Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

KRUE SEUMANGAT! #TetapSemangat!




eBahana.com –  “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.”

Tepat sehari setelah Natal Minggu, 26 Desember 2004 lewat televisi saya menyaksikan berita gempa berkekuatan 9,1-9,3 Skala Richter yang terjadi pukul 07.59 WIB di dasar Samudera Hindia. Setelah itu muncul gelombang tsunami yang menyapu pesisir Aceh dengan ketinggian 30 meter dan kecepatan mencapai 100 meter per detik.

Gelombang besar nan kuat ini tidak hanya menghanyutkan manusia, hewan, tumbuhan, pemukiman tetapi juga menyeret Kapal PLTD Apung ke daratan hingga 5 kilometer. Sehari setelah kejadian, Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan Tsunami Aceh sebagai bencana kemanusiaan terbesar. Sejak itu liputan media dari berbagai sumber dan bantuan internasional berdatangan.

Tiba di Serambi Mekah 

Jumlah korban jiwa yang semula beberapa orang menjadi ribuan. Saat itu saya berdoa, “Tuhan kirimlah saya ke Aceh menjadi relawan kemanusiaan.” Tuhan pun mendengar doa saya.

Tepat sebulan setelah tsunami saya bergabung dengan International Catholic Migration Commission http://www.icmc.net sebuah lembaga kemanusiaan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang-orang yang rentan seperti pengungsi, migran, korban bencana alam tanpa memandang suku, agama, ras, etnik.

Sungguh tak terpikir sedikitpun dapat menginjakkan kaki di provinsi yang menjunjung tinggi Syariat Islamnya ini dan dijuluki sebagai Serambi Mekah.

Pengalaman Baru

Nama saya Bertha Ulina Nababan. Saat itu saya ditugaskan ICMC untuk menjalin kemitraan dan meningkatkan kapasitas lembaga lokal agar dapat memberikan bantuan pemulihan trauma kepada para penyintas tsunami (orang yang mampu bertahan hidup dari tsunami). Pada Februari 2005, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masih aktif di Banda Aceh. Hasilnya nihil, hampir semuanya hilang kontak.

“Masa baru mulai sudah mentok Tuhan? Sekarang harus bagaimana?” begitu pertanyaan yang muncul di hati saya. Setelah beberapa hari mencari tanpa kepastian, akhirnya Tuhan memberikan ide-ide baru.

Saya mulai mencari penyintas tsunami yang mempunyai latar belakang LSM ataupun pekerja sosial, menyewa rumah untuk dijadikan base camp, membeli beberapa motor untuk memudahkan mobilitas, serta mengadakan pelatihan dasar pemulihan trauma dan konseling. Puji Tuhan, saat itu terbentuk 6 LSM lokal yang siap menjadi mitra kerja di lapangan.

Mengunjungi Barak-Barak

Teman-teman mengajarkan saya beberapa kalimat perkenalan sederhana dalam bahasa Aceh seperti “Hai Kiban? Peuhaba? Haba get, i dron kiban hai? Peu i neu jeb?” dan menyarankan untuk menggunakan kerudung bila ke lapangan. Lalu kami mulai mendatangi barak-barak sekitar Banda Aceh untuk memberikan bantuan pemulihan trauma.

“Ibu siapa? Asalnya darimana? Agamanya apa? Mau apa disini?” demikian pertanyaan para penyintas tsunami. Mereka heran dan sedikit curiga ada perempuan dari Jakarta, Kristen, mau kerja di tempat tsunami. Salah satu pergumulan kami di awal-awal kegiatan adalah membangun keterbukaan dan mendapatkan kepercayaan mereka.

Ada satu barak yang mayoritas dihuni penyintas laki-laki. Setelah dicari tahu ternyata hampir semua keluarganya meninggal. Awalnya agak sulit untuk membuat mereka mau bercerita tetapi dengan berjalannya waktu akhirnya satu demi satu mulai  terbuka dan menceritakan kisah pilu kehilangan anak, isteri, tempat tinggal, harta benda, serta orangtua yang dicintai.

Bu, carikan kami istri supaya bisa punya keluarga lagi dan melanjutkan hidup.” demikian harapan para penyintas laki-laki yang ada di barak tersebut.

Ada juga barak yang mayoritas dihuni penyintas perempuan. Mereka terlihat ceria dari luar tetapi sebenarnya menyimpan trauma.

“Ini ujian dari Allah. Kalau masih hidup semoga bisa pulang mencari kami. Kalau sudah menghadap-Nya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,” curhat seorang ibu tentang keluarganya yang hilang sambil meneteskan air mata.

“Kalau melihat air laut naik jadi ingat tsunami. Seperti kiamat!” kata seorang ibu lainnya yang melihat pantai mengingatkannya akan tsunami, saat banyak orang meregang nyawa.

Seorang ibu yang masih was-was bila mendekati Hari Minggu mengatakan, “aku belum bisa melupakan Minggu itu sampai sekarang.”

“Seluruh badannya membiru waktu ditemukan.” ungkap sang bunda tentang almarhum anaknya yang jasadnya ditemukan tersangkut di pohon.

Saat saya membayangkan berada di posisi mereka kehilangan orang-orang yang dikasihi dalam sekejap, mungkin saya juga tidak akan mampu menghadapinya atau malah sudah gila. Bersyukur kepada Allah, kami didampingi tim konselor ICMC yang sabar dan memiliki empati yang mendalam sehingga para penyintas tsunami dapat mengeluarkan kesedihan dan ketakutan mereka.

Kegiatan Psikososial untuk Anak

Di barak lain kami rutin membuat kegiatan psikososial yang menyenangkan dan edukatif untuk anak-anak. Mereka suka bernyanyi, bermain, membaca buku serta mendengarkan cerita. Ada juga yang senang menggambar.

”Ini tsunami bu!” kata seorang anak yang menggambar ombak besar sebagai tsunami. Seorang anak lainnya menunjukkan bekas-bekas luka akibat tsunami. “Sudah sembuh.” ujarnya sambil memperlihatkan tangan dan kakinya.

Disaat yang berbeda, anak-anak datang memamerkan pakaian baru pemberian donatur sambil bertanya, “Ibu..Ibu.. Bagus? Bagus?”

Lucunya lagi anak-anak mengungkapkan sangat senang bertemu orang-orang dari berbagai negara yang datang mengunjungi mereka karena sebelumnya hanya bisa lihat di televisi. Mereka juga mempraktekkan bahasa Inggris seadanya, “Yes yes..no no….OK!.”

Mulai Berbuah

Seperti kata pepatah sekali merengkuh dayung 2, 3 pulau terlampaui maka disaat para penyintas mengalami pemulihan, dilanjutkan dengan memberikan ketrampilan seperti menjahit, memasak, pertukangan serta peralatan pendukungnya. Tujuannya supaya mereka dapat kembali hidup mandiri.

Kegiatan memasak, voli dan sepak bola, pentas seni serta lomba membaca Al’quran antar barak juga rutin diadakan. Menariknya satu demi satu para penyintas tsunami mulai menemukan jodohnya. Mendekati akhir tugas saya di akhir Juli 2005, sudah ada 100 pasangan yang mengikuti nikah massal. Halleluyah!

Memang tidaklah mudah bekerja di daerah bekas tsunami karena selama 6 bulan berada disana, setiap hari masih terasa gempa mulai dari yang kecil sampai besar, belum lagi kendala bahasa dan budaya, penyesuaian dengan makanan setempat serta keterbatasan akses.

Tetapi syukur kepada Allah, setiap hari perlindungan dan pertolongan Tuhan nyata kami rasakan selama bertugas disana, bahkan kenangan 16 tahun lalu itu masih tersimpan indah sampai sekarang.

Semoga para penyintas tsunami Aceh dapat merasakan kasih dan kemurahan Allah lewat kehadiran tim ICMC serta mengalami pemulihan yang sesungguhnya. Krue Seumangat!

 

Oleh: Bertha Ulina Nababan S.Si., M.Kes., Program Trauma Recovery ICMC

 



Leave a Reply