Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Jenis Orang Seperti Apa (Bagian 10)




eBahana.com – Ada lima proklamasi Alkitabiah mengenai darah Yesus. Mempertahankan proklamasi Alkitabiah ini adalah kunci untuk hidup berkemenangan atas dosa dan Satan. Apakah sesederhana itu? Apakah itu saja yang kita harus lakukan?

Jawabannya: kunci untuk keberhasilan tidak bergantung pada hanya apa yang kita “katakan” namun pada apa “kita.” Kita ingat dalam Wahyu 12:11, orang-orang yang mencapai kemenangan atas dosa dan Satan digambarkan: “Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut.”

Bagaimana kita mengerti itu? Apa artinya, “Mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut”? Bagi orang-orang ini lebih penting melakukan kehendak Allah daripada tetap hidup. Dikonfrontasi dengan situasi dimana melakukan kehendak Allah akan mengorbankan hidup mereka, itu harga yang mereka harus
bayar. Mereka tidak akan mencari alternatif lain dan jalan keluar apa apapun.

Lukas 9:21-24, menggambarkan sekelompok orang antusias yang mengikuti Yesus, bergairah dengan mukjizat yang mereka saksikan. Namun tampaknya Yesus lebih tertarik dengan komitmen pribadi daripada jenis antusiasme itu: “Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.” (Lukas 9:23-24).

Pesan Yesus tidak menjanjikan cara mudah menjalankan hidup. Sebaliknya, dalam Khotbah di bukit, Ia menegaskan: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Matius 7:13-14).

Jika gambaran kita mengenai kehidupan Kristen tidak termasuk tuntutan-tuntutan Allah untuk berkorban dan menyerahkan nyawa, kita perlu bertanya “cara” kita hidup. Kita mungkin hidup di jalan yang luas menuju kehancuran dan bukan jalan sulit sesak menuju hidup. Dalam gereja masa kini beberapa pendeta menekankan
hanya berkat-berkat dan faedah-faedah dari kehidupan Kristen dan tidak pernah berbicara mengenai syarat-syarat yang kita harus penuhi agar menerima berkat-berkat dan faedah-faedah itu. Pendeta-pendeta itu bisa dibandingkan dengan pedagang yang memamerkan berbagai barang atraktif, namun tidak pernah melampirkan label harga pada satu pun darinya.

Catatan Lukas mengenai perjalanan Paulus yang diberikan dalam Kisah Para Rasul 27 dan 28, sangat memberkati dan menantang kita. Ini bukan perjalanan biasa; gerakan strategik vital dalam tujuan-tujuan Allah. Allah mengkomitkan pada Paulus tanggung jawab membawa Injil pada orang-orang non-Yahudi yang “tidak bersunat.” Kunci untuk ini dengan membangun pusat di kota Roma. Dari sana, banyak saluran-saluran berbeda yang akan secara otomatikal membawa Injil ke seluruh dunia kuno – saluran-saluran perdagangan, pendidikan, keuangan, administrasi pemerintahan dan interaksi sosial. Karena panggilan khusus Paulus, ia orang yang memenuhi syarat terbaik untuk membangun pusat seperti itu di Roma.

Karena signifikans gerakan Paulus ke Roma, ia menghadapi oposisi spiritual besar dalam perjalanan kesana. Paulus tidak berlayar dengan kapal mewah. Sebaliknya, ia berlayar dengan kapal barang sebagai tahanan yang di borgol rantai. Lebih jauh, kapal yang ia tumpangi terperangkap dalam badai begitu mengerikan sehingga
selama dua minggu orang-orang di atas kapal tidak melihat matahari pada siang atau bulan dan bintang-bintang pada malam hari.

Badai dengan intensitas seperti itu sudah pasti digerakan oleh lebih dari kekuatan-kekuatan natural – melainkan supernatural. Ada contoh-contoh dalam Perjanjian Lama. Ayub 1:19, sebagai contoh, mencatat badai supernatural yang diarahkan oleh Satan terhadap anak-anak laki-laki dan perempuan Ayub. Pemberita datang pada Ayub dengan laporan: “Maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun;
rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan” Angin yang bisa menghantam empat penjuru rumah secara simultan, dari semua arah, kemungkinan digerakkan oleh Iblis dibelakangnya.

Kembali ke badai dalam Kisah Para Rasul 27, kita teruskan naratif Lukas: “Dan karena mereka beberapa lamanya tidak makan, berdirilah Paulus di tengah-tengah mereka dan berkata: “Saudara-saudara, jika
sekiranya nasihatku dituruti, supaya kita jangan berlayar dari Kreta, kita pasti terpelihara dari kesukaran dan kerugian ini! Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorang pun diantara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini. Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari ‘Allah yang aku sembah’ sebagai ‘milik-Nya,’ berdiri disisiku” (Kisah Para Rasul
27:21-23).

Paulus menggunakan dua frasa disini untuk menggambarkan hubungannya dengan Allah: “Allah yang aku sembah” dan “sebagai milik-Nya.” Dalam ekonomi rumah tangga Allah, dua hal ini tidak pernah bisa dipisahkan. Jika kita bukan “milik” Allah, kita tidak memiliki hak “melayani”-Nya. Tidak ada “karyawan sewaan” di rumah tangga Allah. Dilain pihak, kita tidak bisa menjadi milik Allah jika kita tidak siap untuk pelayanan-Nya. Allah tidak menyambut ke rumah tangga-Nya orang-orang egois yang suka dimanja. Mereka
tidak memiliki bagian dalam Kerajaan-Nya.

Hukum Musa mengenal dua kelas hamba. Mereka yang dibayar harian disebut “karyawan sewaan.” Mereka bukan anggota rumah tangga yang mereka layani. Sebaliknya, mereka yang anggota rumah tangga tidak harus menerima bayaran untuk jasa mereka. Sederhananya karena privilese yang mereka nikmati sebagai anggota rumah tangga. Namun rumah tangga yang memiliki mereka bertanggung jawab untuk pemeliharaan mereka kapan pun – ketika mereka bekerja atau tidak.

Dalam Kerajaan-Nya, Allah tidak memiliki tempat untuk “karyawan sewaan.” Mereka yang melayani dalam Kerajaan Allah melakukan itu karena mereka anggota rumah tangga. Ini berarti kita tidak bisa memisahkan dua frasa Paulus yang digunakan untuk menggambarkan dirinya: “Allah yang aku sembah” dan “sebagai
milik-Nya.” Jika kita bukan milik Allah, kita tidak memiliki hak untuk melayani-Nya.

Pada akhirnya, kapal yang Paulus dan kawan-kawan berlayar terhempas ke tanjung berbatu dan berhenti. Ini memberi mereka kesempatan dari atas kapal untuk melarikan diri ke tanah kering.

Apakah kita pernah berpikir: apakah Paulus dalam kehendak Allah dalam semua pengalaman ini? Sudah pasti Paulus sepenuhnya dalam kehendak Allah, dan seluruh perjalanannya ke Roma diperintah oleh Allah. Namun kekuatan-kekuatan satanik yang takut akan dampak dari pelayanan Paulus di Roma, melakukan segalanya
dalam kekuatan mereka untuk menghancurkannya sebelum ia bisa mencapai tujuannya. Badai yang ia hadapi tidak murni alami asli melainkan didatangkan oleh kekuatan-kekuatan satanik di angkasa.

Dalam hikmat ilahi-Nya, Allah kadang-kadang mengijinkan hamba-hamba-Nya yang melakukan kehendak-Nya diekspos pada kebencian dan kemarahan Satan. Dengan cara ini, mereka mendapat pengetahuan dan pengertian yang dalam bukan hanya mengenai kodrat sejati kekuatan-kekuatan yang melawan mereka
tetapi juga kebutuhan pribadi mereka untuk terus menerus waspada.

Dalam 1 Petrus 5:8, rasul memperingatkan saudara-saudara seimannya: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” Suatu pengalaman menakutkan menghadapi singa lapar yang mencari mangsa. Alkitab tidak pernah mendatangkan ketakutan kedalam hidup kita, tetapi, di lain pihak, tidak pernah mendorong kita meremehkan kuasa dan keganasan lawan-lawan satanik kita.

Setelah peristiwa kapal karam Satan mendatangkan satu lagi tantangan. Orang-orang yang sudah lolos dengan aman ke darat mulai mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Paulus – rasul “besar” – tidak hanya berdiri di satu sisi menunggu yang lain; ia diantara yang pertama mengumpulkan kayu bakar. Satan menggunakan ini sebagai kesempatan untuk membuat usaha terakhir untuk menghancurkan Paulus: “Ketika Paulus memungut
seberkas ranting-ranting dan meletakkannya di atas api, keluarlah seekor ular beludak karena panasnya api itu, lalu menggigit tangannya” (Kisah Para Rasul 28:3-5). Dari semua 276 orang di situ, kenapa ular itu hanya memilih Paulus sebagai korbannya? Apakah ada makhluk supernatural bekerja melalui ular itu?

Namun Paulus penuh dengan Roh Kudus. Ia tidak butuh untuk berdoa atau untuk bicara dalam bahasa roh. Dengan ketakjuban penduduk-penduduk setempat yang tahu betapa mematikannya gigitan ular beludak, Paulus hanya melempat ular itu ke dalam api dan melanjutkan mengumpulkan kayu bakar.

Apa rahasia hidup kemenangan Paulus? Ia sendiri menjelaskan dalam 2 Timotius 1:12: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah (dipercayakan-Nya kepadaku) hingga pada hari Tuhan.”

Rahasia hidup kemenangan Paulus disimpulkan dalam satu kata – (dipercayakan). Ia secara total bersedia melayani Allah. Dalam Filipi 3:13-14, ia menyatakan ambisi tertinggi hidupnya: “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

Dalam beberapa kelompok gereja masa kini, diperkenalkan ajaran yang “tidak alkitabiah” mengenai pemisahan antara keselamatan dan kekudusan. Kekudusan direpresentasi sebagai opsional atau pilihan yang bisa ditambahkan pada keselamatan. Ini sikap tidak alkitabiah terhadap kekudusan. Dalam Ibrani 12:14, penulis menegaskan: “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan.” Kekudusan bukan pilihan sebagai tambahan untuk
keselamatan. Sebaliknya, tanpa kekudusan, tak seorang pun akan melihat Tuhan.

Dalam 2 Korintus 7:1, Paulus menghimbau saudara-saudara seimannya untuk bergabung dalam mengejar kekudusan pribadi: “Saudara-saudaraku yang kekasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita ‘menyucikan’ diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian (menyempurnakan kekudusan) kita dalam takut akan Allah.” Mencapai kekudusan pribadi bukan sesuatu yang Allah lakukan untuk kita. Tidak bisa dipisahkan dari takut akan Allah. Komitmen pribadi kita pada Yesus dan syarat esensial untuk kemenangan atas Satan yang Allah sudah janjikan pada kita.

Dua ayat terakhir dari Kisah Para Rasul memberi gambaran indah kemenangan yang menyimpulkan perjalanan Paulus yang menegangkan: “Dan Paulus tinggal dua tahun penuh di rumah yang disewanya sendiri itu; ia menerima semua orang yang datang kepadanya. Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.”

Komentar yang tepat tentu saja: “Misi selesai” Injil untuk orang-orang non-Yahudi sudah dibangun dalam kota yang mendominasi orang-orang non-Yahudi – Roma.

Namun ada juga aplikasi pribadi yang kita bisa buat dalam hidup kita sendiri. Pikirkan kembali sejenak mengenai orang-orang percaya dalam Wahyu 12:11 yang”tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut.” Kita perlu bertanya pada diri kita: Apakah ini menggambarkan saya?

Jika kita tidak bisa merespons dengan keyakinan atas pertanyaan ini, Roh Kudus sedang mengundang kita saat ini untuk membuat komitmen pribadi tanpa syarat pada Tuhan Yesus. Kita bisa berkata: Tuhan Yesus, saya berterima kasih Engkau memberi diri-Mu untuk saya di salib. Sebagai respons, saya sekarang memberi diri saya tanpa syarat kepada-Mu, untuk menjalankan hidup saya melayani-Mu dan untuk kemuliaan-Mu. Amin.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply