Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Puasa Kunci Melepaskan Kuasa Allah – Bagian 1




eBahana.com – Kunci sukses kehidupan Kristen sepanjang Alkitab telah disingkirkan dan salah diletakkan oleh gereja hari ini. Kunci itu adalah “puasa.”

“Puasa adalah menjauhkan diri dari makanan secara sukarela untuk tujuan spiritual.” Kadang-kadang orang-orang berpuasa bukan hanya dari makanan namun juga dari air; meski demikian, itu pengecualian ketimbang peraturan. Berpuasa dari makanan saja dicontohkan dalam puasa Yesus di padang gurun sebelum Ia memulai pelayanan publik-Nya. Matius 4:2, berkata: “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.” Jelas Yesus tidak menjauhi air selama empat puluh hari itu karena siapa pun berpuasa dari air akan menjadi haus sebelum mereka menjadi lapar. Fakta Kitab Suci tidak berkata, “Ia menjadi haus,” melainkan hanya menyatakan, “laparlah Yesus,” mengindikasikan Yesus hanya menjauhi makanan, bukan air.

Berpuasa tidak biasa dan bahkan menakutkan bagi banyak orang, sikap ini aneh. Berpuasa secara reguler dipraktikkan oleh umat Allah sepanjang Alkitab.

Tujuan berpuasa untuk merendahkan diri. Cara-cara Alkitabiah yang ditahbiskan oleh Allah untuk kita merendahkan diri dihadapan-Nya. Sepanjang Alkitab Allah mensyaratkan umat-Nya merendahkan diri mereka dihadapan-Nya. Banyak nas dalam Kitab Suci menekankan ini.

4 dari Perjanjian Baru:

“Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga” (Matius 18:4).

“Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:12).

“Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu” (Yakobus 4:10).

“Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya” (1 Petrus 5:6).

Satu ciri penting dari semua ayat ini “tanggung jawab merendahkan diri diletakkan pada kita.” Kita tidak bisa mengalihkan tanggung jawab itu kepada Allah. Berdoa, “Allah, buatlah saya rendah hati,” tidak alkitabiah, karena perintah Allah dalam Kitab Suci selalu, “Rendahkan dirimu.”

Dalam Alkitab Allah sudah mengungkapkan pada kita cara spesifik, dan praktikal bagaimana merendahkan diri. Daud mengungkapkan bahwa berpuasa cara yang ia gunakan untuk merendahkan jiwanya, atau merendahkan dirinya: “aku menyiksa diriku dengan berpuasa” (Mazmur 35:13).

Lihat beberapa contoh sejarah di mana umat Allah merendahkan diri dengan cara ini. Kita membaca dalam Kitab Ezra bagaimana Ezra mempersiapkan dan memimpin rombongan orang Yahudi kembali dari pembuangan di Babylon ke Yerusalem. Mereka menghadapi perjalanan jauh yang sulit melalui negeri penuh perampok yang didiami oleh musuh mereka. Mereka membawa istri-istri, anak-anak dan peralatan suci ibadah mereka. Mereka putus asa. Mereka butuh jaminan keamanan dalam perjalanan. Ezra memiliki dua alternatif: ia bisa meminta kepada raja Persia tentara dan orang-orang berkuda, atau ia bisa mempercayai Allah. Ia pilih mempercayai Allah dan ini yang ia katakan: “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan
puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami. Karena aku malu meminta tentara dan orang-orang berkuda kepada raja untuk mengawal kami terhadap musuh di jalan; sebab kami telah berkata kepada raja, demikian: “Tangan Allah kami melindungi semua orang yang mencari Dia demi keselamatan mereka, tetapi
kuasa murka-Nya menimpa semua orang yang meninggalkan Dia.” Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah dan Allah mengabulkan permohonan kami” (Ezra 8:21-23).

Ezra memiliki dua alternatif: satu kedagingan, satunya spiritual. Ia bisa mengambil jalan kedagingan dan meminta tentara dan pasukan berkuda. Itu tidak berdosa, hanya saja berada pada tingkat iman yang lebih rendah. Namun ia memilih yang spiritual. Ia memilih melihat pada Allah dengan memohon pertolongan dan
perlindungan supernatural Allah. Ezra dan orang-orang Israel tahu bagaimana melakukan itu. Mereka berpuasa dan merendahkan jiwa mereka dihadapan Allah. Mereka mengajukan permohonan pada Allah. Allah mendengar dan memberi mereka perjalanan aman yang mereka minta.

Dalam 2 Tawarikh kita membaca catatan insiden dalam sejarah Yehuda ketika Yosafat menjadi raja. “Datanglah orang memberitahukan Yosafat: “Suatu laskar yang besar datang dari seberang Laut Asin, dari Edom, menyerang tuanku…..Sekarang mereka di Hazezon – Tamar,” yakni En-Gedi. Yosafat menjadi takut, lalu mengambil keputusan untuk mencari TUHAN. Ia menyerukan kepada seluruh Yehuda supaya berpuasa. Dan Yehuda berkumpul untuk meminta pertolongan dari pada TUHAN. Mereka datang dari semua kota di Yehuda untuk mencari TUHAN” (2 Tawarikh 20: 2-4).

Lalu Yosafat berdoa memohon pertolongan Allah. Dalam ayat terakhir yang sangat signifikan dari doa itu, Yosafat menutup dengan mengatakan: “Ya Allah kami, tidakkah Engkau akan menghukum mereka? Karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi laskar yang besar ini, yang datang menyerang kami. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu” (2 Tawarikh 20:12).

Disini frasa-frasa kunci: “….kami tidak mempunyai kekuatan…kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan….” mereka kembali kepada Allah untuk pertolongan supernatural – jalan yang mereka tahu. Mereka menolak yang natural, sebaliknya memohon yang supernatural.

Contoh lain dalam Perjanjian Lama, ordonansi Hari Penebusan Dosa, orang-orang Yahudi menyebut Yom Kippur. “Inilah yang harus menjadi ketetapan untuk selama-lamanya bagi kamu, yakni pada bulan yang ketujuh, pada tanggal sepuluh bulan itu kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa dan janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan, baik orang Israel asli maupun orang asing yang tinggal di tengah-tengahmu; Terjemahan di atas berkata, “…kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa.” Terjemahan lain berkata, “…kamu harus menyangkal diri.” Dan, alternatifnya, “….kamu harus berpuasa.” Nas tersebut melanjutkan: Karena pada hari itu harus diadakan pendamaian bagimu untuk mentahirkan kamu. Kamu akan ditahirkan dari segala dosamu dihadapan TUHAN. Hari itu harus menjadi sabat, hari perhentian penuh, bagimu dan kamu harus merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya” (Imamat 16:29-31).

Kita tahu, sesuai sejarah, selama 3.500 tahun orang-orang Yahudi selalu merayakan Yom Kippur, Hari Penebusan Dosa, sebagai hari berpuasa. Kita juga memiliki otoritas Perjanjian Baru untuk ini. Nas dalam Kisah Para Rasul menggambarkan perjalanan Paulus ke Roma melalui laut: “Sementara itu sudah banyak waktu yang hilang. Waktu puasa sudah lampau”(Kisah Para Rasul 27:9). “Puasa” yang disebut di sini adalah Hari Penebusan Dosa, yang selalu jatuh pada akhir September atau awal Oktober, sebelum musim dingin. Kita melihat dari Perjanjian Baru bahwa Hari Penebusan Dosa selalu di rayakan sebagai “Puasa.” Allah mensyaratkan umat- Nya merendahkan jiwa mereka dihadapan-Nya dengan berpuasa berjamaah. Itu ketetapan, ordonansi, untuk Hari Penebusan Dosa, hari paling suci dalam kalender Yahudi.

Perhatikan dua fakta: pertama, berpuasa respons manusia pada pemeliharaan pengampunan dan penyucian Allah. Allah menyediakan perayaan dimana Imam Besar masuk kedalam ruang paling dalam (Ruang Maha Suci) dari bait dan membuat penebusan.

Kedua, penebusan itu hanya efektif bagi orang-orang yang menerimanya melalui puasa. Dengan kata lain, Allah melakukan bagian-Nya, namun manusia harus melakukan bagiannya. Ini benar dalam banyak urusan dengan Allah. Allah melakukan bagian-Nya, namun Ia berharap respon dari kita. Sering sekali respon yang Allah harapkan dari kita berpuasa.

Allah secara absolut mensyaratkan berpuasa bagi semua umat-Nya di bawah Perjanjian Lama. Siapa pun yang tidak berpuasa pada Hari Penebusan Dosa di singkirkan dan tidak lagi menjadi anggota umat Allah. Kita melihat Allah menetapkan pentingnya berpuasa bagi umat-Nya agar merendahkan diri dihadapan-Nya dan memenuhi syarat mendapatkan berkat yang Ia sediakan.

Kita sudah melihat bahwa puasa adalah kunci yang hilang, yang ditemukan sepanjang Alkitab. Namun telah di singkirkan dan salah diletakkan oleh gereja Kristen hari ini.

Tujuan utama berpuasa, seperti diungkapkan dalam Alkitab, untuk merendahkan diri. Berpuasa cara alkitabiah untuk merendahkan diri kita. Sepanjang Alkitab Allah mensyaratkan umat-Nya untuk merendahkan diri dihadapan-Nya. Allah sudah mengungkapkan cara sederhana, praktikal untuk merendahkan diri kita adalah melalui berpuasa.

Kita sudah melihat beberapa contoh historikal dalam Perjanjian Lama: contoh Daud dalam Mazmur; Ezra dan orang-orang buangan yang kembali dari Babylon; Yosafat dan orang-orang Yudea; dan Hari Penebusan Dosa, ketika setiap orang percaya Yahudi disyaratkan mempraktikkan puasa. Kodrat esensial berpuasa adalah menolak yang natural dan memohon yang supernatural. Hal yang paling natural bagi kita adalah makan. Ketika kita berhenti makan, kita dengan sengaja berpaling dari yang natural dan beralih pada Allah dan pada yang supernatural. Ini memiliki signifikansi dalam.

Puasa juga bagian dari hidup dan pelayanan Yesus dan gereja Perjanjian Baru. Pertama, Tuhan Yesus Sendiri mempraktikkan puasa, seperti dicatat dalam Injil:”Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Iapar” (Lukas 4:1-2).

Kata-kata dalam ayat di atas mengindikasikan kemungkinan Yesus menjauhkan diri dari makanan, namun minum air. Sebelum Yesus masuk pelayanan publik-Nya, ada dua pengalaman kritikal yang Ia lewati. Pertama, ketika Roh Kudus turun ke atas-Nya, Ia menerima kuasa supernatural Roh Kudus untuk pelayanan-Nya. Namun, Yesus tidak langsung pergi melayani. Pengalaman kedua empat puluh hari puasa di padang gurun. Ia menjauhi diri darimakanan dan fokus pada kehidupan spiritual. Selama kurun waktu itu, Ia mengalami konflik langsung dengan Satan (Iblis). Melalui puasa-Nya, Ia menang dalam konflik dengan Satan.

Ilustrasi ini mengindikasi puasa esensial dalam hidup kita jika kita ingin menjadi pemenang atas Satan. Jika Yesus harus mempraktikkan puasa untuk kemenangan, bagaimana kita bisa klaim memperoleh kemenangan tanpa praktik yang sama. Perhatikan hasil puasa dalam hidup Yesus. Lukas 4:14 mengatakan: “Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu”

Ada perbedaan sangat signifikan dalam dua frasa yang digunakan. Ketika Yesus pergi ke padang gurun, Injil berkata Ia “penuh dengan Roh Kudus.” Namun ketika Ia kembali dari padang gurun setelah empat puluh hari puasa dikatakan Ia pergi “dengan kuasa Roh.” Dengan kata lain, “penuh” dengan Roh Kudus, dan dengan “kuasa” Roh dua hal berbeda. Sejak Ia dibaptis dan seterusnya, Roh disana. Namun puasa-Nya yang melepaskan kuasa Roh Kudus mengalir melalui hidup dan pelayanan-Nya. Ini pola sama untuk kita.

Yesus Sendiri berkata kemudian, dalam Yohanes 14:12: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, Ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.”

Pekerjaan-pekerjaan Yesus dimulai dengan puasa. Jika kita ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang Ia lakukan, logikanya kita harus mulai sama dengan Yesus – dengan berpuasa.

Yesus juga mengajar murid-murid-Nya untuk berpuasa. Dalam khotbah di Bukit, Ia berkata pada murid-murid-Nya: “Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Matius 6:17-18).

Yesus menjanjikan upah bagi mereka yang mempraktikkan puasa dengan cara dan motif yang benar. Perhatikan satu kata kecil penting. Yesus berkata, “‘ketika’ engkau berpuasa.” Ia tidak berkata, ‘jika’ engkau berpuasa.” Seandainya Ia berkata “jika,” Ia membuka kemungkinan mereka tidak berpuasa. Namun ketika Ia berkata, “ketika” engkau berpuasa,” Ia berasumsi sudah pasti mereka akan mempraktikkan puasa.

Dalam tema pasal enam Matius ada tiga kewajiban utama Kristen: memberi kepada orang miskin, berdoa, dan berpuasa. Sehubungan dengan tiga kewajiban itu, Yesus menggunakan kata yang sama “ketika,” Ia tidak pernah berkata “jika.” Dalam ayat 2 Ia berkata: “….ketika (apabila) engkau memberi sedekah…” dan dalam ayat 17 Ia berkata, “…ketika (apabila) engkau berpuasa…” Ia tidak pernah memberi mereka pilihan untuk tidak melakukan tiga hal ini. Ia meletakkan memberi, berdoa dan berpuasa dalam tingkat yang sama.

Sebagian besar orang Kristen menerima tanpa banyak bertanya bahwa kewajiban kita memberi dan berdoa, namun berdasarkan itu kewajiban kita juga sama untuk berpuasa.

Bukan hanya berpuasa dipraktikkan oleh Yesus, juga dipraktikkan oleh gereja Perjanjian Baru. Dalam Kisah Para Rasul 13:1-4 kita membaca mengenai gereja di Antiokhia: “Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simeon yang disebut Niger, dan Lukius orang Kirene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Saulus. Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.”

Maka berpuasa dan berdoalah mereka, dan setelah meletakkan tangan ke atas kedua orang itu, mereka membiarkan keduanya pergi. Oleh karena disuruh Roh Kudus, Barnabas dan Saulus berangkat ke Seleukia, dan dari situ mereka berlayar ke Siprus” (Kisah Para Rasul 13:1-4). Pemimpin-pemimpin gereja melayani Tuhan dan berpuasa bersama. Dalam menjalankan puasa mereka, mereka menerima pewahyuan dari Roh Kudus bahwa dua dari mereka diutus untuk pelayanan khusus apostolik. Menerima pewahyuan ini, mereka tidak langsung mengutus mereka, namun mereka “berpuasa dan berdoa dan meletakkan tangan ke atas kedua orang itu…” lalu dikatakan mengenai dua orang itu mereka disuruh “oleh Roh Kudus.”

Kita melihat lagi bahwa puasa mentransfer kita dari yang natural kepada yang supernatural. Ketika pemimpin-pemimpin gereja keluar dari alam natural melalui puasa, mereka mendapat pewahyuan dan otorisasi supernatural, dan Roh Kudus Sendiri menerima tanggung jawab untuk apa yang mereka lakukan. Namun cara ke ini dibuka melalui puasa kolektif mereka. Setelah Paulus dan Barnabas pergi melayani, kita membaca apa yang mereka lakukan ketika mereka membangun orang-orang percaya baru di berbagai kota kedalam gereja-gereja.

“Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka” (Kisah Para Rasul 14:23).

Puasa bukan hanya kejadian tunggal yang tidak biasa. Namun dipraktikkan secara reguler oleh rasul-rasul dan diajarkan kepada murid-murid baru mereka.

Dua peristiwa utama dalam penyebaran Injil pada gereja mula-mula, pertama, diutusnya rasul-rasul dan, kedua, dibangunnya orangorang percaya baru melalui penunjukkan penatua-penatua. Sangat signifikan gereja mula-mula tidak melakukan hal-hal ini tanpa puasa lebih dulu dan mencari pengarahan dan pertolongan supernatural Allah. Kita bisa mengatakan pertumbuhan dan pengembangan gereja mula-mula berputar di sekitar puasa kolektif.

Terakhir, kita membaca kesaksian Paulus mengenai hidup dan pelayanannya, mengingat Paulus satu dari orang-orang yang terlibat dalam insiden itu. Dalam 2 Korintus 6:4-6, Paulus berkata: “….dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran, dalam menanggung dera, dalam penjara dan kerusuhan, dalam jerih payah, dalam berjagajaga dan berpuasa; dalam kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran, dan kemurahan hati; dalam Roh Kudus dan kasih yang tidak munafik” (2 Korintus 6:4-6).

Paulus disini menggambarkan berbagai aspek dari karakter dan perilakunya yang menandai dirinya dan kawan-kawan sekerjanya sebagai hamba-hamba Allah sejati. Diantaranya berjaga-jaga (tidak tidur ketika mereka bisa tidur) dan puasa (menjauhi diri dari makanan ketika mereka bisa makan). Berjaga-jaga dan puasa
kombinasi bagus. Diletakkan saling bersebelah dengan kemurnian, pengetahuan, kesabaran, kebaikan, Roh Kudus dan kasih tulus. Dengan kata lain, mereka dipresentasikan sebagai bagian dari peralatan total hamba sejati Tuhan Yesus Kristus. Allah masih memandang mereka dengan cara itu hari ini. Pemeliharaan Allah dan standar-standar Allah masih sama seperti zaman Paulus dan gereja mula-mula.

Oleh Loka Manya Prawiro.



Leave a Reply