Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

NATAL YANG MEMBEBASKAN




Oleh: Fr. Sumarwan

 

Berprestasi  menjadi impian setiap orang. Namun bila berprestasi karena ingin  sebuah pengakuan, maka kualitas suatu prestasi akan turun nilai hakikinya. Artinya, nilai pada sebuah prestasi memudar seiring terhentinya pengakuan orang lain.  Bahkan kebanggaan berprestasi pun hilang karena ada kekecewaan.

Adalah suatu realitas kalau Kekayaan, kedudukan, kekuasaan dan sederet wujud prestasi duniawi selalu diburu banyak orang. Prestasi itu menjadi tuntutan bahkan dikejar dengan harapan untuk mendapat pengakuan masyarakat. Karena tuntutan ego maka banyak yang rela banting tulang dan peras keringat untuk meraih prestasi.

Karena ego ingin terus menuntut pengakuan lalu muncul keinginan untuk mewujudkannya. Sepertinya memburu prestasi tidak akan pernah berhenti. Persaingan pun mulai terlihat dalam mengejar prestasi. Lagi-lagi ego semakin menguat untuk mendongkrak semangat bersaing. Bahkan banyak energi yang terkuras demi ego untuk menjadi  yang terdepan, terkemuka, terhebat, terkuat dan terpopuler. Inilah masalah duniawi yang berpotensi menjadi awal rusaknya moral manusia yang dimulai dari mental bersaing ketika jalur etika tidak diperhatikan. Dampak selanjutnya adalah muncul kehidupan dalam bentuk ketidak-adilan, ketidak-harmonisan, dan ketidak-seimbangan.

Efek dari persaingan cenderung menguras pikiran dan perasaan bahkan bisa mengacaukannya. Persaingan menjadikan pikiran bergolak untuk suatu target prestasi duniawi. Persaingan juga akan menimbulkan perasaan gelisah dan bila ada kekalahan maka yang ada hanyalah perasaan iri hati, kecewa  dan marah.

Faktor persaingan telah menjadi masalah dalam kehidupan yang akhirnya menjurus pada kehancuran. Kain dan Habel adalah contoh dari Alkitab yang berawal dari problem persaingan dan iri hati  yang berakhir dengan kematian Habel. Betapa persaingan itu menghasilkan buah perseteruan, konflik dan peperangan. Dunia hancur karena berawal dari persaingan yang sumber masalahnya karena ego manusia. Dan kuatnya ego menyurutkan semangat kebersamaan, persaudaran, dan persatuan.

Bukan tidak mungkin kalau faktor ego bersifat kontra-produktif. Masalahnya, prestasi yang diperoleh hanya untuk kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan sosial. Problem selanjutnya adalah munculnya polarisasi antara kuat- lemah,  menang-kalah, kaya-miskin, bebas-tertindas.

 

Herodes

Contoh menarik datang dari Firman Tuhan dalam Mateus 2 dengan perikop tentang orang-orang Majus dari Timur. Betapa besar ego raja Herodes mendengar dari orang Majus kalau telah lahir Yesus Kristus raja orang Yahudi. Dan bisa dipastikan Herodes terkoyak hatinya, pikiran dan perasaan kacau  dan akhirnya  kehilangan kendali.

Bisa saja pikiran Herodes berasosiasi  menghubungkan nasibnya dengan keberadaan bayi yang akan menjadi calon raja orang Yahudi itu. Tentu raja Herodes ada perasaan takut apabila Yesus benar-benar menjadi raja yang dinanti-nantikan bangsa Yahudi. Karena bisa saja muncul asumsi kalau Yesus akan mengembalikan kedudukan bangsa Yahudi sebagai bangsa merdeka dari jajahan Romawi.

Jadi tidak heran kalau Herodes gelisah dan marah besar. Selain karena merasa diperdaya orang-orang Majus yang tidak menunjukkan dimana bayi itu lahir, juga karena  kekuasaannya sebagai prestasi yang dimiliki akan tergeser dengan lahirnya Yesus Kristus sebagai calon raja orang-orang Yahudi.  Akibatnya, keberadaan Yesus mengusik kedudukannya, maka amarahnya pun memakan korban banyak bayi umur dua tahun kebawah.

Kegelisahan raja Herodes itu muncul karena ego. Yaitu ego yang  secara psikis menggiring pikiran untuk mengaitkan dirinya sebagai raja dengan kehadiran Yesus sebagai pesaing. Lalu muncul asumsi dalam pikiran Herodes bahwa  kelahiran  Yesus akan mengusik dan mengancam posisinya sebagai penguasa. Lagi pula Herodes pasti  tidak terima kalau orang-orang Majus datang untuk sujud menyembah  sebagai bukti pengakuan akan Yesus sebagai Raja Orang Yahudi diluar otoritas raja Herodes yang saat itu berkuasa.

Hanya karena raja Herodes tidak mau tahu maksud dibalik kedatangan Yesus ke dunia, maka kegelisahan dan amarahnya telah membuang banyak energi dari dalam tubuhnya dengan sia-sia. Nyatanya, kehadiran Yesus ke dunia bukan menjadi pesaing raja Herodes dan bukan pula menjadi pembebas bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. Jadi  seharusnya tidak ada alasan raja Herodes merasa tersaingi.

Dilain pihak harapan bangsa Yahudi pun kandas karena raja yang dinanti-nantikan ternyata bukan mewakili kepentingan politik bangsa Yahudi melawan penjajahan Romawi. Buktinya, Ia lahir di palungan di kandang domba yang tidak cukup mendukung keyakinan bangsa Yahudi kalau bayi Yesus itu sebagai calon pemimpin dan raja besar yang mampu melawan penjajah nantinya. Bangsa Yahudi melihat kesederhanaan itu kehinaan dan tidak mungkin seorang raja datang dari tempat yang hina karena itu bukti kerendahan dan kelemahan.

Di satu sisi, kelahiran Yesus telah dimaknai keliru oleh raja Herodes dan di sisi lain  dipandang sebelah mata oleh bangsa Yahudi. Padahal kelahiran Yesus bisa menjadi jawaban kekacauan pikiran dan perasaan raja Herodes yang terlalu menaruh kecurigaan, dugaan, dan kesalah-pahaman tentang kehadiranNya. Sedangkan bangsa Yahudi seharusnya bisa mengambil hikmah dibalik kesederhanaan Yesus yang ternyata bersifat membebaskan. Karena justru dari kesederhanaan dan kehinaan itu kekuatan terbesar manusia dipulihkan dengan pembaharuan mental yang tangguh, sabar, terkendali, berjiwa sosial.

Lihat saja Yesus yang lahir dari kesederhanaan telah menunjukkan jalan, kebenaran dan hidup. Pembebasan yang ditawarkan Yesus adalah melepaskan kendali ego dalam wujud iri hati, cemburu, amarah, curiga, nafsu serakah yang bersifat memenjarakan. Gambaran besar pembebasan manusia itu ada dalam karya besar kelepasan belenggu dosa melalui proses penebusan. Itulah bukti anugerah yang luar biasa yang  Allah Bapa berikan kepada dunia dengan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya barang siapa yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.

Hal duniawi memang menjanjikan popularitas bahkan prestasi gemilang yang akan diakui dengan kebanggaan diri dan kehormatan duniawinya. Namun yang harus diingat adalah belenggu ego bisa banyak menuntut supaya tetap dalam pengakuan pihak lain. Terlalu memanjakan ego akan menciptakan perasaan curiga ketika ada pihak lain yang lebih maju, gelisah kalau ada yang menyaingi, marah kalau kedudukannya diusik, dan sederet emosi negatif lainnya.

Emosi itu membelenggu, hidup terikat, dan ada dalam ketidak-nyamanan. Namun dengan kesederhanaan, manusia bisa memilih hidup dalam kasih yang menyelamatkan. Jalan pun ditunjukkan mana jalan yang benar supaya hidup tidak lagi memenangkan ego tetapi menyajikan kebenaran dalam Kristus Yesus yang hakiki. Karena dari kelahiran Yasus ke dunia ternyata ada  pembebasan dari  perbudakan dosa menuju kemerdekaan abadi dalam diri setiap orang yang percaya.

Kini manusia boleh lebih semangat lagi untuk meraih tujuan hidup bahkan bekerja keras untuk berprestasi namun tujuannya untuk menyenangkan hati Tuhan saja. Itulah hidup yang sudah ditangkap Yesus, ia akan selalu berprestasi namun tidak menuntut pengakuan orang lain, tidak untuk kebanggaan diri, dan bukan untuk kehormatan duniawi. Bila demikian maka berprestasi merupakan harapan setiap orang percaya yang apabila diraihnya, hasilnya pun membebaskan.

 

 



Leave a Reply