Menyiapkan Hamba Tuhan yang Melayani Berbasis Kearifan Lokal
eBahana.com – Pulau Nias, salah satu daerah di Sumatera Utara yang populasi kekristenannya mayoritas. Nusa Indah Andalan Sumatera itu memiliki banyak gereja yang tersebar di berbagai wilayah. Karena itu, dibutuhkan para pelayan yang siap melakukan pengabdiannya di desa dan kota. Namun, fakta lapangan tidak semudah itu. Terdapat kendala-kendala berarti yang harus diatasi. Ambillah contoh: masalah warna teologi. Di
satu sisi warna teologi baik untuk sinode-sinode gereja. Namun, kalau dalam satu sinode bisa saja menimbulkan ketegangan yang seharusnya tak perlu terjadi. Bagaimana mengatasinya? Ikuti pemikiran
Pdt. Tuhony Telaumbanua, M.Si., Ph.D.
Kurang lebih sekitar tahun 1980-an, para pendeta Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) khususnya, berasal dari sekolah teologi Protestan. Sebutlah beberapa di antaranya STT HKBP, STT Duta Wacana (sekarang Universitas Kristen Duta Wacana), fakultas teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, STT INTIM, dan sebagainya. Selain itu, muncul juga sekolah-sekolah teologi Injili, Pentakosta, dan Karismatik. Para hamba Tuhan yang melayani pun seringkali berasal dari sekolah-sekolah tersebut.
Secara pribadi saya sangat menghargai aneka warna teologi. “Saya tidak anti dengan teologi yang beraneka warna karena itu merupakan kekayaan gereja,” tuturnya. Namun, hal itu bisa menjadi masalah ketika berada dalam satu sinode. Pasti ada perbedaan-perbedaan pandangan yang berpotensi menimbulkan perpecahan dalam jemaat. Bagaimana mengatasinya?
Oleh anugerah Tuhan berdirilah Sekolah Tinggi Teologi (STT) Sundermann. Melalui STT ini, para calon pendeta yang akan melayani jemaat akan dididik. Mereka yang akan menjadi vicar—diuji terlebih dahulu. Apabila dalam ujian itu tidak lulus karena perbedaan warna teologi yang sangat menyolok, maka mereka harus belajar di STT Sundermann. Tujuannya adalah untuk menyamakan pemahaman. Apakah hal ini berarti tidak menghargai perbedaan? Jelas, bukan demikian. Namun, untuk kepentingan yang lebih luas, berusaha mencegah perpecahan dan ketegangan yang mungkin akan terjadi.
Harus Menjawab Kebutuhan
Menjawab kebutuhan umat yang dilayani menjadi tanggung jawab lembaga ini. Karena itu, melalui institusi ini kami menyiapkan para hamba Tuhan yang siap melayani di desa dan kota. Selain belajar teologi sebagai disiplin ilmu, kami juga menyiapkan para mahasiswa agar punya keterampilan tertentu. Kami mengajari mahasiswa dalam hal peternakan, perkebunan, dan perikanan. Perhatikanlah di belakang kampus ini ada kandang ternak. Para mahasiswa bergilir untuk memeliharanya. Bila saatnya tiba, mereka melayani di daerah terpencil, mereka sudah punya bekal. Bukan saja bekal teologi tapi bekal yang memungkinkan mereka dapat bertahan hidup dalam pelayanan.
Selain itu, pelayanan di Nias tak boleh terlepas dari akar budaya masyarakat setempat. Secara umum, masyarakat Nias sukar dilepaskan dari adat istiadat yang melekat kuat dalam dirinya. Adat istiadat telah mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat. Saya berpikir gereja di Nias ini sukar diterima bila adat istiadat
tersingkirkan dari kehidupan masyarakat. Pasalnya, adat istiadat telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sini. Menyingkirkan budaya identik dengan menyingkirkan diri sendiri. Melawan budaya sama artinya melawan diri sendiri.
Kalau budaya telah mengakar kuat, lalu apa yang dibutuhkan? Terkait dengan budaya ini, tentu yang diperlukan adalah budaya yang telah mengalami transformasi. Mengapa harus mengalami transformasi? Jelas, agar sinkritisme tidak terjadi. Hendaknya budaya yang ada menjadi budaya yang menghadirkan shalom. Budaya yang membawa damai sejahtera bagi masyarakat. Budaya yang telah mengalami pemulihan.
Budaya adalah identitas suatu suku. Bila budaya itu suatu identitas, berarti budaya telah melekat dalam jiwa masyarakat Nias. Karena itu, kiranya budaya yang ditampilkan menjadi budaya yang berbeda. Budaya yang berkeadilan dan membebaskan. Maka, budaya tetap dipertahankan tanpa kehilangan identitas sebagai pengikut Kristus. Saya pikir budaya itu bisa menjadi sarana pemersatu di tengah komunitas masyarakat Nias.
Cross and Adu
Tak sedikit orang Kristen yang menolak budaya mentah-mentah. Segala hal yang terkait dengan agama suku harus dihapuskan. Menurut saya pemahaman seperti itu kuranglah tepat. Kalau pemahamannya demikian, maka kekristenan akan tercabut dari akar budaya . Akibatnya, masyarakat adat menolak Kabar Keselamatan yang Tuhan tawarkan.
Dalam disertasi (S3) saya di Utrecht, Jerman, judulnya Cross and Adu (salib dan adu (Nias) yang berarti patung). Disertasi ini merupakan pergulatan misi di Nias. Salib Tuhan tetap dijunjung tinggi namun budaya yang ditransformasi tak boleh ditinggalkan. Pemahaman seperti ini menyadarkan kita bahwa dengan menjadi orang Kristen tidak harus mencabut orang-orang yang dilayani dari akar budaya yang telah mereka hidupi.
Dalam beberapa pertemuan saya dengan para tokoh adat dan agama di Nias ini, mereka sepakat bahwa agama dan adat dapat berjalan saling melengkapi. Mereka mengatakan tidak akan kehilangan identitas dalam budaya mereka, namun mereka juga seorang Kristen yang mengasihi Tuhan. Dalam hal ini bagaimana adat tetap berlaku, namun tidak menindas. Sebaliknya, adat dengan nilai-nilai agung yang membebaskan masyarakat.
Saya sangat merindukan adat yang ada di sini dapat menghadirkan berita damai sejahtera. Namun, hal ini tidak dipahami bahwa adat melampaui firman Tuhan. Adat menjadi sesuatu yang superior. Yang saya maksudkan adalah adat itu dapat menjadi sarana agar Kabar Baik dapat diwartakan secara maksimal. Hal ini
penting melihat kultur Nias yang sarat dengan adat istiadat.
Sejak tahun 1970-an, gereja mulai sadar pentingnya teologi kontekstual. Gereja hendak mengembangkan teologi yang dengan serius mempertimbangkan budaya dan kearifan lokal. Kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat kita tak boleh diabaikan. Mengapa? Karena ada nilai indah yang bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Saya pikir itulah yang sesuai dengan konteks masyarakat Nias. Itu pula yang mendorong saya untuk mengambil jurusan Sosiologi Agama di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga beberapa tahun lalu. Saya belajar bagaimana memahami kultur masyarakat dalam pelayanan kita. Dengan pemahaman seperti ini, Injil Kerajaan Allah dapat diwartakan dengan efektif dan efisien.
Saya sangat mengharapkan hal ini dapat dikembangkan dalam konteks pelayanan di Nias. Di sini kami sangat terbuka. Artinya, mahasiswa kami perlengkapi dengan segala hal yang membuat mereka melayani lebih baik. Saya bersyukur, prinsip berpikir global bertindak lokal sungguh kami alami. Alumni STT ini tidak hanya melayani di desa namun di kota juga. Oleh anugerah-Nya, ada juga yang melayani di luar negeri. Mereka bekerja di ladang misi. Mereka melayani gereja Tuhan di berbagai kota dan tempat di negeri ini.
Memang pelayanan ini berada di daerah, namun bukan berarti kami kampungan. Dengan teknologi kami bisa mengakses dunia luar. Wawasan para mahasiswa pun kian bertambah. Saya selalu menekankan pentingnya penelitian. Karena itu, tugas-tugas para mahasiswa selalu merupakan hasil penelitian. Saya sadar banyak keterbatasan, namun keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak maju. Segalanya dapat dimungkinkan. Saya ingat peribahasa yang mengatakan di mana ada kemauan di situ ada jalan. Prinsip yang sama berlaku juga dalam pelayanan kita. Tuhan kiranya memampukan kita dalam melakukan tugas ini.
Oleh Pdt. Tuhony Telaumbanua, M.Si., Ph.D adalah Pendeta Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) melayani sebagai Ketua Sekolah Tinggi Teologi (STT) BNKP Sundermann. Menyelesaikan S3 (Ph.D) bidang Misi di Utrecht University, Jerman.