Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

SUAP




eBahana.com – Korupsi ternyata sudah menjadi sebuah fenomena sosial pejabat publik semasa Perjanjian Lama. Pemberian terkait suap kepada pejabat tampak dari pemakaian kata Ibrani mattan yang memiliki pengertian netral “pemberian”, tetapi jadi berkonotasi koruptif dalam paralelisme dengan beṣa‘ (Amsal 15:27 “keuntungan gelap”). Pada ayat lain, mattan meski diterjemahkan “pemberian”, berkonotasi suap tampak dalam paralelismenya dengan šoḥad (Amsal 21:14; N/RSV, NIV “bribe”). BIMK menerjemahkan šoḥad dengan “uang sogok” (Amsal 17:23) atau “uang suap” (Keluaran 23:8; Mazmur 15:5). Selain itu, ada kata Ibrani lain yang jarang dipakai yakni šalmonim (Yesaya 1:23 “sogok”; Mikha 7:3 šillum; BIMK “uang suap”).

Pejabat merasa berhak menerima pemberian dari mereka yang memerlukan otoritas yang melekat pada jabatannya dan merasa dirinya tetap bisa netral dalam menjalankan otoritas itu. Pejabat menganggap pemberian pada dasarnya netral. Cara berpikir seperti itu sesuai dengan skenario awal si pemberi yang mempunyai agenda ‘udang di balik batu’ di balik pemberiannya. Korupsi atau tidak, itu soal orangnya, tetapi pemberian harus dimaknai sebagai tanpa pamrih.

Amsal berikut membantah netralitas pemberian kepada pejabat. hadiah memberi keluasan kepada orang/mattan ’adam yarḥib lo membawa dia menghadap orang-orang besar/wělipne gědolim yanḥennu. (Ams. 18:16) Yang dimaksud dengan orang-orang besar adalah pembesar (Yun. 3:7; Mi.7:3; Na. 3:10), orang berpengaruh karena termasuk lingkaran dekat raja (2 Sam. 7:9; 2 Raj. 10:6; Yer.5:5; 52:13). Hadiah (mattan) adalah sebuah bentuk penghargaan dalam pergaulan sosial, memberikan jalan seseorang untuk diterima pembesar. Verba rḥb (memberi keluasan) di tempat lain berarti “memberikan kelonggaran” (Kej. 26:22) atau “memberi kelegaan” (Mzm. 4:2). Kalau begitu, amsal ini mengandaikan keadaan sesak atau tertekan si pemberi, apalagi yarḥib diikuti lamed yang mendatangkan keuntungan (sufiks pronominal lo). Pemberian kepada pejabat tak sepi pamrih, tidak vakum kepentingan.

Bagi pihak penerima, pemberian juga memiliki efek kepada dirinya. Si penerima dibuat merasa berutang dan, sebagai insan yang memiliki rasa berutang, tentu suatu saat akan membayar utang itu dengan cara apa pun. Pemberian suap (šoḥad) membuat si pemberi “beruntung” (Ams. 17:8), sebab hukum bisa dibelokkan (Ams. 17:23) atau keadilan diputar balik (1Sam. 8:3), tentu untuk keuntungan si pemberi. Korupsi terjadi ketika pejabat publik yang menerima pemberian membalasnya dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya.

Suap menguntungkan si pemberi yang kebetulan bersalah, sehingga “membenarkan orang fasik” dan “memungkiri hak orang benar” (Yes. 5:23). Dan karena suap, orang yang tidak salah bisa dihukum mati (Ul. 27:25; Yeh. 22:12). Orang miskin tidak bisa menyuap dan, karena itu, gelar perkara saja tak sampai (Yes. 1:23). Karena itu, larangan menerima suap dalam PL sangat jelas. Suap didefinisikan sebagai pemberian dengan tujuan memengaruhi kewajiban hukum seseorang dan termasuk perbuatan tercela.

Hakim diingatkan untuk menjauhkan diri dari suap yang dapat “membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orangorang yang benar” (Ul. 16:19). Kedudukan semua orang sama di muka hukum. Objektivitas hakim adalah harga mati sebab pengadilan pada dsarnya milik Allah (Ul. 1:27). Karena hakim merepresentasikan Tuhan saat memutus perkara dan Tuhan tidak bisa disuap (Ul. 10:17; 2 Taw. 19:7), sanksi untuk hakim penerima suap seharusnya keras. Yosefus mengusulkan hukuman mati untuk hakim seperti itu yang mengabaikan pemohon keadilan (Apion, 2:207).

Orang Jerman kuno memakai kata gift untuk pemberian dan racun. Jejak pemakaian pertama ditemukan dalam kata Inggris gift, sedangkan pemakaian kedua bertahan dalam kata Jerman modern gift (bandingkan kata Belanda gif “racun” dan gift “pemberian”). Pemberian bisa meracuni integritas pejabat publik dan profesionalismenya. Itu sebabnya gratifikasi menjadi sebuah alasan untuk menjerat seseorang bersalah dalam
korupsi.

Yonky Karman, Ph.D.
Penulis adalah pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta



Leave a Reply