Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

AKU TELAH MERAGUKANNYA




eBahana.com – (Refleksi Lukas 1:5-25)

Aku hidup di masa Herodes, raja Yudea memerintah.  Profesiku sebagai imam.  Namaku Zakharia dari rombongan Abia.  Istriku dari golongan Lewi juga, keturunan Harun, namanya Elisabet.  Aku dan istriku belum dikaruniai seorang anak, sekalipun kami sudah lanjut usia, sebab istriku mandul.  Seluruh hidupku ditujukan bagi pelayanan Tuhan.  Inilah yang menjadi fokus utama, sehingga aku hampir lupa akan kerinduanku menimang seorang anak pewaris keturunan Lewi.

Hari ini sesuai undi, aku kembali bekerja sebagai imam yang masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan di situ.  Pada waktu ini, seluruh umat berkumpul di luar dan sembahyang.  Tampaklah olehku malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan.  Aku sangat terkejut dan takut.  Malaikat itu menenangkanku, dan mengatakan sesuatu yang menakjubkan bagiku.  Malaikat itu mengatakan bahwa doaku untuk mendapatkan seorang anak telah dikabulkan dan bahkan istriku akan melahirkan seorang anak laki-laki, yang harus kunamai Yohanes.

Bagaimana mungkin seorang perempuan mandul yang sudah tua akan melahirkan seorang anak?  Aku sungguh tak percaya.  Mungkin ayam pun bisa menertawakan istriku, melihatnya melahirkan di usia tuanya.  Dalam keherananku yang belum surut itu, malaikat yang menemuiku terus menjelaskan bahwa kelahiran anakku akan membawa sukacita besar.  Ia akan menjadi nazir Allah, dengan menjauhkan minuman anggur dan minuman keras dari hidupnya.  Roh Kudus telah memenuhi kehidupannya sejak dari rahim ibunya.  Dikatakannya bahwa: melaluinya, banyak orang berbalik kepada Allah.  Ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia, sehingga terjadi kebangunan umat yang besar.  Ohh sungguh, semua perkataan tersebut hampir seluruhnya tak dapat kupahami!!

Aku ingat kisah Sara yang melahirkan di usia sembilan puluh tahun.  Suatu peristiwa langka.  Akankah yang demikian terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku?  Apakah aku ini, sehingga peristiwa sedahsyat itu berlangsung di kehidupanku?  Itulah kisah lama yang terjadi pada tokoh-tokoh besar, seperti Bapa Abraham.  Aku, hanyalah laki-laki tua yang tak memiliki peran, sehebat Bapa Abraham.  Pria tua yang sejak kelahirannya telah ditentukan untuk menduduki jabatan imam,….tak ada pilihan lain, tak ada kebebasan, ya itulah aku.  Pria lain di luar sana memiliki banyak pilihan dalam hidupnya.  Untuk menjadi apa saja yang mereka pilih, menjadi petani, peternak, pengrajin, atau apapun juga, termasuk pilihan untuk menikah atau tidak.  Tetapi sebagai seorang bangsa Israel, bangsa pilihan Allah, segala hal tidaklah dapat berjalan sesuka hati mereka.  Allah menjadi penentu utama segala kehidupan mereka, sebab Dialah pusat kehidupan mereka.

Allah Israel memang mengarahkan seluruh kehidupan kami, sebagai tatanan ibadah.  Tak ada satupun yang terlepas dari setiap unit peri kehidupan kami.  Jadi sesungguhnya aku di masa kecilku telah terbiasa dengan keadaan yang demikian, semua ditentukan, seperti halnya: bagaimana caraku melangkah, caraku bersikap, caraku berpikir dan berkeputusan, serta berbagai cara lainnya.  Aku mengetahui bahwa semuanya itu baik.  Inilah yang benar.  Tuhan semesta alam tahu apa yang paling tepat buat kehidupan umat-Nya.  Cara-Nya mengarahkan umat-Nya adalah bentuk kasih sayang-Nya yang tak terkira.  Ia sangat melindungi milik-Nya dan tak menginginkan mereka binasa.

Kini, Tuhan sedang menyatakan ketentuan-Nya di hadapanku, tentang masa depan anakku yang sudah bertahun lalu kuhapuskan dalam benakku bahwa ia akan menjadi nyata.  Bilamana tentang anakku yang akan lahir itu kemudian benar akan menjadi seperti yang diceritakan malaikat itu, sungguh suatu keajaiban yang tak terkira.  Titian kehidupan atas anakku memang telah digariskan-Nya, namun membayangkan cara-cara yang dipakai-Nya itu sulit kupahami.  Akal pikiranku terlampau pendek untuk dapat mengikuti rancangan-Nya.  Dia menggunakan ukuran kuasa keilahian-Nya, sementara pikiranku hanya mampu menjangkau standar ukuran kenyataan, apa yang dapat diukur manusia semata.  Jadi tentulah ini dua standar yang berbeda, yang tidak dapat dipergunakan dalam obyek yang sama dalam waktu yang sama pula.  Aku harus melihat anakku, dengan cara Allah melihat dia.

Waktu kukatakan kepada malaikat itu, “Bagaimana aku tahu, bahwa hal itu akan terjadi?  Sebab aku sudah tua dan istriku sudah lanjut umurnya”.  Inilah pernyataan tersulit di hidupku.  Aku tak mampu menempatkan standar Allah yang maha luas dan tak terselami itu dalam benakku yang terlalu sempit.   Ketika Malaikat itu menyampaikan bahwa aku akan bisu sampai hari di mana semuanya itu terjadi, menjadi titik nadir dalam kehidupanku.  Di situlah seketika harus kubangan perenunganku menjadi prosesku belajar mengenali Sang Maha Tinggi.  Kupikir semua yang terjadi otomatis mekanis di segala segi kehidupan yang masif, bahkan tak dapat kuterima dengan bulat-bulat.  Di dalamnya, dapat juga ditemukan perputaran roda kreativitas, atau munculnya kecerdasan, atau tumbuhnya keindahan-keindahan yang bahkan tak seorangpun dapat membayangkan bahwa semua itu bisa bercokol di sana,….ya di sana,…..di tempat yang tak terduga itu.  Aku atau siapapun juga bahkan tak patut untuk mempertanyakannya, “Mengapa semua itu ada di sana?”  Sebab, Dia Allah semesta alam memang ingin meletakkan di sana, di tempat yang dimau-Nya, sesuka hati-Nya, dengan atau tanpa persetujuan siapapun.

Di titik nadirku, Allah justru memaksa untuk melihat yang jauh lebih tinggi dari yang dapat kubayangkan.  Suatu kemustahilan yang tak dapat diupayakan dengan kekuatanku.  Dialah yang menyanggupkanku.  Apalah dayaku?  Pengenalan dengan cara paksa memang sangat penting dilakukan, utamanya dalam kasus-kasus seperti diriku.  Sebab tanpanya, aku menjadi lengah, abai, bahkan lalai akan keberadaan penguasa semesta yang kekuatan-Nya tak tertandingi.  Tangan-Nya bebas merenda apapun, Ia boleh memangkas yang ingin dipangkas-Nya, bahkan menumbuhkan kembali apa yang telah musnah.  Siapakah yang dapat menghalangi derasnya kebaikan hati yang dinyatakan-Nya?

 

Oleh Anna Mariana Poedji Christanti – Faith and Science Integration Club Ministry.



Leave a Reply