Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

KEBENARAN SEJATI




eBahana.com – Banyak orang Kristen sadar akan beberapa masalah dalam pengalaman spiritual mereka-masalah yang di ekspresikan dengan gejala seperti ketidak stabilan, tidak konsisten, kekurangan jaminan, kekurangan kedamaian. Jika orang-orang Kristen diinformasikan bahwa akar sebab masalah mereka terletak dalam kegagalan mengerti dasar Perjanjian Baru seperti hubungan iman dan perbuatan-perbuatan, atau antara hukum dan kasih karunia, orang-orang Kristen ini harus mengakui sampai sekarang mereka belum tahu bahwa dalam Perjanjian Baru banyak yang dikatakan mengenai hal-hal itu.

Mari dengan singkat kita ringkas kesimpulan-kesimpulan yang sudah kita peroleh atas dua topik yang berhubungan ini. Pertama, keseluruhan Perjanjian Baru mengajarkan dengan empatikal bahwa keselamatan diterima hanya melalui iman-iman dalam karya penebusan-tanpa perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, iman yang membawa keselamatan selalu diekspresikan setelah itu, dengan perbuatan-perbuatan baik. Ketiga, perbuatan-perbuatan dimana iman untuk keselamatan diekspresikan bukan perbuatan-perbuatan hukum. Kebenaran yang Allah syaratkan tidak bisa diperoleh dengan melakukan hukum Musa (Taurat).

Kesimpulan-kesimpulan mengenai kodrat dan tujuan hukum Musa ini secara alamiah membawa kita pada satu pertanyaan lain: jika iman tidak diekspresikan dengan melakukan hukum, lalu perbuatan-perbuatan

baik apa yang diekspresikan iman yang menyelamatkan? Apa tindakan-tindakan benar yang bisa kita lihat dalam hidup setiap orang yang menganut iman dalam Kristus yang menyelamatkan.

Jawaban untuk pertanyaan ini, sekaligus kunci untuk mengerti hubungan antara hukum dan kasih karunia, diberikan Paulus dalam kitab Roma. “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh” (Roma 8:3-4).

Kunci frasa disini adalah “supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita,” dimana kata “kita” menunjukkan orang-orang Kristen yang dipimpin Roh. Bukan “hukum” sendiri yang digenapi dalam orang-orang Kristen tetapi “syarat kebenaran hukum.”

Apa arti frasa, “syarat kebenaran hukum”? Jawabannya diberikan dengan sangat jelas oleh Yesus Sendiri, sebagai respons kepada pertanyaan seorang ahli hukum Yahudi mengenai hukum. “seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: “Guru hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?”

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.

Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.

Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:35-40).

Kata-kata Yesus ini mendefinisikan syarat hukum yang Paulus maksud. Hukum Musa hanya diberikan pada periode tertentu dalam sejarah manusia kepada sebagian kecil umat manusia. Tetapi dibelakang sistim hukum lengkap ini berdiri dua hukum besar, kekal, tidak berubah Allah bagi seluruh umat manusia: “Kasihilah Tuhan, Allahmu” dan “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Sistim hukum yang diberikan melalui Musa hanya sebuah aplikasi detil dan kerja dari dua perintah besar ini-kasih untuk Allah dan kasih untuk sesama kita. Dua perintah ini dasar dari seluruh sistim legal Musa dan seluruh pelayanan dan pesan semua nabi-nabi Perjanjian Lama. Disini “syarat kebenaran hukum” disimpulkan dalam dua perintah mencakup semua: “kasihilah Allah” dan “kasihilah sesamamu.”

Kebenaran yang sama ini diajarkan oleh Paulus dalam 1 Timotius 1:5-7 “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.

Tetapi ada orang yang tidak sampai pada tujuan itu dan yang sesat dalam omongan yang sia-sia.

Mereka itu hendak menjadi pengajar hukum Taurat tanpa mengerti perkataan mereka sendiri dan pokok-pokok yang secara mutlak mereka kemukakan.”

Perhatikan pernyataan yang mencerahkan: “Tujuan nasihat (perintah) itu ialah kasih…”

Tujuan tertinggi dan objek seluruh hukum Taurat diberikan untuk menanamkan kasih-kasih untuk Allah dan kasih untuk manusia. Paulus selanjutnya mengatakan bahwa semua orang yang mencoba mengajar atau menginterpretasi hukum Musa tanpa mengerti tujuan dasar seluruh hukum ini “sesat dalam omongan yang sia-sia…tanpa mengerti perkataan mereka sendiri dan pokok-pokok yang secara mutlak mereka kemukakan.”

Dengan kata lain, penterjemah-penterjemah itu telah meleset sama sekali mengenai tujuan utama hukum, yang adalah kasih. Hukum kasih-kasih untuk Allah dan manusia-adalah hukum dibelakang semua hukum-hukum yang lain.

Paulus mengekspresikan kebenaran yang sama mengenai satu hukum tertinggi kasih ini dalam Roma 13:8-10: “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.

Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!

Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”

Dan lagi, lebih ringkas, dalam Galatia 5:14: “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!.”

Jadi “syarat kebenaran hukum,” dengan segala kompleksitas dan semua undang-undangnya, bisa dikurangi intinya menjadi satu kata: kasih.

Pada titik ini seseorang mungkin cenderung ingin berkata: “Engkau mengatakan pada saya bahwa-sebagai orang Kristen, saya tidak berada di bawah hukum atau perintah-perintah Musa. Apakah ini berarti saya bebas melanggar perintah-perintah itu dan melakukan apa saja sesuka saya? Apakah saya bebas membunuh atau berzinah atau mencuri, jika saya mengingininya?”

Jawaban untuk pertanyaan ini, sebagai orang Kristen, kita bebas melakukan apa saja dengan “kasih sempurna dalam hati kita terhadap Allah dan manusia.” Tetapi, sebagai seorang Kristen, kita tidak bebas melakukan apa saja yang tidak dilakukan dengan “kasih.”

Orang yang hatinya dipenuhi dan dikendalikan oleh kasih Allah bebas melakukan apa saja yang diinginkan hatinya. Untuk alasan ini, Yakobus dua kali mereferensi pada hukum kasih ini sebagai hukum kemerdekaan. “Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya” (Yakobus 1:25).

“Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang” (Yakobus 2:12).

Yakobus menyebut hukum kasih ini “hukum sempurna yang memerdekakan” karena orang yang hatinya dipenuhi dan dikendalikan kasih Allah, setiap waktu, memiliki kebebasan melakukan apa yang ia inginkan. Apa saja yang orang itu ingin lakukan akan selalu dalam keselarasan dengan kehendak dan kodrat Allah, karena Allah Sendiri adalah kasih. Orang yang hidup dengan hukum kasih adalah satu-satunya orang yang bebas dan benar di seluruh muka bumi-bebas melakukan apa yang ia kehendaki setiap waktu. Orang seperti itu tidak membutuhkan hukum untuk mengendalikannya.

Yakobus juga memberikan hukum kasih ini judul lain. Ia menyebutnya “hukum utama.” “Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik” (Yakobus 2:8).

Apa “hukum utama” ini? Karena orang yang hidup sesuai dengan hukum ini benar-benar hidup seperti seorang raja. Ia tidak tunduk di bawah hukum lain. Ia bebas melakukan apa saja yang hatinya mendiktenya. Dalam menggenapi hukum ini, ia menggenapi semua hukum. Dalam segala keadaan dan dalam setiap hubungan dengan Allah dan manusia ia memerintah dalam hidupnya seperti seorang raja.

Analisa “syarat kebenaran hukum” ini membawa kita kepada kesimpulan-kesimpulan berikut: tidak ada konflik atau yang tidak konsisten antara standar kebenaran sejati yang dikemukakan Perjanjian Lama di bawah hukum Musa dan yang di kemukakan dalam Perjanjian Baru dalam injil Yesus Kristus. Dalam setiap dari keduanya, standar kebenaran sejati adalah satu dan sama.

Disimpulkan dalam satu kata: kasih-kasih untuk Allah dan kasih untuk manusia.

Perbedaan antara dua dispensasi-dispensasi hukum di bawah Musa dan dispensasi kasih karunia melalui Yesus Kristus-bukan terletak pada bagaimana mencapai tujuan, melainkan jalan yang digunakan untuk memperoleh tujuan itu.

Keduanya berada di bawah hukum dan kasih karunia, dan tujuannya adalah kasih. Tetapi di bawah hukum, jalan yang digunakan ke tujuan itu adalah sistim perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan eksternal yang di berlakukan pada manusia; di bawah kasih karunia, jalan yang digunakan adalah kerja mujizat terus-menerus Roh Kudus didalam hati orang percaya.

Hukum Musa gagal mencapai tujuannya, bukan karena ada yang salah dengan hukum itu sendiri, tetapi karena kelemahan dan dosa kodrat kedagingan manusia. Paulus menyatakan ini jelas di bagian akhir Roma 7.

“Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik” (Roma 7:12).

“Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa” (Roma 7:14).

“Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah” (Roma 7:22).

“tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku” (Roma 7:23).

Hukumnya sendiri adalah kebenaran dan baik. Orang yang hidup sesuai hukum mungkin tulus mengakui standar-standar hukum dan hidup menurutnya. Namun demikian, kuasa dosa didalamnya dan kelemahan kodrat kedagingannya sendiri terus menerus mencegahnya hidup sesuai standar-standar itu.

Di bawah Perjanjian Baru, kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus masih mengarahkan manusia ke tujuan yang sama-kasih untuk Allah dan kasih untuk sesamanya-tetapi diberikan kepada manusia jalan yang baru dan berbeda sama sekali untuk memperoleh tujuan itu. Kasih karunia bekerja dengan mujizat Roh Kudus didalam hati orang percaya.

Hasil dari kerjanya disebut “dilahirkan kembali” atau “dilahirkan dari Roh.” Pengalaman ini secara nubuatan digambarkan dalam Perjanjian Lama dimana Tuhan berkata kepada anak-anak Israel: “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat” (Yehezkiel 36:26).

Efek-efek perubahan didalam lebih jauh digambarkan dalam Yeremia. “Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman ALLAH, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda…” (Yeremia 31:31).

“Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yeremia 31:33).

Perjanjian baru yang dijanjikan oleh Tuhan ini adalah perjanjian baru kasih karunia, melalui iman dalam Yesus Kristus, yang hari ini kita sebut Perjanjian Baru.

Melalui perjanjian baru ini kodrat orang berdosa dirubah didalamnya sama sekali. Hati lama, keras seperti batu, tidak responsif diambil; sebagai ganti hati baru dan roh baru ditanam didalamnya. Kodrat baru yang harmonis dengan kodrat Allah dan hukum-hukum Allah.

Menjadi alamiah bagi orang yang sudah diciptakan baru oleh Roh Allah hidup sesuai jalan-jalan Allah dan melakukan kehendak Allah. Kedaulatan hukum kasih oleh Roh diri-Nya diukir diatas lempengan hati orang percaya yang responsif, dan dari situ secara alamiah membentuk karakter dan perilaku orang percaya itu. “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh” (Roma 8:3-4).

Hukum gagal mecapai standar kebenaran Allah, bukan karena kesalahan apa pun dalam hukum, tetapi karena kelemahan kodrat kedagingan manusia. Di bawah kasih karunia, Roh Allah merubah kodrat kedagingan manusia dan menggantinya dengan kodrat baru, yang bisa menerima dan memanifestasi kasih Allah.

Kita simpulkan perbedaan dasar antara kerja hukum dan kerja kasih karunia dengan cara ini: hukum bergantung pada kemampuan manusia sendiri dan bekerja tanpa Roh; kasih karunia bergantung pada kerja mujizat Roh Kudus dan bekerja didalam hati orang-orang percaya.

Perjanjian Baru mengatakan pada kita hati manusia hanya bisa berada di bawah hukum ilahi dan kasih sempurna ini melalui kerja Roh Kudus Allah. “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Roma 5:5).

Perhatikan bahwa bukan hanya kasih manusia dalam bentuk apa pun atau tingkatan, tetapi kasih Allah-kasih Allah sendiri-itu Roh Allah yang bisa dicurahkan kedalam hati kita.

Kasih Allah yang dicurahkan kedalam hati manusia oleh Roh Allah menghasilkan, secara sempurna, sembilan buah Roh. Buah Roh ini adalah kasih Allah yang dimanifestasikan dalam setiap aspek karakter dan perilaku manusia. Paulus menggambarkan: “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu” (Galatia 5:22-23).

Sekali lagi Paulus menekankan bahwa hidup dimana kasih ilahi secara sempurna dimanifestasikan dalam sembilan buah spiritual ini tidak perlu dikendalikan oleh hukum lain apa pun. Oleh karenanya, ia berkata: “Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu”.

Hukum kasih ini maka adalah tujuan dari semua hukum-hukum dan perintah-perintah lain. Hukum sempurna, hukum utama, hukum kemerdekaan.

Namun demikian, kita harus menjaga agar tidak meninggalkan kesan bahwa hukum Allah sesuatu yang samar-samar, tidak pasti, tidak realistis, atau sentimental. Sebaliknya, kasih Allah selalu pasti dan praktikal. Menurut Perjanjian Baru, kasih untuk Allah dan kasih untuk sesama, keduanya, diekspresikan dengan cara-cara menurut kasih Allah sendiri-cara-cara yang pasti dan praktikal.

Sepanjang seluruh Alkitab ujian tertinggi kasih manusia untuk Allah bisa di ekspresikan dalam satu kata: “ketaatan.”

Dalam Perjanjian Lama, Allah menyatakan kebenaran ini kepada umat-Nya dalam Yeremia 7:23 “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku.”

Kasih sejati untuk Allah selalu diekspresikan dengan ketaatan kepada-Nya.

Dalam Perjanjian Baru, begitupula, Yesus, ketika berpisah dengan murid-murid-Nya, menekankan ketaatan ini diatas semua syarat-syarat lain. Dalam Yohanes 14 Ia menegaskan perihal ini tiga kali berturut-turut didalam beberapa ayat.

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15).

“Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (Yohanes 14:21).

Lalu Ia menaruh kedua alternatif ketaatan dan ketidaktaatan berdampingan dengan sangat jelas, karena Ia berkata: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku” (Yohanes 14:23).

Dan sebaliknya, “Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku” (Yohanes 14:24).

Dalam terang kata-kata ini, jelas bagi siapa pun orang Kristen yang mengasihi Kristus namun tidak mentaati kehendak Kristus yang dinyatakan dalam kata-kata-Nya dan perintah-perintah-Nya hanya membohongi diri sendiri.

Perintah tertinggi Kristus dalam Perjanjian Baru adalah kasih. Tanpa kasih, mustahil berbicara ketaatan. Tetapi jika kita mempelajari kodrat dan kerja kasih Kristiani, kita menemukan bahwa Perjanjian Baru menawarkan kita pola hidup yang dikendalikan oleh kasih dalam setiap aspek.

Mencakup hidup pribadi orang percaya sendiri, hubungannya dengan Allah dan sesama manusia. Mengarahkan dan mengendalikan perkawinan Kristen dan hidup keluarga Kristen, termasuk orang tua dan anak-anak. Menyediakan kehidupan dan perilaku gereja Kristen. Mengatur sikap dan hubungan orang percaya dengan masyarakat sekular dan pemerintah.

Untuk kita mengikuti pola ini dalam hidup kita, pertama kita harus dengan berdoa mempelajari dan mengaplikasikan setiap bagian ajaran Perjanjian Baru. Kedua, kita harus terus menerus mengakui ketergantungan kita menit demi menit pada kasih karunia dan kuasa supernatural Roh Kudus. Dengan cara ini kita akan membuktikan dalam pengalaman pribadi kita kebenaran 1 Yohanes 2:25: “Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia.”

 



Leave a Reply