Absent Fathers, Lost Sons
Dalam pengalaman konseling kami banyak keluhan dari anakanak tentang “Ayah yang hilang”, yaitu ayah yang tidak berfungsi sebagai ayah. Bagaimana dengan Anda?
Menjadi ayah bukanlah hal yang mudah. Saya (Julianto) pernah menjadi pengerja gereja yang baik, tetapi saya adalah ayah yang buruk bagi anak-anak saya. Saya terjebak lebih
mengutamakan karier dan pelayanan dibandingkan anak-anak saya. Barulah enam tahun lalu, lewat tulisan James Dobson, saya memutuskan: dari semua jabatan yang saya miliki, jabatan yang paling saya sukai adalah ayah. Hubungan saya dengan anak-anak dipulihkan.
Belakangan ini banyak penelitian yang membuktikan bahwa kehadiran ayah dalam kehidupan anak, khususnya anak laki-laki, sangat mempengaruhi pembentukan harga diri dan identitasnya. Anak laki-laki tanpa figur ayah cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia bisa kehilangan pegangan, memberontak, melawan hukum dan berbagai perilaku negatif lainnya. Mereka juga cenderung sulit mengenal Allahsebagai Bapa yang mengasihi mereka.
Absent Fathers, Lost Sons adalah judul buku yang ditulis oleh Guy Corneau. Dalam Bahasa Indonesia buku ini diterbitkan dengan judul “Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putra yang Kehilangan Arah”. Dalam buku ini Corneau menuliskan perasaannya sebagai remaja putra berkaitan dengan relasinya dengan ayahnya. Ketika dia kecil, hubungan dengan
ayahnya sangat baik. “Saya ingat permainan yang dulu suka kami mainkan,” tulisnya, “saya juga ingat cerita-cerita ayah tentang masa kecilnya… Lalu tiba-tiba saja, ketika saya memasuki pubertas, ketika saya paling membutuhkan ayah saya, ia tidak lagi hadir. Ia telah hilang, lenyap.”
Ketidakhadiran ayahnya membuat Guy selalu mempersalahkan dirinya. “Mungkin saya tidak lagi menarik minatnya”. Guy begitu ingin mendapatkan perhatian ayahnya kembali, ingin berbicara kepada ayahnya; tetapi dia bingung bagaimana meruntuhkan tembok yang terbentang di antara mereka. Dalam praktik, kuliah, dan penelitiannya di kemudian hari Guy Corneau mendapatkan kenyataan bahwa kepedihannya waktu itu dialami juga oleh
banyak remaja pria. Ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi, yaitu kebisuan yang menyangkal kebutuhan setiap anak remaja untuk diakui oleh ayahnya. Seolah-olah, kalau ayah berbicara, itu adalah ancaman bagi solidaritas lelaki.
Kebisuan Para Ayah
Budaya kita juga mendukung “kebisuan” kaum pria. Misalnya, kalau pria banyak berbicara disebut “cerewet seperti perempuan”. Lelaki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya. Ini sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Diperlukan kesadaran baru untuk para ayah bahwa
walaupun putranya sudah remaja, kehadirannya tetap sangat diharapkan. Anak-anak rindu punya hubungan yang akrab dengan ayah mereka.
Josh McDowell memaparkan hasil penelitian mengenai pentingnya hubungan yang berarti antara ayah dan putra-putrinya dalam bukunya, The Father Connection. Penelitian itu –
memberi indikasi kuat bahwa hubungan dengan ayah merupakan faktor penting dalam kesehatan, perkembangan dan kebahagiaan seorang anak. Ini tidak berarti bahwa para ibu tidak penting. Faktanya dalam kebanyakan peristiwa dalam hidup seorang anak atau remaja,
ibu ada di sana, melakukan tugasnya, mengurus anak-anak, berbicara dengan anak-anak, dan meluangkan waktu dengan anak-anak. Akibatnya, anakanak tahu bahwa ibu dapat terjangkau, mengasihi, komunikatif, dan menerima.
Akan tetapi dengan ayah, berbeda. Nampaknya, para ayah kurang dapat menerima hubungan yang akrab, kurang terlibat atau kurang komunikatif dengan anak-anaknya. Sama seperti kita semua, anak-anak kita merindukan apa yang tidak mereka miliki. Dalam hal ini, anakanak
rindu punya hubungan yang akrab dengan ayah mereka.
Sangat Dibutuhkan
Kehadiran ayah sangat dibutuhkan oleh remaja pria karena dalam kenyataannya banyak remaja pria bingung menghadapi pesan-pesan yang muncul dalam masyarakat soal bagaimana menjadi pria sejati. Remaja sekarang tumbuh dalam masyarakat yang mengagungkan kekerasan dan tanpa batas. Banyak emosi yang muncul yang tidak mereka mengerti dan mereka bingung harus melakukan apa.
Anak-anak pra remaja yang tidak akrab dengan ayah akan sulit membangun pertemanan (peer group) yang sehat. Dia akan merasa kesepian karena kehilangan hubungan yang berarti dengan ayahnya. Akibatnya adalah dia mau berteman dengan siapa saja yang mau menjadi
temannya. Dia akan mudah terseret dalam pergaulan yang buruk. Dia tidak mampu membuat keputusan yang benar.
Sama seperti para korban gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder), maka anak yang pernah dianiaya atau ditelantarkan orangtuanya di masa kecil akan memendam campuran kemarahan, rasa malu, rasa tidak percaya dan kecemasan yang
sifatnya sangat mudah meledak. Begitu anak ini menjadi dewasa, apa yang dulu dipendamnya akan mulai naik dan meledak ke permukaan.
Betapa besarnya harga yang harus dibayar. Anak-anak yang diremehkan, dan secara emosi ditelantarkan oleh keluarganya menderita depresi kronis, harga diri menciut, dan tidak mampu mengambil keputusan. Mereka cenderung terus mencari pengakuan akan nilai dirinya, tetapi terlalu takut menghadapi penolakan sehingga mereka juga tidak berani membela diri. Mereka terombang-ambing di antara dua ekstrem: dari “perilaku penyendiri” ke “mau mendapatkan keintiman instan”, dari kecurigaan ke pengkhianatan; dan dari
mengidolakan ke menguasai orang lain.
Memperbaiki Hubungan
Kalau relasi orangtua, khususnya ayah, dengan anak telanjur rusak, bagaimana memperbaikinya? Memang tidak akan mudah. Saat sakit hati dan luka sudah bernanah, nyaris membusuk, tidaklah mudah memperbaikinya. Dalam buku kami “Tidak Ada Anak yang Sulit” (Penerbit ANDI) & buku “Membangun Harga Diri Anak” (E-book) kami memberikan beberapa langkah penting.
Pertama, adalah meminta maaf. Mengakui pada anak-anak bahwa kita sudah mengabaikan mereka saat mereka kecil. Kita bersikap tidak adil dan membeda-bedakan. Ini tentu sulit bagi sebagian besar ayah, tetapi sekali Anda tulus minta maaf pada anak maka pintu pemulihan terbuka lebar.
Kedua, kita memperkaya relasi dengan anak-anak dengan cara memberikan waktu dan perhatian lebih banyak. Jika tidak, maka anak-anak akan sulit mempercayai bahwa ayahnya benar-benar menyesal. Berilah waktu kepada si anak paling tidak seminggu sekali untuk berdua dan sharing secara pribadi, misalnya sambil makan bersama. Rencanakan juga waktu berlibur dan rekreasi bersama mereka setidaknya dua kali setahun.
Ketiga, tunjukkan kualitas hubungan Anda sebagai ayah kepada ibu mereka. Jika Anda mencintai ibu mereka dan hubungan Anda dengan ibu anak-anak baik, mereka akan merasa aman dan nyaman. Mereka akan senang ada di rumah. Home sweet home.
Keempat, jadilah imam bagi anak yang setia mendoakan anak-anak dan membacakan mereka Firman Tuhan. Ayah adalah wakil Tuhan di rumah, yang kasih dan otoritasnya dapat dilihat dan dirasakan oleh anak-anak. Hal ini dapat memulihkan pemahaman anak-anak tentang Allah sebagai Bapa yang baik.
Kelima, cintailah anak-anak dan berilah mereka selalu ada kesempatan kedua. Izinkan mereka gagal, dan selalu mendapat kasih dan pengampunan dari Anda sebagai ayah. Terutama saat anak remaja, mereka tanpa sadar cenderung melawan kita sebagai ayah mereka. Jika anak mendapatkan cinta tanpa syarat dari ayahnya, mereka akan mudah mengenal Allah sebagai Bapa yang Baik.
Akhirnya, menjadi ayah adalah panggilan yang sangat indah dan tak tergantikan. Nikmatilah jabatan ini dengan sukacita. Untuk mendapatkan artikel tentang ayah, silakan join di Grup Facebook kami: (1) “Renungan yang Mengubah Para Ayah”, (2) “Belajar Konseling via Facebook bersama Julianto Simanjuntak” dan (3) “Konseling Anak & Remaja”.
Julianto & Roswitha
Layanan Konseling Keluarga dan Karier (LK3)