Lokakarya Potensi Radikalisme Agama di Tanah Papua
Jakarta, eBahana.com – Potensi radikalisme agama ada dimana-mana, termasuk di Papua. Sebab itu untuk meredamnya, budaya damai perlu dihidupkan (satu tungku tiga batu), basis pendidikan Kristen diperkuat, demikian pula media sosial, dan kesenjangan ekonomi harus diminimalisir.
Selain itu, Gereja juga perlu memiliki crisis center, melakukan pemuridan atau pelayanan secara holistik, dan verifikasi kepada pihak luar dari berbagai latarbelakang agama yang ingin berkhotbah di Papua. Para tokoh agama, masyarakat dan daerah harus duduk bersama menyikapi persoalan ini, serta mencarikan solusinya.
Demikian sejumlah catatan penting yang mencuat dalam diskusi kelompok di hari pertama Lokakarya Potensi Radikalisme Agama dan Solusi Pencegahannya bagi Tanah Papua, yang dilaksanakan melalui aplikasi zoom oleh Biro Papua PGI bersama Bidang KKC PGI, pada Senin (11/10) kemarin.
Sebelumnya, narasumber lokakarya, Staf Ahli KSP bidang SDM Dr. Rini S. Modouw mengungkapkan, dalam upaya pencegahan dan penghapusan radikalisme gereja harus memiliki crisis center dalam menjembatani permasalahan doktrinasi dengan polarisasi perilaku dan perubahan perilaku, serta membentuk satgas anti rasisme agama.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Damai Papua Pastor John Bunay melihat, semua pihak, termasuk gereja, perlu mengedepankan dialog, dan membangun jemaat agar tetap memiliki iman yang teguh, agar tidak mudah tergoda oleh iming-iming materi dan sebagainya.
“Ini yang perlu disiapkan. Lalu kelompok yang jadi target radikalisme agama adalah orang muda, Gereja juga perlu mendampingi mereka agar bersatu dan kuat. Tugas gereja hanya gembalakanlah domba-dombaKu. Kita latih anak muda ini supaya tahu tentang kebenaran itu, lalu betapa pentingnya hidup bersosialisasi, dan mengelola negerinya tanpa harus bergantung kepada orang lain,” jelasnya.
Lokakarya Potensi Radikalisme Agama dan Solusi Pencegahannya bagi Tanah Papua berlangsung selama tiga hari (11-13/10). Kegiatan ini dilaksanakan menindaklanjuti langkah-langkah strategis yang telah dirumuskan dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat di Sorong, Papua, April 2018 lalu. Lokakarya bertujuan untuk tetap menjaga Papua sebagai tanah yang damai bagi semua makhluk yang mendiami di atasnya.
Di hari kedua (12/10), lokakarya akan diisi paparan materi oleh Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom (Dampak Politik Identitas Terhadap Integrasi Politik, Agama, Suku dan Komunitas Agama), bersama Peneliti Konflik dan Perdamaian LIPI Dra. Sri Yanuarti (Pemberdayaan dan Stimulasi Ekonomi Sebagai Media Radikalisme).
Sedangkan di hari ketiga (13/10), oleh Akademisi UKI Jakarta Dr. Angel Damayanti (Radikalisme dan Penghancuran Kearifan Lokal di Papua), dan Akademisi Universitas Cendrawasih Jayapura Prof. Dr. M. Hetharia (Penguasaan Kepemilikan Tanah Adat Sebagai Basis Pengembangan Radikalisme di Papua).
(markus saragih)