Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

“Tuhan, Teman Curhat Saya”




eBahana.com – Sinta Maria Rajagukguk, secara fisik punya kekurangan. Jalannya pincang. Kaki kirinya dipasang besi dari telapak hingga pinggang. Namun ia sangat lincah. Lincah bekerja dan menolong orang.

Terkena Polio
Semasa kecil ia terkena polio. Tapi ia mengaku tidak minder dengan keadaannya. Pamannya seorang psikolog telah menanamkan mental percaya diri. Bahwa tubuh yang tidak sempurna itu bukanlah segalanya.“Saya tidak malu. Kalau ada yang ngeledek dengan kata pincang pincang. Saya biarin saja. Tapi ada juga yang keterlaluan sampai melempar saya pakai batu. Nah, kalau seperti itu saya lempar ganti. Pasti kena, hahaha,” aku Sinta tertawa. Teman sekolahnya sangat segan kepada Sinta lantaran ia selalu juara kelas.

Perempuan serba bisa ini ditemui Bahana di Laetitia, komunitas penyandang cacat di bawah naungan Keuskupan Agung Jakarta. Sinta sedang mengajar menjahit bagi anak-anak tuna rungu.

Bahasa yang digunakan adalah gerakan bibir dan tangan. Tiga orang murid Sinta hari itu Hansen, Wati dan Inka serius dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali mereka bertanya pada Sinta kalau menemui kesulitan. “Saya punya target, 10 kali pertemuan mereka bisa menyelesaikan 3 karya. Menjahit dan menyulam tas atau sarung bantal,” kata kelahiran Medan 20 Agustus 1957 sambil menunjukkan tas yang rapi dengan sulam pita motif bunga-bunga hasil karya mereka.

Berkat Tante
“Semua yang terjadi dalam hidup saya itu bener-bener karena kasih Tuhan semata. Jalan-jalan Tuhan kita nggak ngerti tapi itu baik untuk kita,”ungkap Sinta tersenyum. Lulus SMP ibunya yang pedagang sayuran itu sakit keras. Ayahnya pemborong kecil-kecilan yang kadang-kadang sepi order.

Dengan lima anak mereka hidup pas-pasan. Melihat situasi, terbayang oleh Sinta ia bakal putus sekolah “Saya sibuk ngurusi ibu. Siang itu tante saya datang. Ia kaget sekali lihat saya siang-siang kok di rumah. Lalu saya cerita sebenarnya hari itu adalah terakhir pendaftaran SMA. Saya bilang bagaimana bisa daftar, ijazah saja belum diambil karena tidak punya uang. Tante langsung kasih saya uang. Wah senengnya, kenangnya.

Tanpa mandi Sinta bergegas pergi ambil ijazah. Jangan sampai telat. Melihat waktu sudah sangat mepet. Ia menempuh jalan pintas. Melompati pagar yang lumayan tinggi. Setelah ijazah di tangan, Sinta mendaftar SMA Negeri I Medan. Ia pendaftar terakhir. Lantas mengikuti tes dan lulus.

Peristiwa serupa terjadi saat lulus SMA. Orangtuanya juga dalam keadaan sulit ekonomi. Sinta hampir putus harap untuk bisa kuliah. Ia diterima di USU (Universitas Sumatera Utara). Namun, Tuhan menolongnya melalui adik mamanya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Si tante pegang uang orang yang akan diambil seminggu lagi. Uang itulah yang dipakai Sinta di hari terakhir pembayaran.

Bertemu Penyandang Cacat Selesai sarjana muda, Sinta ke panti rehabilitasi di Palembang mengurus operasi kaki atas biaya departemen sosial. Di sanalah ia melihat begitu banyak penyandang cacat yang kondisinya jauh lebih berat darinya. Sinta merasa ngeri. “Ada yang kaki buntung. Ada juga yang jalan dengan pantat, ngesot. Wah, macem-macemlah. Saya ngeri, maklumlah sebelumnya saya selalu bergaul di tengah-tengah orang yang secara fisik normal. Sekolah pun saya di sekolah umum. Saya lari ketakutan ketika dikejar-kejar orang yang merangkak. Ia terus memanggil Mbak Sinta, Mbak Sinta, padahal maksudnya ingin kenalan. Beberapa kemudian orang itu jadi murid saya.”

Setelah menunggu cukup lama, Sinta tidak jadi operasi. Dokter yang memeriksanya khawatir jika dioperasi
kondisi kaki Sinta malah semakin berat. Ia pun pergi ke rumah sakit ortopedi Dr. Suharso di Solo. Operasi pertama tidak berhasil. Tulang duduk Sinta bergeser karena ia pernah jatuh saat SMA. Sinta menjalani operasi kedua kali di pinggul. “Saya sangat dibantu teman-teman dari GMKI. Merekalah yang menemani dan merawat saya selama operasi. Itu sangat berarti karena saya kan jauh dari orangtua dan saudara-saudara. Selesai operasi saya balik ke Medan melanjutkan kuliah,” kata jebolan fakultas hukum USU, 1985.

Menerima Penolakan
Berbekal sarjana hukum itulah Sinta ‘mengadu nasib’ di Jakarta. Ia melamar ke beberapa instansi yang berkaitan dengan latar belakang pendidikannya. Ia mengikuti tes hakim di departemen kehakiman. Sinta lulus pada tahap tes wawancara.

Ia gembira betul. Lalu bersama teman-teman yang rata-rata adalah kakak dan adik kelasnya, ia mengontrak
rumah. “Kami kaget bukan main ketika pengambilan nomor untuk tes tertulis, nomor saya tidak ada. Saya penasaran banget, kenapa bisa terjadi? Mereka tidak bisa menjawab dengan pasti. Tapi akhirnya ketika didesak muncul juga alasan karena saya cacat. Bersamaan dengan itu saya lihat ada hakim yang pakai kursi roda. Lalu saya tanya kok orang itu bisa? Mereka tidak bisa jawab. Saya hibur diri, mungkin ini bukan tempat saya. Teman-teman nggak enak ati.

Mereka tidak tega melihat saya. Seorang dari mereka bilang, ‘Kak Sinta, kakak jangan down karena masalah ini.’ Yah, saya sangat percaya, Tuhan pasti buka jalan,” kenang Sinta. Sebelum teman temannya berangkat tes, Sinta pimpin doa bagi mereka. Pagi itu Sinta masak untuk mereka makan sepulang tes. Ia bisa melakukan itu semua karena Tuhan. Pengalaman serupa juga dialami Sinta ketika tes di HANKAM .

Pantang Menyerah
Sinta lantas bekerja selama 15 tahun dari 1987 sampai 1998 di Yayasan Harapan Kita yang banyak membantu penyandang cacat. Yayasan itu tutup tatkala Soeharto lengser. Sinta pantang menyerah. Ia mencari peluang, menekuni apa yang dimilikinya. Tahun 2000, Sinta memasok kebutuhan seragam dan sepatu bagi perawat,
satpam sampai pimpinan di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Timur.

Sinta juga memasok kebutuhan gedung Mangapu Tua yaitu gedung pertemuan bagi orang Batak. Sendok, piring, rangkaian bunga sampai pilar gedung tersebut. Bahkan Sinta juga mendesain sendiri piring yang dipasoknya itu. Dari manakah ia belajar itu semua? “Situasi yang mengajarkan saya untuk belajar banyak hal. Tuhan selalu membimbing,” jawab ibu dari Lastionida Gultom bijak.

Sinta pernah dikirim ke Jepang mewakili HWPCI (Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia) mengikuti
Leadership Training di Jepang, tahun 2000. Training bagi penyandang cacat tersebut diikuti oleh 10 orang dari 10 negara. Menurutnya, Jepang sangat memperhatikan penyandang cacat dengan memberikan pekerjaan.

Terus Berkarya
Sinta pernah terbalik dan terjatuh dari kursi roda yang dipakainya saat mengikuti pameran tanaman hias.

Namun itu tak membuatnya jera. Hidupnya adalah belajar dan bekerja. Tangannya juga terampil merangkai
bunga. Ia pernah memenangi juara II lomba merangkai bunga tingkat nasional Abilympic, olimpiade penyandang cacat. Sinta juga peraih juara III lomba masak DKI tahun 2006 dengan menu utama singkong.

Jemaat GPIB Surya Kasih, Jakarta Timur penyuka olahraga softball ini juga dosen program diploma kampus
Catur Pena Gading. Di sana Sinta mengajar pertanian terpadu. “Semua berkat Tuhan, selagi diberi nafas, saya akan mengabdi pada-Nya dan sesama. Tuhan itu teman curhat saya hehehe,” jawabnya sumringah ketika ditanya kepada siapa ia berbagi beban. Telah lama suaminya dipanggil Tuhan. Saat usia perkawinan mereka baru tiga tahun. Sinta memang tegar. Niken Maria Simarmata



Leave a Reply