Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Gereja Harus Cerdaskan Umat




eBahana.com – Ada banyak komunitas Kristen, baik itu berupa lembaga maupun gereja, sering “membius” umatnya melalui mimbar. “Bius” itu disuntikkan dengan kata-kata, dogma, maupun pengajaran.  Misalnya, “hidup orang yang percaya pada Tuhan Yesus pasti dan selalu diberkati Tuhan”. Bukti hidup orang percaya diidentikkan dengan adanya karya Tuhan melalui kejayaan, kesuksesan, dan kemakmuran yang diperoleh dalam pekerjaan. Jika umat memiliki utang, sakit penyakit, masalah yang membelit, itu artinya belum beriman.

Ada juga ajaran yang terus didengungkan bahwa orang yang percaya kepada Yesus sudah pasti selamat. Tafsirannya adalah sekali selamat pasti sudah selamat untuk selama-lamanya, meskipun tidak menunjukkan buah pertobatan dari hasil keselamatan yang diyakini sudah diperoleh. Fokusnya hanya “selamat” dan tidak perlu berbuat baik.

Ada juga “dogma”, bahwa umat harus tunduk dan taat pada pemimpin, khususnya pemimpin rohani, meskipun dia lalim dan “keji”. Alasannya, bahwa pemimpin rohani merupakan “wakil” Tuhan dan “penyambung lidah” Tuhan di bumi, sehingga tidak boleh ditolak dan dikritik. Jika ditolak dan dikritik sama halnya dengan melawan otoritas Allah. Mandat dari pemimpin tersebut biasanya “diamini” sebagai perintah yang turun dari “langit”.

Paling ironis dari dogma ini adalah terlalu mengkultuskan pemimpin gereja. Perpuluhan pun hanya milik pemimpin gereja tersebut, bukan untuk pelayanan gerejawi. Sampai-sampai jemaat pun bias dibuat untuk tidak rasional. Misalnya, dengan menyuruh jemaat berdoa agar Tuhan mau membangkitkan pendeta yang mereka sangat sayangi. Padahal sudah dinyatakan dokter positif meninggal. Seperti yang pernah terjadi tahun 2016 di Semarang.

Rasio dipandang sebagai racun bagi iman, sehingga tidak perlu heran bahwa ada kelompok Kristen yang menggunakan iman tanpa rasio (otak). Rasio dipandang sebagai penghalang iman untuk bias beriman pada Tuhan. Namun, ada juga yang berpikir sebaliknya. Terlalu mengandalkan rasio dengan menyingkirkan iman dan meniadakan keberadaan Tuhan yang supra-rasional dan supra-natural. Kedua kubu ini sama berbahayanya dan sama sesatnya.

Ada pula yang membanggakan gereja secara berlebihan, tanpa mau melihat kekurangan dan kebobrokkannya. Gereja dianggap sebagai kumpulan orang kudus dan am, tanpa noda dosa dan cela. Anggapannya bahwa komunitas gereja atau institusi kristenlah yang paling baik di muka bumi ini, baik dari segi karya maupun dari segi organisasi. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, sirik dengki, dan “berhala” pun masih banyak di dalamnya.

Tugas Utama Gereja

Fungsi utama gereja adalah menghadirkan pelayanan marturia (kesaksian), koinonia (bersekutu), dan diakonia (melayani). Gereja hadir harus menjadi solusi cerdas bagi umat. Bukan malah sebaliknya, menjadi perongrong, penggarong dan pembodohan jemaat demi kepentingan orang tertentu, misalnya pendetanya. Jemaat harus diajari untuk menyikapi dan mengkritisi gereja, baik pengajaran maupun system kelola gereja. Umat tidak boleh hanya “membeo”. Umat harus menggunakan segenap hati, segenap jiwa segenap kekuatan dan segenap akal budi untuk melayani Tuhan (Lukas 10:27).

Organisasi gereja juga harus bias menjadi contoh dalam system kelola organisasi yang baik, demokratis dan penuh tanggung jawab. Umat harus dicerdaskan bagaimana cara mengelola komunitas atau persekutuan, sehingga umat tidak hanya sekedar pengikut semata. Tanpa mengerti tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang percaya.

Uang bukanlah segala-galanya, tetapi di segala kegiatan, pasti membutuhkan uang. Gereja juga banyak yang bubar dan pecah karena persoalan uang. Oleh karena itu, gereja harus tahu dan menjadi panutan dalam cara mengelola keuangan yang baik. Gereja harus memiliki transparansi dalam system pengelolaan keuangan. Baik laporan pengeluaran gereja, seperti gaji pendeta (pastor), honor pelayan, transportasi dan yang lainnya maupun pemasukan gereja. Semua harus transparan, baik uang masuk dan uang keluar. Gereja juga harus mau diaudit secara internal maupun eksternal agar terhindar dari tindak penyelewengan dana umat.

Fungsi gereja lainnya adalah salah satu pilar pendidikan anak. Oleh karena itu, Pembinaan anak dalam gereja harus menjadi contoh yang baik pula. Jemaat harus dicerdaskan agar gereja mampu melayani anak. Saat sekolah minggu maupun di luar kegiatan sekolah minggu. Perlu menggalang pelayanan anak terpadu, member arahan dan pendampingan bagi orang tua dalam membina dan merawat anak. Jika ini dilakukan secara berkelanjutan, maka bisa “meredam” kekerasan yang sering terjadi pada anak.

Gereja perlu memikirkan agar ada mesin perekonomiannya sendiri di luar persembahan. Pemikiran ini sudah selayaknya dikembangkan agar gereja tidak hanya mengandalkan pemasukan melalui persembahan semata, tetapi ada yang menopang melalui sumber dana lainnya. Di samping itu, dengan hadirnya mesin perekonomian akan mampu menyalurkan potensi jemaat yang membutuhkan lapangan kerja. Dengan demikian, gereja menjadi solusi cerdas dan penggerak “ekonomi kerakyatan” dalam membantu realitas kehidupan jemaat.

Sebagai organisasi, gereja harus mampu memfasilitasi umat agar mengerti politik yang baik dan sehat. Bukan terjebak dengan politik praktis dengan melibatkan mimbar untuk mengkampanyekan calon tertentu melalui mimbar agar mendapat kucuran dana dari sang calon. Jemaat juga harus diedukasi menjadi pemilih cerdas, paham konstitusi dan bukan malah dicekoki dengan politik sempit dan pragmatis. Bahkan sampai ancam-mengancam jika tidak memilih yang sudah ditetapkan pucuk pimpinan gereja maka akan mendapat sanksi.

Di bidang hukum, juga demikian, gereja harus mampu mencerdaskan umatnya, agar “melek” hokum dan taat hukum, sehingga tidak buta hukum. Jika umat memahami hokum positif, maka akan lebih cerdas pula dalam menaatinya. Gereja harus memfasilitasi umat agar paham proses demokratisasi saat membuat keputusan bersama. Mampu menghargai sebuah keputusan bersama dan menghargai orang yang berbeda pendapat dengan keputusan bersama tersebut. Jemaat juga harus dicerdaskan agar mampu member kritik dan saran atas kebijakan yang telah dibuat gereja.

Ingat, gereja adalah milik publik (jemaat), oleh karena itu, gereja tidak selayaknya dimonopoli satu kelompok tertentu, orang tertentu dan keluarga tertentu. Oleh karena itu, jemaat berhak memberikan pengawasan terhadap program gereja, bahkan pengawasan terhadap seluruh penggunaan keuangan gereja. Seluruh anggota jemaat harus dilibatkan dan memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam seluruh program gereja. Baik sebagai gembala, majelis maupun pengerjalainnya. Tentunya sesuai prosedur yang ada di gereja masing-masing. Gereja juga tidak boleh diperjualbelikan oleh pendeta, karena gereja bukanlah asset pribadi pendeta. Meskipun gereja tersebut mengatasnamakan pribadi pendeta, jika memang itu diperuntukkan bagi gereja, maka pendeta tidak berhak untuk memperjualbelikan.

Gereja jangan menjadi garam yang hambar di tengah dunia, tetapi harus lebih cerdas. Jika gereja cerdas maka umat juga akan semakin cerdas, karena kecerdasan itu dibutuhkan untuk mampu menggarami dunia ini.

NB: Artikel ini sudah pernah terbit 28 April 2016 di Tabloid Reformata online http://reformata.com/…/…/1242/gereja-harus-mencerdaskan-umat. Namun, jika ditelusuri artikel ini di laman http://reformata.com/ sudah tidak bias diakses lagi atau bias dikatakan sudah resmi dihapus pengelola. Artikel ini juga sudah dikutip dan disebar lewat facebook Seksi Ama Hkbp Tomang Barat dan sudah 3 kali dibagikan. Mengingat artikel ini masih cocok dengan kondisi gereja saat ini, maka penulis menerbitkan ulang artikel ini di http://ebahana.com/ ini dengan perubahan seadanya.

Oleh Ashiong P. Munthe, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UPH (Email: apmunthe@gmail.com)



Leave a Reply