Media Rohani Terlengkap & Terpercaya


Input your search keywords and press Enter.

Meninjau Prosesi Pemakaman Jenazah Covid-19




eBahana.com – Dampak Covid-19 ternyata merambah juga pada prosesi pemakaman. Belajar dari kasus keluarga yang mengambil jenazah secara langsung dari mobil ambulance oleh pihak keluarga untuk dimakamkan secara mandiri, tanpa protokol kesehatan. Namun, ada juga tim medis yang melakukan prosesi pemakaman, tetapi tidak sesuai dengan proses pemakaman yang dikehendaki pihak keluarga. Di Indonesia hal lumrah untuk memberi penghormatan terakhir bagi jenazah, apa lagi orang yang sangat dikasihi dan dihormati.

Terbesit pertanyaan, bagaimanakah ritual pemakaman yang dianjurkan WHO untuk jenazah Covid-19? Dari perspektif rohaniwan, bagaimana sebaiknya prosesi pemakaman jenazah Covid-19 ini? Dari perspektif hukum, apakah ada sanksi bagi masyarakat yang terbukti melanggar protokol kesehataan saat melaksanakan pemakaman jenazah Covid-19? Jika tim medis terbukti melakukan penanganan jenazah yang tidak Covid-19 dengan cara Covid-19, bagaimana sanksinya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, PEWARNA Indonesia, melalui Thony Ermando, menggagas webinar bekerja sama dengan Ikatan Alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dengan tema “Prosesi Pemakaman Jenazah Covid-19, Sudah Manusiawikah?” Diselenggarakan pada Selasa, 07 Juli 2020, pukul 10.00-12.00 WIB.

Doa pembukaan dipimpin oleh ketua umum PEWARNA Indonesia, Yusuf Mujiono. Sambutan kepada seluruh peserta dan narasumber disampaikan oleh ketua IKA UKI, Saor Siagian dan dari PEWARNA disampaikan oleh Litbang, Ashiong P. Munthe. Sebagai moderator acara Donna Sampaleng, Litbang PEWARNA dan dosen STT IKAT.

Litbang PEWARNA Indonesia menghimpun pendapat masyarakat melalui survei terkait topik ini yang dilakukan sejak 27 Juni-5 Juli 2020 dengan jumlah responden 43 orang. Jenjang pendidikan yang terlibat dalam survei ini, yaitu S1/sederajat 69,8%, S2/sederajat 23,3%, D3/sederajat 2,3% dan SMA/sederajat 4,7%.

Pernyataan “Pandemi Covid-19 ini adalah konspirasi bangsa asing untuk melumpuhkan dunia”. Responden yang setuju 16,3%, ragu-ragu 39,5%, dan Tidak Setuju 42,2%. Artinya 39,5% ragu-ragu untuk mengatakan bahwa covid-19 ini bukan konspirasi. Ada sebanyak 16,3% yang setuju bahwa ini adalah konspirasi. Jenjang pendidikan responden, mayoritas S1 hingga S2.

“Saya sudah mengetahui sebelum ini berita terkait keluarga mengambil jenazah secara paksa dari mobil ambulance yang positif Covid-19 untuk dimakamkan secara mandiri oleh keluarga”. Jumlah responden yang mengatakan ya 81,4% dan tidak 18,6%. Ternyata masih banyak responden belum mengetahui informasi tersebut.

“Saya sudah mengetahui isi video yang beredar secara luas lewat WhatsApp terkait prosesi pemakaman yang dilakukan oleh tim medis, namun tidak sesuai dengan ketentuan keyakinan keluarga”. Jumlah responden yang mengatakan tidak 60,5% dan ya 39,5%. Lebih banyak responden belum mengetahui informasi ini.

“Masalah Covid-19 ini bukan masalah yang serius, karena tidak ada bedanya dengan virus-virus lainnya, sehingga perlu disikapi secara biasa saja”. Jumlah responden yang setuju 4,7%, ragu-ragu 16,3% dan tidak setuju 79,1%. Mayoritas menganggap Covid-19 harus disikapi secara serius.

“Protokol kesehatan tidak perlu diterapkan secara ketat seperti anjuran WHO maupun gugus tugas percepatan penangan Covid-19”. Jumlah responden yang setuju 0%, ragu-ragu 7% dan tidak setuju 93%. Mayoritas responden setuju penerapan protokol kesehatan secara ketat.

“Prosesi pemakaman jenazah yang tertular Covid-19 sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada keluarga tanpa harus ada campur tangan tim medis”. Jumlah responden yang setuju 2,3%, ragu-ragu 14% dan tidak setuju 83,7%. Mayoritas responden menyetujui bahwa tim medislah yang layak menangani jenazah Covid-19.

“Tim medis yang melakukan prosesi pemakaman tanpa mengikuti Prosedur Khusus WHO sebaiknya mendapat sanksi”. Menyatakan setuju 60,5%, ragu-ragu 25,6% dan tidak setuju 14%.

“Perlu ada sanksi tegas bagi masyarakat yang tidak mengindahkan protokol kesehatan saat pemakaman dan atau saat dalam kerumunan”. Jumlah responden yang setuju 88,4%, ragu-ragu 7% dan tidak setuju 4,7%.

“Harus ada dampak hukum positif bagi tim medis yang terbukti menangani jenazah tidak terpapar Covid-19 dengan cara penanganan jenazah terpapar Covid-19”. Jumlah responden yang setuju 69,8%, ragu-ragu 25,6% dan tidak setuju 4,7%.

Salah satu wartawan PEWARNA, Alex Brory menceritakan pengalamannya terpapar Covid-19. Awalnya Brory mengalami gejala sakit demam biasa dan hanya minum obat rumahan saja. Diagnosis klinik pun curiganya pada types, DBD atau pneumonia biasa. Setelah dilakukan tes swab terbukti positif Covid-19. Setelah mengetahui positif, maka melakukan isolasi mandiri. “Puji Tuhan saat ini sudah pulih”, paparnya. Pesannya kita perlu “Jaga hati dan jaga diri”, tutupnya.

Dekan Fakultas Hukum UKI, Hulman Panjaitan, memaparkan “terkait dengan proses pemakaman korban Covid-19, ada beberapa kepentingan yang diperhadapkan, yaitu: pertama, kepentingan negara/masyarakat luas, yaitu tujuan penetapan ketentuan/aturan adalah untuk mengatur tertib masyarakat/kesejahteraan masyarakat, memutus mata rantai penularan, melindungi kepentingan masyarakat secara luas”.

Lanjut Hulman, Kedua, kepentingan segolongan tertentu masyarakat adat: “Adakah ketentuan yang dianggap tidak manusiawi dalam prosesi pemakaman korban Covid-19, sehingga dianggap merupakan pelanggaran HAM?” HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU No. 39/1999), tuturnya.

“Bila pelanggaran dilakukan oleh aparat, maka dia dapat dianggap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; Bila pelanggaran dilakukan oleh pihak ketiga atau keluarga maka akan ada ketentuan yang bisa diterapkan, yaitu: Pasal 212 KUHP, Pasal 214 KUHP, Pasal 178 KUHP”, tandasnya.

Kadep. Koinonia HKBP, Martongo Sitinjak, menyampaikan “orang yang meninggal karena Covid-19 harus langsung dikuburkan tanpa ceremony, jikalau positif Covid-19 tidak masalah, karena semua orang sudah memahami dampak Covid-19 ini”. Namun, “Jikalau bukan Covid-19, tetapi dikebumikan secara Covid-19, maka ini menjadi masalah”, jelasnya.

Lanjut Martongo, “Kehidupan, kematian dan kehidupan kekal, yang bisa kita jangkau saat ini adalah kehidupan saat ini. Oleh karena itu, kita harus pro pada kehidupan. Kita harus memperhatikan orang yang masih hidup, bukan yang mati. Prosesi pemakaman, silahkan dilakukan, namun tetap harus menerapkan protokol kesehatan”.

“Covid-19 bukanlah kutuk, sehingga orangnya tidak perlu dihindari, tapi perlu didukung. Kita pun harus mendoakan dan mendukung tim medis supaya bekerja dengan baik!”, tandasnya.

Ketua satu bidang organisasi IKA UKI. Ketua SC Kongres IKA UKI. Sekaligus koordinator Pengembangan Profesi dan Capasitas IDI cabang Jakarta Timur, Jimmy R. Tambunan, menjelaskan “Jenazah yang terdiagnosis Covid-19 harus dilakukan swab atau tes. Demikian juga yang terinfeksi penyakit menular lainnya, harus ditangani secara hati-hati”.

Lanjutnya “Penanganan jenazah yang terinfeksi dari Rumah Sakit hingga tiba di rumah duka atau keluarga, harus dilakukan dengan protokol kesehatan lengkap dengan APD (alat pelindung diri, red). Keluarag yang menjenguk, bisa ikut, namun harus menggunakan APD”.

“Jenazah yang terinfeksi harus dikafani dengan kedap air, menggunakan peti dan menutup seluruh celah yang bisa mengeluarkan infeksi. Peti setibanya di rumah duka, tidak boleh dibuka. Maksimal 30 orang yang boleh menghadiri rumah duka dan jenazah maksimal 4 jam sudah harus dimakamkan dengan minimal 50 meter dari mata air”, jelasnya.

“Perlu ada aturan baku dari pemerintah untuk prosesi pemakaman Covid-19. Masyarakat juga harus menghargai tim medis yang bekerja dengan baik. Harus dicamkan, bahwa korban Covid-19, bukanlah pelaku kejahatan yang harus dihindari. Perlakukanlah korban Covid-19 secara manusiawi” pesannya.

Guru besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. James Tangkudung, memaparkan “orang meninggal harus dianggap sebagai barang, bukan sebagai manusia lagi. Hal ini sama seperti di Jerman, jenazah dianggap sebagai barang. Manusia disebut mati, ketika jantung berhenti, otak tidak berjalan, dan pernafasan berhenti total”.

Terkait pemakaman, lanjutnya “boleh kok dilakukan sesuai ritual keagamaan dengan mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran WHO. Australia, menghadiri duka dan pemakaman bisa lebih dari 30 orang dengan mengikuti protokol kesehatan”.

“Orang beriman melihat pada hidup kekal, namun manusia yang hidup perlu memberi penguatan bagi keluarga yang berduka”, pesannya. “Demi kesehatan, saat ini ada alternatif pemakaman, yaitu pemakaman jarak jauh untuk menghindari penularan dari yang meninggal kepada yang hidup” sarannya.

Pendiri LABB Penerapan Hukum Adat Batak sekaligus mantan Hakim Agung RI, H. P. Panggabean, menyampaikan “Acara pemakaman dilakukan untuk keluarga yang meninggal untuk memberi penghiburan bagi keluarga. Dalam budaya Batak ada tiga acara adat untuk meninggal, yaitu partangiangan, sarimatua, saur matua, saur matua mauli bulung”.

“Pemakaman secara budaya Batak, bisa dilakukan, namun harus ada batasan orang yang hadir. Umumnya yang bisa dilakukan saat Covid-19 ini, yaitu berdoa atau partangiangan saja. Terkait acara adat, bisa ditunda karena ada Covid-19 ini”, jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan “acara pernikahan dalam budaya Batak saat Covid-19 ini dibatasi hanya 20 orang. Biasanya, setelah catatan sipil dan pemberkatan di gereja langsung ramah tamah dengan pembatasn orang yang hadir”, pungkasnya. “Acara adat bisa ditunda setelah selesai Covid-19, baik untuk pernikahan maupun untuk pemakaman dan yang lainnya” tutupnya.

Di akhir kegiatan, moderator memberi kesimpulan dan pranatacara, Erni Murniarti memberikan kesempatan kepada Ketum PEWARNA untuk menyerahkan secara simbolis sertifikat penghargaan kepada narasumber. Kegiatan ditutup dengan doa yang dipimpin oleh pranatacara.

Oleh Ashiong P. Munthe, Dosen UPH dan Litbang Pewarna.



Leave a Reply