Semangat Baru dari Ojek Online
eBahana.com – Livia Trifena Susanto : Keinginanku untuk sekolah mode tak dapat kubendung.
Meski ku tahu ini akan menimbulkan pro dan kontra.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang melayani Tuhan. Ayahku adalah gembala sidang GBI Filadelfia Banyuwangi. Setelah lulus SLTA, aku kuliah di Sekolah Teologi Tawangmangu dan melanjutkan S2 di STII Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia Yogyakarta. Hampir semua teman, saudara, dan keluarga bertanya
kepadaku kemana setelah lulus S2.
Selesai S2, aku tak bisa membendung keinginanku belajar mode. Ini adalah impian masa kecilku yang terlupakan. Kuingat kala itu, SD kelas 4 aku melihat model di koran. Aku senang sekali melihatnya. Tiba-tiba
aku bilang begini, “Aku mau ini.” Bukan sebagai modelnya, melainkan sebagai perancang busananya.
Kusampaikan keinginanku kepada orangtua. Awalnya pro dan kontra. Namun, mereka akhirnya bisa mengerti. Tahun lalu, aku mendapat restu sekolah mode Esmod di Jakarta.
Jakarta Oh Jakarta
September 2016, perjuangan baru dimulai. Aku pindah ke Jakarta, indekos. Hidup merantau bukanlah hal yang baru bagiku. Sejak lulus SLTA aku sudah keluar dari kota kelahiranku Banyuwangi,
yaitu Jember, Tawangmangu, dan Yogyakarta. Aku tidak perlu mengalami adaptasi yang berarti. Namun, ketika di Jakarta, aku cukup kaget. Perlu adaptasi luar biasa. Jakarta punya culture yang berbeda dengan 3 kota yang pernah kutinggali. Seseorang akan sangat dinilai dari penampilan. Aku seperti orang asing di tengah-tengah lingkungan. Apalagi ini sekolah mode. Semua orang terlihat wow. Penampilan kece abis! Dari model rambut, pakaian, dan sepatu. Keren dan rapi. Aku yang berpenampilan apa adanya terlihat berbeda dari yang lain. Rasanya, orang sepertiku akan dilihat sebelah mata.
Beberapa bulan tinggal di Jakarta, aku belum nyaman. Namun, impianku menjadi fashion designer membuatku bertahan.
Semangat Baru
Sepulang bertemu teman-teman, aku naik ojek motor online menggunakan aplikasi handphone milik teman.
Malam itu sekitar pukul 22.00 WIB. Jakarta masih ramai. Beberapa tempat malah macet. Jakarta kota megapolitan memang tak pernah tidur.
Malam itu, saat di motor pikiranku gundah. Jakarta oh Jakarta. Ini ‘dunia’ baru bagiku. Tidak saja kota yang
sangat berbeda, tetapi lingkungan yang berbeda. Dulu di lingkungan sekolah teologia, sekarang di lingkungan sekolah fashion.
Tiba-tiba bapak driver ojek mengajakku bicara, menghentikan lamunanku. Ia bertanya tentang kegiatanku. Ku sampaikan kepadanya bahwa aku sekolah mode di Esmod. Pak driver bercerita bahwa ia mengenal beberapa pengajar tempat aku sekolah. Ia dan istrinya memiliki usaha jahit dan toko kain di daerah Mayestik. Tak lupa ia menyebutkan nama toko mereka dan mempersilakan aku datang ke sana. Di sela-sela waktunya, ia ngojek.
Mencari pengalaman, katanya.
Aku mendengarnya dengan saksama. “Mbak, pokoknya fokus saja sama tujuan di Jakarta. Kuliah yang serius. Jangan khawatir. Semoga berhasil apa yang Mbak cita-citakan, ya.”
Aku tertegun. Pembicaraan sepenuhnya dikendalikan oleh pak driver. Dengan caranya ia menyemangatiku. Situasi hatiku yang down karena shock culture disulut semangat baru. Padahal, aku tidak cerita apa pun tentang kondisiku.
Sampai di kos, aku mengingat kembali perkataan driver. Aku yakin, Tuhan pakai kalimat sederhananya untuk menguatkan aku.
Ingin menelepon pak driver , kutanya kepada teman pemilik hp yang order ojek untukku. Namun, no hp di history ilang. Entah kenapa. Nanti jika ada waktu, aku aku akan main ke tempat usahanya.
Semangat baru telah menyala. Semoga, suatu saat nanti impianku menjadi perancang fashion di Paris terkabul. Seperti pesan pak driver ojek, aku akan fokus pada kuliahku. (Kisah Livia kepada Niken)