TERIMA KASIH
1 Tesalonika 5:18
Seorang teman mengenang masa berpacarannya dengan takjub. Ia dulu bekerja di Semarang, dan pacarnya tinggal di Bondo, Bangsri, Jepara. Minimal sekali sebulan ia harus menempuh perjalanan selama empat jam dengan naik sepada motor untuk bisa bertemu. “Waktu itu rasanya tidak berat sama sekali, justru saya sangat bersemangat,” kisahnya. “Lucunya, setelah menikah, saya merasa berat kalau harus pergi ke Bondo,” lanjutnya sambil tertawa.
Cinta membuat apa yang kita lakukan terasa berbeda. Hal-hal yang berat terasa ringan. Kesusahan rasanya hanya sebentar, tak sebanding dengan kesukaan bersama yang dicinta. Tak heran Salomo dalam Kidung Agung 8:5-7 melukiskan cinta yang bergairah itu seperti maut yang tak dapat dihalang-halangi. Seperti nyala api yang tak bisa dihentikan, bahkan seperti nyala api Tuhan! Api yang kecil bisa dipadamkan dengan siraman air, tetapi bukan itu yang ia bicarakan. Ingat kisah Elia yang menyiram korban persembahannya dengan banyak air (lihat 1 Raja-raja 18)? Nyala api Tuhan bukan saja membakar habis persembahan itu, tetapi juga parit-parit penuh air di sekitarnya. Cinta membuat semangat tetap bergelora sekalipun kenyamanan dan kemewahan tiada (ayat 7).
Ketika dampak dahsyat cinta tak lagi terlihat, kita mulai bertanya, apa yang berubah? Apakah cinta mula-mula itu masih ada? Pernahkah pertanyaan serupa kita ajukan dalam hubungan dengan Tuhan? Ketika diajukan kepada Rasul Paulus, jawabannya mantap: tak ada kuasa, bahkan maut sekalipun, yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:37-39). Kasih-Nya tak terbantahkan dengan kematian-Nya di kayu salib. Ketika diajukan pada kita, apa gerangan jawab kita? Apakah cinta mula-mula itu masih ada?
Bagaimana Caranya Agar Cinta Kita Tetap Menyala?
Meister Eckhart, seorang ahli filsafat Jerman pernah menyatakan demikian:
Jikalau satu-satunya doa yang kita ucapkan adalah “terima kasih”, maka setiap waktu kita akan mengalami kegembiraan hidup.
“Terima Kasih” membuat hidup kita menjadi sempurna.
“Terima Kasih” mengubah apa yang sudah kita miliki menjadi cukup, bahkan lebih.
“Terima Kasih” mengubah penolakan menjadi penerimaan, kekacauan menjadi keamanan, kekeruhan menjadi kejernihan.
“Terima Kasih” dapat mengubah hidangan sederhana menjadi pesta, sebuah bangunan menjadi rumah yang nyaman, seorang asing menjadi kawan.
“Terima Kasih” membuat masa lalu masuk akal, memberi kedamaian bagi hari ini, dan menciptakan pengharapan untuk masa depan.
Sebenarnya ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk memelihara nyala cinta kita dengan Tuhan, tetapi jika yang satu ini tidak dibiasakan maka akan membuat trick yang lain pun tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Mulailah dengan yang sepertinya sepele tetapi itulah yang dikehendaki oleh Allah dalam Yesus Kristus bagi kita. Belum sampai pada perbuatan syukur, hanya dengan perkataan saja sudah mempunyai kekuatan yang besar, apalagi terwujud dalam kata dan perbuatan atau sikap dan perilaku. Ini akan dahsyat.
Waktu saya menulis ini, teman Pendeta saya ngirimi WhatsApp: “Sesuatu yang kecil kadang bisa menentukan antara hidup dan mati, maka dari itu jangan meremehkan sesuatu yang kecil ini karena selalu kita butuhkan dalam kehidupan kita sehari hari. Maksudnya yang kecil itu adalah Saklar Lampu.”
Itu memang guyonan tapi kata terima kasih atau syukur yang walaupun kelihatannya kecil dan sepele, tetapi itu juga sangat menentukan dalam kehidupan kita setiap harinya.
Mari kita jadikan kata terima kasih/syukur sebagai kata utama setiap waktu kita, sebagaimana 1 Tesalonika 5:18. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kiranya, Allah semesta alam memberkati kita semua. Amin.
Oleh Pdt. Y. Sugondo, M.Th