Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Suami, Pemimpin yang Melayani




eBahana.com –  Sebuah pernikahan dapat mengalami berbagai permasalahan jika seorang suami tidak menjalankan perannya sebagai pemimpin dalam pernikahan dan keluarga. Hubungan suami dan istri dapat terganggu. Anak-anak tidak dapat memenuhi potensi mereka secara utuh dalam pertumbuhan.

Dalam banyak kasus, sang istri, yang terpaksa mengambil alih posisi kepemimpinan, akan mengalami kepahitan dan kelelahan! Namun, banyak juga suami yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan cara yang tidak bijaksana. Gaya kepemimpinan yang otoriter, yang menciptakan atmosfer ketakutan dalam keluarga, selain menimbulkan luka, menumbuhkan kepahitan dan dendam dalam hati anak-anaknya. Semua situasi ini menyebabkan rasa frustrasi dan ketidakbahagiaan, bukan hanya bagi pasangan suami istri tapi juga bagi anak-anaknya.

Banyak pasangan yang terlambat menyadari hal ini, yaitu saat hubungan mereka telah telanjur mengalami keretakan, dan hal ini berdampak bagi pernikahan yang kemudian dibangun oleh anak-anak mereka. Kondisi keluarga yang disfungsi ini rentan sekali untuk terulang pada pernikahan anak-anak mereka, bahkan memicu sebuah keengganan untuk membangun rumah tangganya masing-masing.

Saat ini pelan tapi pasti, dunia di sekitar menjadikan kita pribadi yang egois, tidak peduli dengan orang lain. Orang berlomba untuk menjadi terkenal dengan cara apapun, menjalankan bisnisnya dengan menindas dan menghancurkan orang lain. Kita menjadi sibuk dengan urusan masing-masing dan kurang peduli dengan sekitar. Hal ini pun berdampak dalam pernikahan. Suami punya kesibukan sendiri dengan pekerjaan dan bisnisnya, istri sibuk bersosialita, dan anak-anak akhirnya sibuk dengan gadget masing-masing.

Kita sudah berkomitmen di hadapan hamba TUHAN, jemaat-NYA dan juga di hadapan-NYA sendiri. Butuh tekad dan usaha keras yang disertai dengan pengorbanan, untuk menjadikan diri kita sebagai suami yang mau melayani istri dan anak-anak kita. Yaitu dengan menjadikan kebutuhan dan minat pasangan lebih utama daripada kebutuhan dan minat kita sendiri.a

Ajaran Paulus kepada jemaat di Filipi, dalam Filipi 2;3-4, mengingatkan kita untuk tidak hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri, tapi memikirkan kepentingan orang lain juga (dalam hal ini istri dan anak-anak kita, serta orang tua kita). Kunci untuk suami dan istri bisa melakukan fungsinya dalam Efesus 5:22-32, sebenarnya ada dalam ayat sebelumnya yaitu Efesus 5:21 “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.” . Tanpa kita merendahkan diri, mengutamakan kepentingan pasangan di atas kepentingan kita, maka sulit bagi kita untuk menjadi pemimpin yang melayani. Agar suami bisa menjadi pemimpin yang melayani, maka:

a. Mendahulukan kepentingannya.

Belajar untuk lebih dulu mendengar keinginan istri, termasuk dalam hal-hal yang mungkin dianggap sepele. Sebagai suami yang melayani, tentunya kita perlu tahu lebih dulu hal yang menjadi keinginan istri kita. Makan apa dan di mana, liburan ke mana, mau merayakan ulang tahun pernikahan atau anniversary di mana, mau melihat film apa, dan sebagainya.

Saya lebih suka menonton film action, tetapi saat saya ingin berkencan dengan istri dan kami sepakat untuk menonton, maka istri sayalah yang menentukan film apa yang ingin ditontonnya. Demikian juga jika hendak makan, saya memilih untuk mengikuti sekera makan istri saat pergi berdua, dan saya masih banyak kesempatan memilih makanan kesukaan saya saat pergi pelayanan atau ke kantor sendirian. Jadikan momen kencan dengan istri kita, sebagai momen untuk melayani keinginan dan kebutuhannya, itu membuatnya merasa penting dan dihargai. Dengan demikian istri pun dengan sukacita dan kerelaan hati, akan menundukkan diri kepada kita.

b. Peka dengan kondisi emosional istri.

Tertawalah bersamanya saat ia bersuka cita. Peluk dan hibur dia saat dia sedang galau dan sedih. Kuatkan dan ucapkan kata-kata yang memberi semangat saat ia ketakutan. Jangan anggap sepele saat istri mengungkapkan perasaannya.

“Ah… itu cuman perasaanmu saja….” “Aduuh… jadi orang jangan baperan atuuhhh….” “Apaan sih kamu kok sensi banget…. Sudah saya pusing urusan bisnis, kerjaan, masih harus dengerin curhatan melo mu lagi…. heeehhh…!” Itu hanyalah beberapa contoh ungkapan seorang suami ketika istrinya berupaya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam perasaannya. Ungkapan-ungkapan itu melukai istrinya, membuatnya merasa tidak penting dan tidak dihargai.

Belajar untuk mendengarkan dengan seksama, dan upayakan berusaha memahami apa yang dirasakan oleh istri “di balik ungkapannya”. Jangan sepelekan perasaannya, apalagi bila ia sudah beberapa kali mengungapkan hal yang sama. Diskusikan dengan tulus dan sepenuh hati, bila perlu dampingi istri terkasih untuk berkonseling dengan konselor yang kompeten, agar permasalahan emosinya bisa segera diatasi.

c. Fokuslah kepadanya saat berkomunikasi.

Jangan biarkan pekerjaan, gadget, atau hal lain mengalihkan pandangan dan telinga kita dari istri yang kita sayangi. Fokus kepada istri membuatnya menjadi merasa berharga dan dicintai. Jika tidak bisa fokus, karena ada hal yang penting dan mendesak, mintalah maaf untuk menunda pembicaraan beberapa waktu/jam, dan segeralah selesaikan hal-hal penting Anda, untuk bisa berbicara yang berkualitas dengan istri Anda. Berbicara dan mendengarkan dengan seksama, itulah cara membangun relasi dengan istri.

d. Hargai pendapat istri.

Hargai pendapat istri, meskipun berbeda dengan kita. Berterimakasihlah atas pendapatnya, dan sampaikan juga pandangan beserta penjelasan kita kepadanya. Jangan sungkan untuk memuji bila pendapatnya benar. Tapi kalaupun pendapatnya tidak tepat, jangan tertawakan apalagi merendahkannya. Bagaimanapun juga, masukan istri bisa membantu kita melihat suatu masalah dari perspektif yang berbeda, dan kita tetap perlu menghargainya.

Saya sering berdiskusi urusan kantor, masalah pelayanan (saat saya masih aktif menggembalakan) dengan istri saya. Awalnya saya enggan melakukan hal ini, sampai saya ingat kisah Bileam, bagaimana TUHAN menyampaikan pesan melalui keledainya. Saya pun belajar mendengar pendapatnya, dan sering kali saya mendapat inspirasi dan ide dari pendapat yang disampaikannya. Apalagi jika itu urusan jemaat wanita, maka sesama wanitalah yang bisa mengerti dengan tepat.

Saat kita melakukan hal-hal di atas, seiring dengan berjalannya waktu kita akan menerima cinta kasih timbal balik dari istri, saat ia melihat dan merasakan bahwa kita memenuhi kebutuhan dan keinginannya terlebih dahulu.

Sebagai seorang suami, sebelum kita bisa mendengar suara TUHAN, terlebih dulu kita

mesti belajar mendengar pendapat istri yang kita kasihi.

 

(Himawan Hadirahardja – Penulis buku “Orang tua adalah Gembala yang Baik dalam Keluarga” Penerbit Yayasan Andi, 2019; serta pemerhati masalah pernikahan dan keluarga)



Leave a Reply