The Quintorum: Kompetitif dalam Arus Kompetisi
Tumbuh dari kultur yang sama kemudian bersatu dalam grup vocal accapela di negeri yang tersohor sengit dengan kompetisi paduan suaranya dan menghasilkan banyak penyanyi bersuara emas, bagaimana rasanya? Sambutlah mereka, The Quintorum dari Bumi Nyiur Melambai!
A capella atau akapela, adalah jenis musik yang tidak menggunakan instrumen apapun. Secara harafiah istilah musik a cappella dalam bahasa Indonesia berarti “sesuai gaya kapel“. Dalam perkembangannya musik akapela berkembang sebagai musik religius Kristen. Sampai kini ada satu grup vokal akapela yang lagu-lagunya selalu dinanti penikmat musik di seluruh dunia, Pentatonix. Dan tak sedikit penggemar Pentatonix di Indonesia terdorong berkreasi mengaransemen lagu dalam grup kemudian menyanyikannya bersama rekan-rekan pelayanan gereja. Ini juga yang memantik ide para pegiat seni vokal: menghadirkan Pentatonix versi Indonesia yang established di Manado.
The Quintorum lahir pada 23 Desember 2016. Berawal dari inisiasi Petrick Salhuteru yang kebingungan mencari wadah, kemudian berdiskusi dengan Villy dan Gladies. Mereka bertiga sudah lama pelayanan dalam grup paduan suara yang sama. Saat acara Natal di gereja tahun 2016, panitia meminta mereka mengisi pujian. Merasa sudah biasa jika bernyanyi trio, mereka berputar otak untuk menghadirkan sesuatu yang baru. Kebetulan mereka bertiga mengagumi grup vokal Pentatonix, dari ngefans itulah mereka terpikir membuat grup akapela.
Dimulailah pencarian. Ciri khas bernyanyi dalam grup adalah kesatuan hati dan kesatuan visi. Mereka bergumul cukup lama untuk mencari person-person lainnya di antara persaingan-persaingan grup paduan suara di Manado. Pertimbangan usia dan kualitas vokal sangat dipikirkan. Mereka mencari sosok yang tidak hanya pandai bernyanyi tapi juga bersahahabat. Pada akhirnya mereka berhasil menemukan penyanyi baru untuk diajak bergabung dalam grup.
Mereka berkumpul dan sepakat menamai diri The Quintorum, yang artinya 5 penyanyi, dari kata quint dan cantorum. Lima penyanyi ini rupanya penyanyi-penyanyi jempolan di kelasnya dari bebera paduan suara di Manado. Sebut saja Petrick (vocal percussion) yang seorang praktisi paduan suara di PSM UNIMA (Paduan Suara Mahasiswa Universitas Manado) dan GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), Villy Salhuteru yang seorang pegawai bank (sopran) dan vikaris Gladies Karepowan (alto) dari Syaloom Karombasan Youth Choir, Jovan Lumando yang juga pegawai bank (tenor) dari PSM Unika De La Salle, dan Steven Rondonuwun (bass) dari PSM UNSRAT (Universitas Negeri Sam Ratulangi) dan Gema Sangkakala Choir. Meskipun mereka di masa lalu saling bermusuhan dalam kompetisi-kompetisi choir, namun kecintaan mereka pada dunia musik Kristen membuat mereka semakin kompetitif bervokalia ria dalam grup akapela satu-satunya di Manado.
Hentakan pertama The Quintorum berhasil membius penikmat-penikmat harmonisasi musik di Manado. Usai sukses membawakan lagu Halelujah yang biasa dinyanyikan Pentatonix pada perayaan Natal tahun 2017 di sebuah gereja, membuat grup ini banjir undangan mengisi acara-acara lainnya. Tidak bermaksud menjadi kiblat, mereka hanya rindu memuliakan Tuhan melalui talenta yang dimiliki. Diakui Petrick, Pentatonix memang memberikan pengaruh utama dalam berkreasi. Dengan pengaruh itu, The Quintorum mencari beberapa alternatif agar bisa bernyanyi dalam beragam style yang memperkaya kapasitas mereka. Teknik bernyanyi yang berbeda dalam vokal grup dan paduan suara tak membuat mereka terkendala untuk terus kreatif. Hal-hal khas itulah yang berusaha mereka create dalam setiap lagu yang dibawakan, seperti harmonisasi, teknik ansambel, dan gaya bernyanyi penuh energi.
Simak ulasan The Quintorum selengkapnya dalam Majalah Bahana volume 364 !