Barus, Mata Air yang Mengalirkan Keimanan Nusantara
Presiden Joko Widodo meresmikan Tugu Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara akhir Maret 2017 lalu. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ikut mendukung program Barus sebagai pusat masuknya Islam pertama di Nusantara.
Tugu Titik Nol berdiri di tepi pantai di kawasan Barus. Sebuah kawasan menjadi pusat perdagangan internasional pada abad ke-1 hingga ke-17. Para pedagang juga membawa misi penyebaran agama masuk ke Indonesia.
Bukti bahwa Islam masuk ke Nusantara pertama kali lewat Barus adalah penemuan makam Syekh Rukunuddin yang wafat pada tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah. Makam tersebut terdapat di kompleks Makam Mahligai di Barus.
Beberapa literatur Arab menyebut Barus dengan sebutan Fansur. Pemakaian nama Fansur mungkin karena banyak Pancur atau Pancuran (mata air) di Barus. Bahasa Batak menyebut Pansur untuk tempat yang bisa digunaan untuk mandi itu. Pansur banyak ditemui di beberapa lokasi peninggalan bersejarah di Barus, termasuk kompleks Makam Mahligai di Barus.
Sebuah dokumen berkaitan sejarah kekristenan juga menyebutkan bahwa pada abad ke-7, Gereja Pusat di Persia menegur sesorang petugas gereja dari Fars, sebuah kota metropolitan di bagian Selatan Iran. Pihak gereja menganggap orang itu mengabaikan tugas-tugasnya untuk berkunjung ke gereja-gereja India. Jarak yang membentang dari perbatasan Kekaisaran Persia ke tempat yang disebut Qalah adalah 1200 parasang (kira-kira 4000 mil). Parasang adalah satuan ukuran jarak yang digunakan oleh orang Persia kuno.
Qalah bisa berarti Galle (Sri Lanka), tetapi juga bisa Kalah di Malaysia. Kemudian G.R. Tibbets melakukan sebuah studi pada sejumlah manuskrip Arab. Setelah itu, ahli navigasi ini menentukan bahwa Qalah terletak di pantai Barat Malaysia, dekat kepulauan Langkawi. Dari sekitar tempat ini, Orang-orang Kristen telah dilaporkan keberadaannya pada awal tahun 650.
Beberapa ahli sejarah lain mengidentifikasi Qalah dengan Klang dan/atau Kedah, pelabuhan penting untuk pertukaran barang-barang antar pedagang India, Cina, dan kepulauan Indonesia. Sebelum tahun 850 M, Kalah (ko-lo, bahasa Tionghoa) adalah tempat singgah kapal-kapal sebelum mereka melakukan perjalanan ke Cina.
Cosmas Indicopleustes juga pernah melaporkan bahwa sebuah komunitas Kristen Persia ada di Sri Lanka pada abad ke-6. Pedagang berdarah Yunani kelahiran Alexandria, Mesir itu adalah juga seorang pembuat peta. Dia meninggalkan dunia perdagangan untuk menjadi pertapa.
Pada jaman itu, sejumlah biarawan misionaris mendapat pelatihan di daerah Efrat dan Tigris wilayah Mesopotamia. Selanjutnya, mereka dikirim ke Timur. Beberapa biarawan itu berlayar bersama sejumlah pedagang Kristen menuju India. Dokumen-dokumen Gereja Nestorian juga mengungkap tentang para uskup keliling yang melakukan perjalanan ke India dan daratan di luarnya.
Mereka melintasi samudera menuju India dan Cina. Masing-masing hanya bersama seorang staf dan berbekal sebuah naskah. Pada perjalanan mereka ke Cina, mereka melintasi Selat Malaka. Kemungkinan mereka singgah di sebuah pelabuhan di Malaysia yang bernama Kota Kalah. Suatu tempat di sekitar Kedah saat ini.
Selama abad ke-9, Kalah adalah tempat persinggahan penting bagi pelaut-pelaut Arab. Selain para pedagang Persia, Malaysia dan Cina. Kalah, Lemuri, Fansur, dan Nias pemberhentian dalam perjalanan mereka setelah mereka berlayar dari Teluk Persia via Sri Lanka menuju Cina. Semua ini menjadi latar belakang bagi pertanyaan apakah sudah ada komunitas Kristen di daratan Indonesia sebelum kedatangan orang Portugis tahun 151.
Shaikh Abu Salih al Armini mengumpulkan segala informasi tentang gereja-gereja dan biara-biara di Afrika dan Asia. Sejarahwan dan ahli geografi berkebangsaan Armeia ini tinggal di Mesir selama abad ke-12. Dia mengunjungi India dua kali.
Buku catatan sejarahnya menceritakan tentang Rasul Tomas sebagai misionaris pertama di India. Ia juga mencatat tentang Orang Kristen di Kota Quilon di Pantai Travancore (India Selatan), dan gereja-gereja di sana. Ia juga mencatat sebuah tempat bernama Fansur atau Pansur. Ada sekumpulan orang Kristen Nestorian dan beberapa gereja di sana. Di kota ini ada sebuah gereja bernama Perawan Suci Maria. Tempat ini adalah penghasil kamper (kapur barus) dan karet.
Para pedagang dari Pantai Malabar India sering mengunjungi Fansur atau Pansur, dekat Baros di pantai Barat Sumatera Utara. Seperti tempat itu, periode komunitas orang Kristen berada di sana tidak dapat ditentukan secara tepat. Tetapi semua informasi tentang pedagang Persia di Asia Tenggara serta keberadaan orang-orang Kristen di antara mereka, menunjuk pada periode antara abad ke-9 dan ke-11.(yem)