Politik Kebohongan
Benni E.Matindas – Penulis buku Negara Sebenarnya, Pengajar Filsafat
Pemilu — untuk mengisi kursi parlemen dan pemerintahan baru — telah di ambang pintu. Tapi apakah isi era baru yang ada di balik pintu gerbang sejarah kita itu? Semestinya, sesuai teori-baku sistem demokrasi, kondisi yang lebih adil dan lebih makmur dibanding era yang sekarang dan semua masa sebelumnya.
Tapi tidak bagi bangsa Indonesia, setidaknya bagi generasi sekarang ini. Sejarah sudah terlalu banyak mengajarkan lain, sederet panjang fakta yang bertolak belakang dengan teori. Cita-cita bernegara untuk suatu kehidupan yang adil dan membawa kemakmuran bersama, kini justru kian menjauh. Jurang ketimpangan
sosial ekonomi semakin melebar, makin melebarnya kemiskinan itu sendiri. Ketidakadilan atas kelompokkelompok minoritas semakin jadi permanen dan terstruktur kokoh dalam sistem hukum, politik, sampai budaya.
Pemerintahan Sukarno berakhir di puncak kemelaratan rakyat banyak, inflasi membubung hingga lebih 600%,
komunisme mencengkeram, peperangan dengan pelbagai negara. Jenderal Soeharto yang disambut bangsa
karena membawa dogma pembangunan ekonomi, yang demi itu rakyat rela mengorbankan demokrasi, ternyata justru berakhir ironis: ketimpangan ekonomi yang luarbiasa, bahkan krisis ekonomi yang sangat memurukkan, di samping semua akibat parah dari dikorbankannya atau ditundanya demokrasi, keadilan dan HAM. Revolusi demokratisasi, yang kita sebut Reformasi, lalu menaikkan pasangan Abdurahman Wahid dan Megawati Sukarnoputeri ke tampuk pemerintahan, tetapi konsep pembangunan mereka (yang pertama dibacakan Wapres Megawati pada awal millennium ini) langsung terbaca sebagai: sama saja, podo wae. Ekonom Dr. Sjahrir mengomentari dengan nada sinis: “Business as usual.” Sangat jelas tak beda dengan semua yang sudah terbukti gagal, tak ada konsep baru yang cukup logis memproyeksikan perubahan menuju lebih baik. Begitu jua semua yang diajukan pemimpin serta calon pemimpin selanjutnya. Sampai yang sekarang, yang akan mengendalikan kemudi bahtera bangsa ini hingga 5 tahun depan.
Para aktivis dan politisi oposan hanya selamanya mengajukan kritik tentang pekerti para pemimpin, padahal bukan itu akar masalahnya, masalahnya adalah pengerti atau nalar. Bukan terutama soal etika, tapi logika atau gagalnya konsep. Sekali kita memasuki urusan publik atau kenegaraan, maka kita bicara soal sistem, dan persoalan sistemik adalah nilai salah atau benar. Bukan soal nilai bajik atau jahat dan culasnya elit politik. Pemimpin yang sebaik apapun, bahkan yang sudah terbukti rela berkorban demi kepentingan umum, akan gagal, dan gagal pula membereskan seluruh stafnya yang asyik berpesta-pora korupsi dan segala praktik ketidakadilan, lantaran sistem negara yang tingkat kebenarannya belum memadai. Sistem negara yang
masih dipenuhi sejumlah salah kaprah. Sistem yang benar — koheren dan bersistematika jelas — akan dapat dijabarkan ke sebanyaknya undangundang serta aturan yang dibutuhkan, dan semuanya konsisten mengawal
jalannya progresivitas sejarah bangsa.
Sebenarnya, bukan pengertian mendasari pekerti. Tapi memang sebaliknya. Pekerti atau etika — yang takut akan Tuhan dan mengutamakan etika Kasih — adalah dasar semua pengetahuan, pengertian dan logika yang benar [Ams.1:7]. Hanya saja, lantaran etikanya keliru, maka tidak membuahkan konsep yang benar. Begitu! Dan itu adalah hukum besi, tak dapat ditawar-tawar kalau tak mau hasilnya tak memadai. Bahkan sebaliknya para pemimpin yang tumbuh dengan karakter yang baik pun akan ikut hanyut dan bahkan gampang tersapu. Dan pemerintah yang di dalam kekeliruan, akan mengarahkan perhatian serta keperduliannya hanya pada kebohongan, sehingga pasti menyuburkan kefasikan [Ams.29:12], dan akibat selanjutnya serba parah adanya.
Harapan pada suatu rezim penyelenggara negara boleh sirna oleh kesadaran logis tentang tak benarnya konsepsi mereka, namun harapan pada pertolongan Allah dan daya kita insan-Nya mesti tetap dijaga nyalanya. Termasuk melalui doa. Firman Tuhan mewajibkan setiap kita menjadi pendoa syafaat untuk pemerintah, negara dan bangsa. Dan memang doa tanpa putus dari umat-Nya itulah yang selama ini memberi bangsa ini berkat-berkat seperlunya sehingga tak harus sampai jatuh ke kubangan terdalam akibat kelirunya sistem serta tata negara.