Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Evaluasi Diri sebagai Dasar Mengenali Diri




eBahana.com – Matius 22:39, “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Pernyataan Yesus dalam Matius 22:39 (bnd. Mrk. 12:31; Luk. 10:27), merupakan turunan (tafsir dan pengembangan hukum yang dilakukan Yesus atas Ul. 6:5; bnd. Mrk. 29:30; Luk. 10:27) dan sisi lain dari hukum yang tercatat dalam Ulangan 6:5. Di mana Ulangan 6 tidak terdapat dalam dalam empat kitab lainnya. Dengan kata lain, Ulangan 6 tidak merujuk pada 4 kitab Pentateukh lainnya.

Ulangan 6, merupakan naskah asli yang ditemukan di reruntuhan  bait Allah pada masa reformasi raja Yosia. Naskah ini menjadi dasar bagi reformasi Yosia dan semangat yang digaungkan adalah pusat-pusat penyembahan berhala diruntuhkan dan seruan untuk menyembah hanya kepada satu Allah (Ul. 6:4-ekhad, bukan satu dalam arti numerik atau jumlah melainkan tidak ada yang lain atau “hanya-only YHWH”. Seruan itu harus diresponi dalam kasih, yakni kasihilah Tuhan Allahmu, yang “satu itu” (tidak ada yang lain  di tempat lain, hanya Dia yang di Yerusalem). Oleh karena itu, untuk menilai kualitas ibadah, diri, dll, hanya dapat dilakukan dalam YHWH.

Ulangan 6:5 dan Matius 22:39, seperti “dua sisi dari satu mata uang” dalam pernyataan Yesus. Hukum pertama melandasi oleh hukum kedua atau hukum kedua dilandasi  hukum pertama. Hukum pertama menjadi fondasi bagi keseharian manusia atau humanitas dan sosialitas manusia (relasinya) yang dinyatakan Yesus sebagai “kasihilah sesamamu manusia seperti (sama dengan) dirimu sendiri. Diri sendiri (yourself) sebagai indikator evaluasi dalam humanitas atau kesosialan manusia. Pernyataan Yesus sebagai standar menilai diri.

Pernahkah kita mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, apakah saya baik? Pernyataan Yesus dalam Matius 22:39, membantu kita untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jawabannya adalah sudahkah saya mengasihi orang lain seperti saya mengasihi diri sendiri?

Pernyataan Yesus berkaitan dengan hal ini, merupakan Indikator penilaian diri. Hanya saja, yang menjadi catatan bagi kita adalah indikator ini tidak semata-mata tentang kuantitas atau jumlah tindakan baik yang kita lakukan terhadap orang lain. Fokus Yesus bukan pada kuantitas tindakan melainkan kualitas hati sebagai rujukan utama. Maka tidak serta merta kuantitas tindakan baik yang kita lakukan sebagai referensi bahwa kita baik. Sebab pada hukum pertama, kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, Injil Matius, Markus, Lukas mencatat pernyataan Yesus, bahwa hukum kedua yang sama dengan itu (hukum pertama) ialah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Pernyataan, mengasihi sesama seperti diri sendiri, dipahami sama dengan kasihilah “Tuhan Allahmu-sesamamu” dengan segenap hatimu, segenap kekuatanmu, jiwamu, akal budimu. Bila kita menempatkan pernyataan Yesus, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, pada hukum pertama, maka akan tampak seperti ini, “kasihilah Tuhan Allahmu sama seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Bila kita tidak pernah menduakan diri sendiri, Tuhan pun tidak akan pernah diduakan (bnd. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku…). Yakobus 4:17, jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Berdasarkan ulasan diatas maka kita harus sadar, bahwa dasar untuk mengenali diri adalah dapat menilai diri. Menilai diri dan orang lain tidak berada di luar diri kita, yakni pada orang lain, melainkan diri sendiri. Kita mau dan senang orang lain memperhatikan kita, menolong kita, memberi kepada kita, mengerti keadaan kita, hadir bagi kita, mendengarkan kita saat kita bicara, dll. Ini yang lebih sering kita harapkan dari orang lain. Ini tidak salah, TETAPI, apakah harapan itu telah kita lakukan kepada orang lain. Jika belum, ini namanya harapan palsu.

Oleh karena itu, salah satu hal yang harus kita kenali dari diri kita adalah berbuat baik. Apakah saya baik?

  1. Periksa hati saat melakukan tindakan baik.
  2. Perbuatan baik bukan untuk “mencari nama”.
  3. Perbuatan baik bukan untuk pencitraan.
  4. Perbuatan baik bukan settingan.
  5. Perbuatan baik bukan kamuflase untuk tujuan  lain.

Oleh Noh Ibrahim Boiliu, M.Th. M.Pd. Dosen Prodi PAK, Universitas Kristen Indonesia.



Leave a Reply