Kebencian, Ganas dan Mematikan
Written by Fr. Sumarwan
Tidak seorang pun mau sakit hati. Namun siapapun juga tidak bisa menghindarkan dari perasaan terluka hatinya selama masih berinteraksi dengan orang lain. Karena timbulnya sakit hati datang dari sikap tidak bersahabat orang lain atau justru sikap diri sendiri yang mempersepsikan sikap orang lain sesuai penilaian subyektifnya.
Setiap orang memiliki tingkat sensitivitas yang tidak sama. Karena itu, sakit hati bisa sangat membebani perasaan orang yang terlalu sensitif. Sebaliknya, tidak mudah rasa sakit hati menimpa seseorang yang sudah terbiasa mengendalikan tingkat emosinya. Dengan demikian tidak setiap sikap orang lain yang buruk yang ditujukan pada dirinya dianggap melukai hati.
Karena itu, tidak ada tanggapan yang sama yang ditunjukkan oleh setiap orang terhadap suatu rangsangan yang sifatnya melukai, dalam bentuk perbuatan yang mencelakakan, atau perlakuan yang tidak adil. Semua tanggapan itu tergantung cara setiap orang dalam menanggapi kondisi eksternal yang masuk melalui indera. Ada yang responsif dengan perasaan terluka, ada juga yang menanggapi dengan santai.
Hanya tipe perasa saja yang mudah terluka karena penilaian subyektif yang begitu kental dalam menilai sikap orang. Ada yang mampu melupakan begitu saja luka hatinya sehingga tidak membekas dalam ingatan. Namun tidak sedikit yang menyimpan kenangan pahit itu sampai berlama-lama hingga luka batinnya makin parah karena akar kepahitannya kian mencengkeram.
Yang menjadi masalah adalah: orang pengidap akar pahit tidak merasa hal itu sebagai beban apalagi gangguan kesehatan. Justru yang terjadi adalah menikmati rasa terluka dan gemarnya membuka kembali kenangan saat perasaan sakit pertama kali timbul.
Frekuensi membuka kenangan disakiti mempengaruhi kondisi psikisnya. Bahkan mengingat-ingat orang yang melukai dan perbuatan yang menjadikan hatinya terluka menciptakan reaksi benci.
Kalau kebencian adalah tanggapan spontan dari rasa sakit hati yang diakibatkan perbuatan orang lain, maka faktor kedekatan secara fisik membuat kebencian itu semakin dalam. Karena begitu dekat dan selalu ada disekitarnya, maka sulit untuk melupakan dan mudah untuk terus menyalahkan.
Semakin asik mengungkit rasa sakit hati, semakin sering memunculkan ide-ide “ kreatif” untuk melukai diri sendiri sambil mengutak-atik cara melakukan balas dendam. Bila sudah ada jalan menuju balas dendam, tentu tidak lagi ada pintu maaf bagi siapapun yang melukainya. Lagi-lagi orang tipe begini akan selalu menikmati beban dalam hidupnya bukan malah melemparkan beban jauh darinya. Inilah keanehan sisi kejiwaan sebagian manusia yang masih belum tersadar mana beban dan mana kenikmatan terkait sakit hati yang disandangnya.
Bukankah munculnya luka hati itu sudah merupakan masalah? Lalu ketika pikiran menduga-duga motif seseorang melalui pikiran negatif, maka perasaan berperan menyemangati yang membuahkan sakit hati kian dalam. Konsekuensinya, hati yang terluka akan menjadi semakin parah lukanya karena bukan lagi perbuatannya yang tidak disukai tetapi orang yang melakukan perbuatan itu yang mulai dibencinya.
Ketika bertemu muka orang yang dibencinya, ingatan tentang rasa sakit itu muncul kembali dan luka hatinya pun makin parah. Semakin sering melihat orangnya semakin dalam sakit hatinya hingga hidup pun seolah terpenjara walaupun tidak sedang menjalani pidana penjara. Makan pun tidak merasa enak walaupun dihidangkan makanan yang paling enak. Tidur pun tidak nyenyak sekalipun tempat tidurnya dibeli dengan harga sangat mahal.
Persoalannya adalah bayangan tentang orang yang dibencinya semakin jelas walaupun sedang tidak melihatnya. Hidup menjadi tidak merdeka karena dikejar bayang-bayang tentang orang yang dibenci. Secara bertahap efek kejiwaan yang termanifestasikan pada sikap tubuh seperti resah dan gelisah, nafsu makan berkurang, tidak fokus, dan hormon yang bersifat meracuni perlahan keluar mengganggu kesehatan tubuh jasmani.
Kesembuhan
Bagi orang yang cepat menyadari kalau luka hati itu sudah merupakan problem, maka ada cara untuk menanggulanginya. Berarti ada kekuatan dari dalam yang mampu melupakan orang dan perbuatan yang pernah melukai hatinya. Namun bagi sebagian orang lagi, akan cenderung mengingat-ingat sampai terbersit dalam memori kalau orang yang dibenci harus membayar harga kesalahannya. Hatinya pun terusik untuk terus menyalahkan sampai kebenciannya terbalas dengan rasa puas.
Kesembuhan dari rasa sakit hati memang sulit bagi yang belum bisa memisahkan antara pelaku dan perbuatannya secara lebih bijak. Yang pasti, Kecenderungan manusiawi tidak pernah bisa memisahkan perbuatan yang menyakitkan dengan orang yang berbuat. Hanya karena orang berbuat karena faktor kesengajaan, lantas menjadi alasan untuk tidak memisahkan perbuatan dan orang yang berbuat. Bagaimana pula dengan orang yang sama sekali tidak berbuat, baik disengaja ataupun tidak sengaja, hanya karena persepsi dirinya saja sehingga tersinggung dan akhirnya sakit hati?
Namun sakit hati tetap sakit hati. Luka hati tetap membekas. Itu kalau yang dominan adalah ego dengan dalih manusiawi. Berarti dari sudut pandang manusiawi tidak ada solusi penyembuhan sakit hati dan kebencian. Tetapi setiap orang masih memiliki aset termahal yang menjadi solusi penyembuhan, yaitu iman. Karena dengan iman ada perubahan persepsi yang tidak lagi menganggap orang lain itu musuh tetapi rasa kasihan. Yang perlu dimusuhi hanyalah sikap perbuatan karena kebodohannya dan kerentanan terhadap ganguan roh jahat.
Tuntunannya jelas bahwa perjuangan kita bukan melawan darah dan daging tetapi roh roh jahat. Roh itulah yang semestinya dibenci dan dijauhkan. Dengan demikian, ada jalan untuk mengampuni orang yang telah dipengaruhi roh roh jahat dan mendoakan orang yang dibawah pengaruh roh jahat itu supaya bisa terbebas.
Memang sulit mengampuni orang yang berbuat salah apalagi mendoakan demi kebaikannya. Namun ajaran kasih menawarkan pengampunan dan mendoakan demi kebaikan orang yang bersalah. Dan yang hidup berlandaskan iman bisa segera bangkit menjalankan ajaran kasih itu. Karena itu tidak lagi ada luka hati yang perlu diungkit karena faktanya itu bukan kenikmatan dan tidak perlu puas diri karena bisa membenci dan membalas dendam.
Sekali lagi, iman adalah solusi. Supaya bisa hidup benar dan bijaksana, akan lebih baik mencari jalan iman. Di dalam surat rasul Paulus kepada orang-orang Efesus (Efesus 4: 32) jelas diperingatkan tentang pengampunan Yesus kepada kita umatnya, demikain pun kita harus saling mengampuni.
Pengampuan merupakan kekuatan yang menyembuhkan dan membebaskan luka-luka di hati. Dan semua umat percaya tahu kalau pengampunan adalah wujud kasih dalam tindakan nyata. Lebih dari itu kita pun terbebas dari rasa sakit dan sekaligus terbebas dari kebencian sebab kasih sudah menjadi gaya hidup.
Untuk selanjutnya, ketika kasih sudah memegang kendali, wawasan baru pun terbentuk. Bukan orang lain yang membuat sakit hati dengan perbuatannya itu, tetapi diri pemilik kasih itulah yang sudah kebal dari datangnya rasa sakit. Karena hanya dengan mengampuni orang yang bersalah dan mendoakannya serta selalu bersikap ramah, maka tidak ada lagi beban rasa sakit yang harus dipikulnya. Lagipula orang yang hidup dalam kasih selalu merangkul dan menyatukan. Gereja pun tidak harus terbelah dan bermusuhan. Jemaat tidak harus berseteru karena ajaran kasih memang memperkaya nilai kebersamaan. Kalau begitu perlu disadari sejak dini untuk menghindari kebencian sebelum kebencian berubah menjadi kanker ganas yang menyerang gereja dan kebersamaan jemaat Tuhan.
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Pelayanan Gereja)