh kebenarannya.

Sifat ini umum, dan khususnya jelas ketika kita mengkonfrontasi seseorang mengenai dosa-dosanya. Saat disebut dosanya, otomatis mekanisme pertahanan ego-nya membuatnya protes sesuai daftar hal-hal yang tidak diperbuatnya.

Kelima terakhir, “kebenaran” orang Farisi seluruhnya statis, tidak membuka ruang untk perubahan atau progres. Ia memiliki intensi melanjutkan seperti biasa, hidup mematuhi daftar aturan-aturan namun tidak berharap ada perbaikkan atau mengakui perlunya melakukan itu.

Legalisme membuat hukum sebagai hasil akhir, kehilangan pengertian tujuan riil untuk apa hukum itu diberikan.

Terjebak dalam peraturan-peraturan dan upacara-upacaranya sendiri, seorang legalis lupa kenapa hukum diberikan pada awalnya. Seperti seseorang yang terlalu fokus melihat detil, sehingga gagal memahami garis besarnya. Seorang legalis fokus pada memenuhi peraturan-peraturan spesifik dan melupakan tujuannya yang lebih jauh.

Kenapa hukum diberikan? Alkitab memberi penjelasan dalam Matius 22:35-40: “…dan seorang dari mereka [seorang murid agamawi – teolog], seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.

Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.

Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Dengan “seluruh hukum dan kitab para nabi,” Yesus mengacu pada apa yang orang Yahudi masa kini sebut Tanakh, atau Perjanjian Lama. Yesus berkata bahwa dalam seluruh Perjanjian Lama tergantung dua perintah: kasihilah Allah dan kasihilah sesamamu – jadi ini yang primer; sedangkan [hukum sekunder].

Tujuan hukum berhubungan langsung dengan dua perintah besar: diberikan untuk menghasilkan kasih pada Allah dan kasih pada sesama. Aplikasi atau interpretasi hukum yang tidak menghasilkan dua bentuk kasih ini adalah pemutarbalikkan tujuan hukum. Seperti Paulus katakan dalam 1 Timotius 1:5, “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.”

Sasaran kita bersama – sasaran perintah kita dan perjuangan kita – adalah kasih. Jika kita berbelok dari sasaran itu, kita hanya menyampaikan kata-kata kosong dan membuang-buang waktu, seperti Paulus katakan dalam 1 Korintus 13:1: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.”

Sebagai contoh penyalahgunaan hukum melalui legalisme, mari pelajari sikap terhadap peringatan Sabat pada masa Yesus. Keluaran 23:12 meringkas tujuan hari Sabat: “Enam harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, tetapi pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti, supaya lembu dan keledaimu tidak bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing melepaskan lelah.”

Kata-kata “tidak bekerja” dan “melepaskan lelah” mengekspresi tujuan utama dari sudut manusia untuk memperingati hari Sabat – seseorang dan keluarganya membutuhkan satu hari untuk tidak bekerja dan melepaskan lelah. Seperti Yesus katakan dalam Markus 2:27, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.”

Orang-orang Farisi membalik pernyataan ini menjadi manusia ada untuk faedah hari Sabat kebalikkan dari hari Sabat diadakan untuk faedah manusia. Jenis pembalikkan ini tipikal legalisme, mengambil apa yang Allah sudah tahbiskan untuk kebaikan manusia dan membuatnya menjadi beban sebagai ganti dari berkat.

Dalam injil, Yesus keluar dari jalan-Nya untuk menyembuhkan orang-orang pada hari Sabat. Apalagi, tujuan hari Sabat “tidak bekerja” dan “melepaskan lelah.” Bagaimana bisa seseorang yang lumpuh, merubah pengalaman “tidak bekerja” dan “melepaskan lelah”? Pemimpin-pemimpin agamawi, meski demikian, ingin menahan mereka yang menderita fisik dalam kondisi menyakitkan pada hari Sabat hanya untuk memastikan mereka memperingati hari Sabat secara benar. Dalam melakukan itu, mereka membengkok hari Sabat berlawanan dengan apa yang Allah intensikan untuk dicapai.

Kita melihat sebuah contoh ini dalam Lukas 13:11-16: “Di situ ada seorang perempuan yang telah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri lagi dengan tegak.

Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.”

Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah.

Tetapi kepala rumah ibadat gusar karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, lalu ia berkata kepada orang banyak: “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.”

Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman?

Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskankan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?.”

Apakah kita bisa membayangkan seorang perempuan miskin yang menderita kelemahan fisikal selama delapan belas tahun menerima kesembuhan secara mujizat, hanya membangkitkan kemarahan pemimpin sinagoge? “Kebenaran diri sendiri” pemimpin sinagoge tersebut yang membuatnya menyakiti hati perempuan itu, dan di tingkat yang lebih serius, karena kebutaan spiritual-nya.

Dalam Matius 23, Yesus mendakwa kebenaran diri sendiri pemimpin-pemimpin agamawi pada masa-Nya, menyebut mereka, “pemimpin-pemimpin buta” (ayat 16, 24), “orang-orang bodoh dan orang-orang buta” (ayat 17, 19), dan “orang Farisi yang buta” (ayat 26). Kata kunci yang mencirikan mereka adalah buta. Jadi kebenaran diri sendiri tidak bisa di hindari menghasilkan kebutaan spiritual.

Dalam Roma 11:25, Paulus menjelaskan kesalahan Israel: “Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk.” Kata Yunani untuk “kebutaan” dalam kasus ini berarti kekerasan hati, yang berhubungan erat dengan kebutaan spiritual, karena dengan hati kita melihat secara spiritual.

Kebutaan spiritual menjelaskan kenapa banyak orang – bahkan orang-orang Kristen yang beribadah ke gereja secara reguler dan sudah dibaptis dalam Roh Kudus – hampir buta pada apa yang Allah lakukan. Kebenaran diri sendiri bukan hanya menghasilkan kebutaan spiritual, namun juga membuat orang-orang buta terhadap realita kondisi mereka.

Hari ini kita jarang melihat orang-orang yang mencoba menjalankan Hukum Musa. Ada individual-individual yang mempraktikkan Yudaisme Ortodoks, namun ini sangat berbeda dengan Hukum Musa.

Sementara sebagian besar orang tidak bergantung pada memenuhi hukum, gereja Kristen terdiri dari kumpulan banyak orang, seperti orang Farisi dalam perumpamaan Lukas 18, memiliki daftar peraturan yang mereka ikuti untuk meneguhkan dalam pikiran mereka, “kebenaran diri mereka sendiri.” Orang-orang ini masuk dalam lima katagori.

Pertama, aliran Kekudusan. Tipe pertama ini orang-orang yang membuat daftar peraturan berasal dari apa yang disebut “latar belakang kekudusan.” Latar belakang ini khususnya berhubungan dengan Metodisme, namun berkembang kedalam banyak seksi gerakkan Pentakosta, Gereja Allah, Kekudusan Pentakosta dan lain- lain. Dalam usaha mereka mencapai kekudusan, orang-orang ini mentaati daftar panjang peraturan-peraturan spesifik, ketat, mengenai isu-isu detil seperti apa yang perempuan boleh pakai, apa yang orang boleh makan dan minum, kemana orang-orang boleh mencari kesenangan dan hiburan, apakah perempuan dan laki-laki boleh berenang sama-sama….daftarnya panjang.

Dalam Kolose 2:20-22, Paulus menulis, “Apabila kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia, mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu masih hidup di dunia: jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia.”

Nas ini memberi gambaran akurat mengenai “pengajaran kekudusan.” Jangan salah paham peraturan-peraturan tidak serta merta salah. Banyak darinya berguna dan baik. Namun kebenaran diri sendiri kita tidak terdiri dari melaksanakan peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan buatan manusia sering tidak masuk akal dan tidak logis.

Kedua, aliran Baptis. Katagori kedua ini merefleksi mereka dengan aliran Baptis.

Esensi peraturan-peraturan mereka adalah aktifitas. Mereka harus menghadiri empat pertemuan setiap minggu. Mereka harus menjabat dalam tiga komite. Mereka harus melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Kurang partisipasi menghukum mereka.

Orang-orang Kristen yang menggunakan banyak waktu di gereja – pergi ke gereja empat atau lima kali seminggu, berisiko mengabaikan keluarga dan rumah tangga mereka.

Dalam Roma 4:3 Paulus menulis, “Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? “Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Bukan apa yang Abraham lakukan, melainkan apa yang ia percaya – imannya pada Allah – yang mengkualifikasinya sebagai kebenaran.

Jika kita mampu mencapai kebenaran melalui perbuatan-perbuatan, maka Allah berhutang upah pada kita. Namun Allah tidak berhutang apa-apa. “Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran” (ayat 5). Tidak ada tindakkan luar yang kita bisa lakukan untuk mencapai kebenaran, jadi tinggalkan usaha-usaha kita yang sia-sia untuk melakukan ini dan itu. Benar bahwa perbuatan-perbuatan baik kita menuai upah kekal (lihat Matius 16:27; Lukas 6:35), namun tidak jika kita melakukan perbuatan-perbuatan baik berharap untuk mendapatkan kebenaran. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran adalah menerima, dengan iman, kebenaran Allah.

Kelompok ketiga membuat peraturan-peraturan berdasarkan obsesi mereka pada doktrin yang benar. Kita menyebut mereka Fundamentalis. Mereka kritis, tidak mudah puas dan pilih-pilih mengenai doktrin yang benar. Kekurangan jawaban-jawaban menimbulkan perasaan tidak percaya diri dan tidak ada kepastian dalam diri mereka, dan untuk menghindari ini, Fundamentalis mengembangkan pertahanan detil doktrin – untuk menciptakan rasa aman. Jika kita menantang doktrin seorang Fundamentalis, kita mengusik rasa amannya dan memprovokasi mereka – melindungi diri sebagai upaya membela diri.

Dalam injil, “security” kita dalam Allah tidak bergantung pada kebenaran kita. Bahkan ketika kita salah – kita bisa yakin jika kita bergantung tidak pada diri kita sendiri, melainkan pada Allah – ada banyak yang kita tidak tahu. Ini merendahkan hati kita.

Keempat, orang-orang yang disebut sebagai aliran “Spiritual” – bangun jam lima pagi setiap pagi, meluangkan tiga puluh menit berlutut sebelum membuka Alkitab, dan bisa bicara dengan semangat nas-nas Kitab Suci tanpa batas berdasarkan ingatan. Mereka bahkan bisa mengklaim menerima pewahyuan-pewahyuan hal-hal yang akan terjadi.

Sementara praktik-praktik ini positif, namun tidak bisa mengimpartasi kebenaran. Bangun pagi untuk berdoa baik selama kita tidak melakukannya berdasarkan kewajiban, atau ide yang membuat kita merasa memiliki kebenaran.

Kelima, kelompok terakhir – aliran yang mematuhi peraturan- peraturan. Orang-orang ini percaya bahwa kebenaran terdiri dari menjaga segalanya rapi dan bersih tidak bernoda.

Ketika kita fokus pada penampilan luar, kita mengabaikan realita didalam, dimana kebenaran berada. Orang-orang yang percaya pada diri mereka sendiri dan menjaga rapi penampilan luar cenderung memandang rendah mereka yang berantakan, orang-orang yang tidak mentaati peraturan-peraturan seperti mereka.

Mereka sering bangga dengan penampilan luar mereka yang rapi, dan ini menghasilkan bahaya kondisi spiritual. Seperti Amsal 16:18 memperingatkan, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.”

Kebenaran diri sendiri berakar dari keinginan natural manusia untuk bisa berdiri sendiri. Mereka menghargai independen dan usaha keras bergantung pada diri sendiri sebagai ganti dari pada Allah.

Satu-satunya jalan orang-orang mencoba menjadi independen dari Allah melalui agama – dengan mendirikan protokol ketat dan mengikutinya sebagai jalan untuk mencapai kebenaran. Manusia harus menerima ketidakmampuannya untuk mencapai kebenaran, dengan demikian meninggalkan kebenaran diri sendiri dan berserah pada kebenaran Allah – lima aspek yang langsung berlawanan dengan lima aspek kebenaran diri sendiri: Sementara kebenaran diri berpusat pada diri sendiri, kebenaran Allah berpusat pada Kristus. Untuk menerima kebenaran Allah, kita harus mengalihkan perhatian kita dari diri kita dan fokus sebaliknya pada Kristus. Yesaya berbicara mewakili Allah dalam Yesaya 45:22: “berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi!” Secara insiden, ini berlaku bukan hanya untuk orang benar namun juga untuk kesembuhan – banyak orang Kristen menderita secara fisikal tanpa kelegaan karena mereka fokus pada gejala-gejala kebalikan dari pada Tuhan. Kristus adalah Alfa dan Omega, Awal dan Akhir, Pertama dan Terkhir (lihat Wahyu 22:13).

Kita lengkap sempurna dalam Kristus, “sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan”(Kolose 2:3).

Di dalam “Dia [Kristus] Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan- Nya….supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita didalam Dia, yang dikasihi-Nya” (Efesus 1:4,6). Kasih karunia Allah hanya melalui Kristus yang memberi kita kebenaran; kita tidak bisa memperolehnya sendiri dan tidak layak. Kita diterima karena apa yang Kristus sudah lakukan dan karena siapa Dia; kita dikasihi Allah seperti Yesus dikasihi-Nya.

Karena Kristus sudah menerima kita, kita menerima orang lain kebalikan dari membenci atau memandang mereka rendah, sementara kebenaran diri sendiri menyebabkan kita melakukan itu. Kita harus memperlakukan orang lain seperti Allah memperlakukan kita.

Jika kita hidup dengan kesan bahwa Allah akan menerima kita hanya ketika kita mentaati peraturan-peraturan-Nya, kita akan menerima orang lain hanya ketika mereka mentaati peraturan-peraturan yang kita hidup melaluinya. Sebagai kontras, jika kita hidup dengan keyakinan yang benar – Allah dengan cuma-cuma menerima kita dalam Kristus dan mengasihi kita tanpa syarat, kita bisa dengan cuma-cuma menerima orang lain dan mengasihi mereka tanpa memberlakukan syarat-syarat yang mereka harus penuhi.

Paulus menyampaikan isu ini dalam Roma 14, dimana ia berbicara mengenai seseorang yang pilihan makanannya membuatnya membenci orang-orang yang tidak menjauhkan diri dari makan daging seperti yang ia lakukan: “Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu” (ayat 3). Allah menerima orang-orang yang kita tidak suka.

Paulus juga menginstruksikan kita, “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7). Kita bisa belajar bagaimana menerima orang lain dengan mengerti bagaimana Kristus menerima kita. Apakah Ia mengatakan pada kita, “luruskan hidupmu, taati daftar peraturan-peraturan ini, dan kembali ketika engkau sudah mencapainya”? Sama sekali tidak! Kristus menerima kita sebagaimana kita adanya – dan lalu baru Ia mulai merubah kita.

Urutan ini signifikan. Berubah bukan tidak perlu, namun dimulai dengan menerima sebelum dimulai perubahan. Jika kita ingin merubah seseorang, kita harus mulai dengan menerimanya.

Orang-orang yang membenarkan diri sendiri sering membandingkan diri mereka dengan orang lain, namun Allah hanya punya satu standar untuk kebenaran: Yesus Kristus. Ia tidak menggunakan standar lain untuk menghakimi kita. Dalam 2 Korintus 10:12, kita membaca, “Memang kami tidak berani menggolongkan diri kepada atau membandingkan diri dengan orang-orang tertentu yang memujikan diri sendiri. Mereka mengukur dirinya dengan ukuran mereka sendiri dan membandingkan dirinya dengan diri mereka sendiri. Alangkah bodohnya mereka!.” Lawan bijaksana adalah bodoh; hanya orang-orang bodoh mengukur diri mereka dengan orang lain dan bentuk penilaian diri berdasarkan perbandingan- perbandingan.

Apa satu standar Allah untuk mengukur kita? Kisah Para Rasul 17:31 menjelaskan, “Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati.”

Allah akan menghakimi bukan denominasi agamawi kita dan bukan doktrin kita melainkan kebenaran kita. Manusia yang Allah bangkitkan dari antara orang mati tidak lain adalah Yesus Kristus, yang adalah standar kita dan hakim kita. Allah tidak punya standar lain selain Yesus, dan jika kita mengukur diri kita menurut standar lain, kita membohongi diri sendiri.

Kebenaran Allah tidak terdiri dari menjalankan daftar peraturan spesifik. Melainkan, ketika kita percaya Allah sudah menerima kita, Ia bisa bekerja didalam kita, dan tindakkan-tindakkan kita sesuai.

Allah tidak bisa bekerja dalam kita sampai kita secara absolut yakin penerimaan kita, karena melalui penerimaan kita Allah bisa bekerja dalam kita. Filipi 2:12-13 berkata, “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang (mengerjakan) di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan- Nya.”

Allah bekerja (dalam); kita bekerja (di luar). Kita bergantung seluruhnya pada pekerjaan Allah didalam kita, dan pekerjaan-Nya dua ganda: pertama untuk menginginkan, lalu untuk melakukan, menurut kerelaan-Nya. Kita harus secara alamiah menginginkan melakukan apa yang benar, karena Allah memberi kita keinginan untuk melakukannya, lalu melengkapi kita dengan kemampuan untuk melakukan itu.

Terakhir, kebenaran Allah dinamis dan progresif tidak statis. Kita bertumbuh dalam Kristus sebagai anak-anak dalam rumah Bapa kita.

Hubungan antara bapa manusia dan anaknya ilustrasi yang cocok dari prinsip ini. Bapa tidak akan pernah berkata pada bayinya yang baru lahir, “Ketika engkau belajar semua peraturan, Aku akan menerima engkau sebagai anak.” Sebaliknya, bapa-bapa senang dengan bayi-bayi yang baru lahir, dan mereka menerima mereka sejak lahir. Seorang anak yang tumbuh dalam rumah dimana ia tidak diterima akan menghadapi masalah-masalah, sementara seorang anak yang langsung diterima tumbuh menginginkan melakukan kehendak bapanya. Meski ia mungkin jatuh dan membuat kesalahan, bapanya tidak bisa menolaknya sebagai anak. Bapanya berkata, “Engkau sudah membuat banyak kesalahan, namun datanglah; kita akan memulai yang baru.”

Penerimaan adalah dasar dari kebenaran kita dalam Kristus dan kita menerima penerimaan bukan melalui perbuatan-perbuatan atau peraturan-peraturan, melainkan dari Allah dalam iman.

Kita bergerak dari penerimaan kedalam kebenaran, bertumbuh dalam keserupaan kita dengan Kristus. Efesus 4:15 berkata, “…tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih (kita) bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Pernyataan serupa ada dalam 2 Korintus 3:18: “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi (serupa) dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”

Kita berubah dan mengalami transformasi, bukan karena usaha kita sendiri, melainkan karena Roh Kudus, yang mengimpartasi kemuliaan Kristus. Proses ini terus menerus; bertahan selama kehidupan kita dibumi.

Dalam Filipi 3:7-14, Paulus berbicara lebih jauh mengenai kehidupan kekal: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.

Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.

Yang kuhendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematiaan-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.

Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.

Sasaran utama kita adalah kebenaran Kristus, yang Ia sendiri impartasi melalui Roh Kudus. Seperti Amsal 4:18 mengajarkan, “Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari.”

Jika kita berjalan pada jalan kebenaran, terang harus kian bertambah terang setiap hari sementara kita bertambah dekat pada Allah. Jika terang dimana kita hidup hari ini tidak bertambah terang dari pada kemarin. Kita dalam bahaya kemunduran, bergantung pada metode-metode dan peraturan-peraturan buatan sendiri sebagai ganti dari kebenaran Allah. Tipe kemunduran ini mempromosi kebenaran sendiri, yang harus dihindari jika kita ingin mencegah kebutaan spiritual dan penipuan.

 Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply